Hakim Pengawas Kepailitan non aktif Pengadilan Niaga Jakarta Syarifuddin Umar didakwa korupsi. Foto: SGP
Hakim Pengawas Kepailitan non aktif pada Pengadilan Niaga Jakarta Syarifuddin Umar didakwa melakukan korupsi. Jaksa KPK Zet Todung Allo mengatakan, terdakwa selaku hakim pengawas dalam pengurusan harta pailit PT Sky Camping Indonesia (SCI) telah membantu dan memberikan persetujuan terhadap tindakan kurator yang menjual aset boedel pailit SHGB 7251 atas nama PT Tannata Cempaka Saputra secara non boedel pailit tanpa ijin dan penetapan pengadilan.
Atas tindakannya ini, terdakwa memperoleh uang dari Kurator Puguh Wirawan sebesar Rp250 juta. "Perbuatan terdakwa menerima hadiah tersebut bertentangan dengan sumpah jabatan terdakwa sebagai hakim, bertentangan dengan prinsip-prinsip dasar kode etik dan prilaku hakim serta bertentangan pula tugasnya sebagai hakim pengawas," ujar Zet di Pengadilan Tipikor Jakarta, Kamis (20/10).
Atas perbuatannya, terdakwa didakwa melanggar dakwaan satu Pasal 12 huruf a jo. Pasal 18 Ayat (1) huruf a UU Pemberantasan Korupsi atau dakwaan kedua Pasal 12 huruf b jo. Pasal 18 Ayat (1) UU Pemberantasan Korupsi atau ketiga Pasal 5 Ayat (2) jo. Pasal 5 Ayat (1) huruf a jo. Pasal 18 Ayat (1) UU Pemberantasan Korupsi atau dakwaan keempat pasal 11 jo. Pasal 18 Ayat (1) huruf a UU Pemberantasan Korupsi. Keempat pasal itu intinya mengatur soal suap.
Menurut jaksa, selaku hakim pengawas pengurusan harta pailit PT SCI, terdakwa mengetahui kurator telah melakukan perjanjian pengikatan jual beli atas aset boedel SHGB 7251 kepada Advokat Otto Hasibuan secara di bawah tangan tanpa ijin terdakwa. Atas hal itu terdakwa mengajukan laporan kepada hakim pemutus dan rekomendasi pergantian kurator atas laporan yang diajukan kuasa hukum eks pekerja PT SCI.
Terhadap hal itu terdakwa mengusulkan agar kurator lama diganti dengan Puguh Wirawan sesuai usulan kuasa hukum eks pekerja PT SCI. Setelah ditunjuk sebagai kurator, Puguh Wirawan, Khairil Poloan dan Michael Markus Iskandar mengajukan permohonan ke terdakwa untuk menjual di bawah tangan terhadap aset boedel pailit SHGB 7251 berupa tanah seluas 19,5 ribu m2 di Bekasi.
Permohonan tersebut dikabulkan terdakwa dengan mengeluarkan penetapan Nomor:01/Pembatalan Perjanjian Perdamaian/2008/PN Niaga Jakarta Pusat tanggal 11 November 2010. Kemudian pada 11 April 2011 terdakwa melakukan pertemuan dengan Puguh untuk membicarakan penjualan aset tanah. Dalam kesempatan tersebut Puguh menyampaikan jika dirinya memperoleh fee atas penjualan, akan memberikan ‘perhatian’ kepada terdakwa sebesar Rp250 juta.
Tak lama berselang, pada 12 Mei 2011 terdakwa memberikan persetujuan tertulis penjualan aset SHGB 7251 secara non boedel pailit. Pada awal Juni 2011 Puguh bertemu terdakwa di rumahnya dan memberikan tas berisi uang Rp250 juta, lalu uang tersebut disimpan terdakwa di dalam kamarnya. Beberapa saat tas berisi uang itu disimpan, petugas KPK menangkap terdakwa dan menyita uang tersebut.
Pembuktian Terbalik
Terdakwa Syarifuddin keberatan mengenai sejumlah uang asing miliknya yang disita KPK. Menurut dia, dalam surat dakwaan yang dibacakan jaksa, tak satupun menyinggung uang-uang asing miliknya tersebut. "Dalam dakwaan hanya berkutat pada Rp250 juta ini tidak dicantumkan dalam dakwaan ada uang asing. Saya kemukakan uang asing yang diambil tanpa berita acara penggeledahan dan rekonstruksi maka ini bentuk perampokan KPK," katanya.
Ia mempertanyakan apakah uang asing miliknya tersebut akan dijadikan barang bukti atau tidak. Meskipun dalam hukum ada prinsip pembuktian terbalik, ia heran tindakan KPK yang menyita uangnya tanpa masuk ke dalam berkas dakwaan. "Makanya saya pertanyakan pada majelis termasuk uang itu ke mana?"
Dalam nota keberatannya (eksepsi), pensehat hukum terdakwa juga mempertanyakan hal serupa. Menurut mereka tak diuraikan status jumlah mata uang rupiah dan uang-uang asing dalam surat dakwaan dan telah disita penyidik saat penggerebekan merupakan bentuk ketidakcermatan surat dakwaan.
Atas hal itu pula, penasehat hukum terdakwa menilai surat dakwaan yang disusun jaksa dinyatakan majelis batal demi hukum. "Saat penggerebekan penyidik mengambil uang terdakwa senilai Rp2 miliar yang terdiri dari uang rupiah dan uang-uang asing. Untuk apa uang-uang tersebut disita kenapa tak dikembalikan ke terdakwa apalagi uang-uang tersebut tidak masuk dalam dakwaan jaksa. Karena surat dakwaan disusun secara tidak cermat dan tidak lengkap, maka surat dakwaan tersebut harus dinyatakan batal demi hukum," ujar Hotma Sitompul.
Mengenai hal ini, Jaksa Zet merasa tak perlu diungkap dalam dakwaan. Menurutnya, disita uang asing milik terdakwa bisa dibuktikan pada proses persidangan nanti. "UU No 20 tahun 2001 Pasal 28 huruf D, mekanismenya diatur seperti itu bagaimana pembuktian terhadap barang bukti atau harta yang diduga berasal dari tindak pidana korupsi yang tidak didakwakan."
Biasanya, pembuktian dari terdakwa bahwa uang asing tersebut tak ada kaitannya dengan perkara ini bisa disampaikan dalam nota pembelaannya nanti. Dan nantinya majelis pun dapat mengambil keputusan bahwa uang asing yang dimaksud akan disita oleh negara atau dikembalikan ke terdakwa.
"Terdakwa sendiri harus membuktikan bahwa dolar-dolar itu berasal dari sumber yang mana, kalau sumbernya benar diyakini hakim bukan dari korupsi ya kita kembalikan. Jadi kita akan buktikan dulu dakwaan utama, yaitu suap Rp250 juta, (nanti) hakim akan membuka persidangan khusus setelah pembelaan," tutur Zet.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar