Alamat

Jalan Balige-Laguboti Km. 5 Tambunan Lumban Pea Timur Telp. (0632)21165 email : ikahi.pabalige@gmail.com

Rabu, 30 September 2015

Komisi III Mulai Godok RUU Kepolisian dan RUU Jabatan Hakim

Komisi III Mulai Godok RUU Kepolisian dan RUU Jabatan Hakim  
Foto: Indah Mutiara Kami
 
Jakarta - Selain RUU KUHP, Komisi III DPR saat ini sedang mematangkan rancangan dua RUU lainnya. RUU Kepolisian dan RUU Jabatan Hakim akan mulai dibahas oleh komisi yang membidangi hukum ini.

"Disepakati ada dua usulan, yaitu RUU Kepolisian dan RUU Jabatan Hakim. Jadi Ada 3 untuk prioritas di 2015-2016," kata Ketua Komisi III Aziz Syamsuddin usai rapat pleno di Gedung DPR, Senayan, Jakarta Pusat, Rabu (30/9/2015).

Aziz menyebut ada anggota-anggota yang sudah menyampaikan draft dua RUU tersebut. Dua RUU itu nantinya akan menjadi inisiatif DPR.

"Draft akan dibahas di komisi III. Kita akan minta pandangan fraksi-fraksi," ucap politikus Golkar ini.

Sementara itu, terkait RUU KUHP, masing-masing fraksi sudah mengumpulkan daftar inventarisasi masalah (DIM). DIM itu akan dikompilasi untuk kemudian dibahas bersama dengan pemerintah.

"Selasa depan kita kompilasi. Setelah itu baru raker dengan Menkum HAM," ungkap Aziz.

Dalam rapat dengan pakar pada Selasa (29/9), Komisi III diminta lebih melibatkan lembaga penegak hukum. Aziz menyebut KPK, kepolisian, dan kejaksaan ikut bersama pemerintah.

"Itu stakeholder ikut dengan pemerintah," jawabnya.  
 
(sumber : https://news.detik.com/berita/3031952/komisi-iii-mulai-godok-ruu-kepolisian-dan-ruu-jabatan-hakim)

Perlindungan Hakim Bukan Sekadar Fisik

Perlindungan Hakim Bukan Sekadar Fisik
Profesi hakim. Foto: RES (Ilustrasi)
RUU Jabatan Hakim tengah gencar didorong oleh kalangan hakim agar segera dibahas dan disahkan oleh DPR dan pemerintah. Tidak hanya kalangan hakim, Komisi Yudisial (KY) pun menyiratkan dukungan agar RUU Jabatan Hakim segera terbentuk.
Dalam rangka itu, KY bekerja sama dengan Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin (FH Unhas), Makassar, Sulawesi Selatan menggelar Seminar Uji Publik RUU Jabatan Hakim “Sistem Perlindungan dan Pemberhentian Hakim”, Sabtu (26/9) di Ruang Promosi Doktor Prof. Dr. A Zainal Abidin, Kampus FH Unhas.
Dekan FH Unhas, Prof Farida Pattitingi mengatakan acara uji publik dimaksudkan untuk memberi masukan dalam rangka penyempurnaan RUU Jabatan Hakim. Harapannya, kata Prof Farida, RUU Jabatan Hakim ketika menjadi undang-undang akan menjadi pedoman dan dasar hukum yang kuat dalam pelaksanaan jabatan hakim.
“Sehingga apa yang kita harapkan untuk melahirkan hakim yang betul-betul punya independensi, punya kemandirian, kemerdekaan, dan tidak terkontaminasi dengan hal-hal yang lain,” ucap Prof Farida Pattitingi saat memberikan sambutan.
Terdapat sejumlah aspek yang diatur dalam RUU Jabatan Hakim, salah satunya terkait perlindungan hakim. Ketua KY, Suparman Marzuki mengatakan perlindungan hakim seharusnya tidak hanya dimaknai perlindungan fisik saja. Menurut dia, perlindungan juga harus mencakup perlindungan profesi.
“Konsep perlindungan yang digagas KY mengenai perlindungan hakim adalah perlindungan dalam kerangka hakim sebagai profesi mulia dan terhormat. Jadi, bukan sekadar perlindungan fisik (personal), tetapi jauh lebih mendasar, yaitu perlindungan terhadap profesi,” jelas Suparman.
Terkait perlindungan hakim, Prof Farida berpendapat konsepnya harus diperjelas dalam RUU Jabatan Hakim. Tidak hanya konsep, menurut Prof Farida, mekanismenya pun harus diperjelas.
“Harus dijelaskan mekanismenya karena tidak ada batasan secara limitatif yang mengatur soal perlindungan hakim tersebut,” ujarnya memberi masukan.
Salah satu penggagas RUU Jabatan Hakim, Djuyamto mengatakan perlindungan hakim harus ditegaskan dalam bentuk norma, dalam hal ini UU Jabatan Hakim. Sepakat dengan KY, menurut Wakil Ketua Pengadilan Negeri Dompu, Nusa Tenggara Barat ini, perlindungan hakim jangan hanya sebatas perlindungan fisik semata.
“Namun yang lebih utama perlindungan terhadap independensi,” tukasnya.
Sebagai bentuk perlindungan, kata Djuyamto, hakim seharusnya tidak dapat dituntut secara pidana maupun perdata atas putusan yang dibuatnya. Djuyamto menyebut bentuk perlindungan ini sebagai imunitas terbatas. Prinsipnya, lanjut dia, hakim tidak boleh dikenai sanksi apapun sepanjang ada iktikad baik dari si hakim ketika mengadili dan memutus perkara.
“Itu perlindungan jabatan hakim yang hakiki untuk melindungi independensinya,” tegasnya.
Sekadar informasi, sekira Mei 2015, hukumonline menggelar polling dengan tema “Materi apa yang layak menjadi prioritas pembahasan RUU Jabatan Hakim?”. Hukumonline menyodorkan lima opsi jawaban yakni kesejahteraan hakim, pembinaan hakim, pengawasan hakim, perlindungan hakim, dan rekrutmen hakim.
Dari lima opsi jawaban, pengawasan hakim menempati posisi tertinggi dengan 34,93%. Diikuti dengan kesejahteraan hakim 24,78%, rekrutmen hakim 23,88%, pembinaan hakim 8,66%, dan terakhir perlindungan hakim 7,76%.  

(sumber : http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt560b7e7520091/perlindungan-hakim-bukan-sekadar-fisik)

Jubir MA: Surat KMA No 73, Solusi Sementara

Jubir MA: Surat KMA No 73, Solusi Sementara
Juru Bicara MA, Suhadi (kanan). Foto: Sgp
Ketua Mahkamah Agung (MA) M. Hatta Ali baru saja menerbitkan Surat KMA No. 73/KMA/HK.01/IX/2015 tertanggal 25 September 2015 terkait kewenangan Pengadilan Tinggi (PT) menyumpah advokat yang memenuhi syarat dari organisasi advokat manapun. Alasan pokok kebijakan ini terbit lantaran organisasi advokat yang ada, khususnya Perhimpunan Advokat Indonesia (PERADI) sudah terpecah-pecah.       

“Kebijakan ini terbit karena saat ini PERADI sudah pecah menjadi tiga kubu, selain pengurus organisasi advokat dari Kongres Advokat Indonesia (KAI) dan organisasi lain juga menuntutuntuk bisa disumpah ke PT,” ujar Juru Bicara MA, Suhadi saat dihubungi hukumonline di Jakarta, Rabu (30/9).   

Suhadi mengatakan dengan terbitnya Surat KMA No. 73 tidak ada lagi wadah tunggal organisasi advokat sesuai Pasal 28 ayat (1) UU No. 18 Tahun 2003 tentang Advokat karena PERADI sudah pecah. Namun, kebijakan ini bersifat sementara sebelum terbentuknya pilihan sistem organisasi advokat lagi. Karena itu, MA memberi kesempatan para advokat yang memenuhi syarat dari organisasi manapun untuk bisa disumpah di PT.

“Semua advokat manapun yang memenuhi syarat sesuai UU Advokat bisa mengajukan penyumpahan agar bisa segera berpraktik di pengadilan,” kata Suhadi. “Nantinya, apakah pilihannya organisasi advokat berbentuk single bar atau multibar itu kewenangan pembentuk UU Advokat yang baru.”                     

Diungkapkan Suhadi, faktanya selama ini sejumlah PT seringkali mengalami kebingungan untuk mengambil sumpah advokat dari organisasi advokat yang mana? Terlebih, sejak PERADI yang sebelumnya dianggap organisasi wadah tunggal yang sah mengalami perpecahan pasca Munas PERADI II di Makasar beberapa waktu lalu.

Dia mencontohkan belum lama ini, PT Tanjung Karang mengalami kebingungan ketika akan mengangkat sumpah advokat yang diajukan PERADI kubu Yusuf Hasibuan. Namun, PERADI kubu lain justru memprotes proses penyumpahan itu karena dianggap illegal. Apalagi, faktanya sejumlah PT menumpuk usulan surat pengajuan sumpah para advokat yang ingin segera diambil sumpahnya agar bisa berpraktik di pengadilan.

“Kubu PERADI Munas Riau (Yusuf Hasibuan, red) kan mengajukan penyumpahan ke PT Tanjung Karang, kemudian diprotes kubu PERADI Munas Makasar (Juniver Girsang, red),” ungkapnya.

Tak hanya itu, beberapa tahun lalu, KPT Ambon pernah dicopot jabatannya lantaran mengangkat sumpah dari advokat KAI. “MA pernah mencopot KPT Ambon waktu itu karena kita masih berpegang pada Pasal 28 UU Advokat,” tegasnya.   

MA berharap kebijakan ini dapat menjadi solusi sementara atas perpecahan di tubuh organisasi advokat. “Kalaupun nanti kebijakan ini digugat salah satu kubu PERADI ini resiko sebuah kebijakan. Tetapi, saya merasa kebijakan ini menguntungkan semua advokat Indonesia,” kata Hakim Agung ini.       
    
Ditanya soal putusan MK terkait sumpah advokat, Suhadi melihat putusan MK dan Surat KMA No. 73 ini pada hakikatnya sama. Sebab, pertimbangan putusan MK disebut dasar penyumpahan tidak melihat asal dari satu organisasi advokat (PERADI). Artinya, pengusulan sumpah advokat lebih dari satu organisasi.  

“Putusan MK itu, saya pikir hampir sama dengan Surat KMA, hanya saja usulan penyumpahan ke PT sebatas dari PERADI dan KAI. Sebab, permohonan ini diajukan advokat KAI, nggak mungkin menjangkau seluruhnya (organisasi advokat lain, red) karena bisa dianggap ultra petita,” katanya.                

Terpisah, Pengamat Peradilan Arsil juga menilai terbitnya Surat KMA No. 73 mengenai penyumpahan advokat ini sebagai solusi sementara atas perpecahan yang terjadi dalam tubuh organisasi advokat terutama terkait kejelasan sistem organisasi advokat. Tanpa kebijakan Surat KMA ini, kata dia, justru akan menimbulkan ketidakpastian hukum terutama bagi calon advokat.

“Akibat ketidakjelasan ini, mereka (calon advokat) menjadi bingung mana organisasi advokat yang sah. Saya pikir kebijakan ini akan diapresiasi para calon advokat,” kata Arsil.                

Menurutnya, pecahnya PERADI menjadi tiga kubu merupakan bukti UU Advokat memang harus segera direvisi. Sebab, sumber masalah perpecahan organisasi advokat ini berasal dari UU Advokat terutama terkait satu-satunya wadah profesi organisasi advokat. “Masalah organisasi advokat ini berasal dari UU Advokat itu sendiri,” kata Direktur Lembaga Kajian dan Advokasi untuk Independensi Peradilan (LeIP) ini.

(sumber : http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt560ba4a791ea0/jubir-ma--surat-kma-no-73--solusi-sementara)

Dirjen Badilag: Pelapor Belum Tentu Masuk Surga

Jakarta
Seluruh aparatur peradilan agama harus selalu menjaga kekompakan. Jika ada persoalan, hendaknya diselesaikan secara baik-baik di lingkup internal, sehingga persoalan itu tidak sampai keluar.
“Jangan cepat-cepat membuat laporan ke luar. Kita ada pimpinan di PA dan PTA. Sampaikanlah secara baik-baik,” kata Dirjen Badilag Drs. H. Abdul Manaf, M.H., dalam berbagai kesempatan, termasuk ketika mengadakan kunjungan mendadak ke sejumlah PA di wilayah Jawa Barat dan Banten, pertengahan September 2015 lalu.
Membawa persoalan ke luar tidak menjamin persoalan itu akan mendapatkan solusi terbaik. Bisa-bisa, yang terjadi malah sebaliknya. Aib sesama aparatur terekspose dan nama baik peradilan agama ikut tercoreng, sementara substansi laporan tidak terbukti.
“Tidak ada ceritanya, seorang pelapor otomatis masuk surga,” kata mantan pejabat eselon II pada Badan Pengawasan MA itu.
Berdasarkan pengalamannya yang telah terjun ke banyak pengadilan untuk mengadakan pemeriksaan, tidak sulit untuk mengidentifikasi pembuat surat kaleng atau pelapor yang menyembunyikan identitasnya. Saat ini, menurutnya, surat kaleng itu bisa berbentuk macam-macam, mulai dari SMS, e-mail hingga status di media sosial.
Di samping mengingatkan tidak perlunya membawa persoalan internal ke luar, Dirjen Badilag mewanti-wanti pimpinan PA dan PTA untuk sigap menerima aduan dari bawahannya.
“Pimpinan harus cepat bertindak. Jangan dibiarkan berlarut-larut. Jangan menunggu persoalan itu membesar dan muncul di luar,” ujarnya.
Selain itu, Dirjen Badilag mengingingkan trio pimpinan PA dan PTA, yang terdiri dari ketua, wakil ketua dan panitera/sekretaris, untuk selalu seiring-sejalan. Kalaupun ada ketidakcocokan, jangan sampai diperlihatkan ke anak buah, agar tidak mengganggu kinerja PA atau PTA yang bersangkutan.
Prihatin
Sementara itu, Ketua Kamar Agama Prof. Dr. H. Abdul Manan, S.H., S.Ip., M.Hum menyatakan keprihatinannya mendapati kenyataan semakin meningkatnya jumlah aparatur peradilan agama yang dijatuhi hukuman disiplin oleh Badan Pengawasan.
“Saya baca, pada semester pertama tahun 2015, jumlah aparatur kita yang kena hukuman disiplin naik drastis,” ujarnya, kala memberi pengarahan sebelum seminar penyusunan template putusan tingkat banding, di Bogor, dua pekan lalu.  
Menurutnya, perlu ada upaya nyata dari PA, PTA dan Badilag agar tidak semakin banyak aparatur peradilan agama yang kena hukuman disiplin.
Sebagaimana diketahui, selama kurun waktu Januari-Juni 2015, 55 aparatur peradilan agama dikenai hukuman disiplin oleh Badan Pengawasan. Mereka terdiri dari 35 hakim dan 20 PNS.
Jika dirinci, 35 hakim tersebut terdiri atas 6 ketua, 5 wakil ketua dan 24 hakim. Sementara 20 PNS tersebut terdiri atas panitera/sekretaris (5), wakil panitera (3), wakil sekretaris (2), panitera muda (2), jurusita (1), jurusita pengganti (2), kasubbag (1), dan staf (4).
Jika dibandingkan dengan periode Januari-Juni 2014, jumlah aparatur peradilan agama yang kena hukuman disiplin pada periode Januari-Juni 2015 meningkat drastis. Untuk hakim, naik 288% dari 9 orang menjadi 35 orang. Untuk PNS, naik 122% dari 9 orang menjadi 20 orang. Jika hakim dan PNS digabung, kenaikannya mencapai 205%, dari 18 orang menjadi 55 orang.   

(sumber : http://www.badilag.net/seputar-ditjen-badilag/seputar-ditjen-badilag/dirjen-badilag-pelapor-belum-tentu-masuk-surga)

Kamis, 24 September 2015

Ini 10 PA yang Dibiayai Badilag untuk Sertifikasi ISO Tahun 2015

Jakarta l Badilag.net
Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama menetapkan 10 pengadilan agama dari 10 wilayah pengadilan tinggi agama untuk melaksanakan sistem manajemen mutu sehingga memperoleh Sertifikat ISO 9001:2008. Biaya untuk itu disediakan oleh Badilag.
Ke-10 PA itu adalah PA Lubukpakam (PTA Medan), PA Kayuagung (PTA Palembang) PA Jakarta Utara (PTA Jakarta), PA Karawang (PTA Bandung), PA Purbalingga (PTA Semarang), PA Yogyakarta (PTA Yogyakarta), PA Surabaya (PTA Surabaya), PA Banjarmasin (PTA Banjarmasin), PA Sungguminasa (PTA Makassar), dan PA Mataram (PTA Mataram).
Beberapa waktu lalu, Dirjen Badilag Drs. H. Abdul Manaf, M.H. mengatakan, karena keterbatasan anggaran, tahun ini hanya 10 PA dari 10 wilayah PTA yang dibiayai untuk sertifikasi ISO.
Ke depan, Badilag akan mengupayakan program ini terus berlanjut dan lebih banyak lagi PA yang memperoleh anggaran untuk sertifikasi ISO.
Kepala Bagian Umum Ditjen Badilag Arief Gunawansyah, S.H., M.H. mengungkapkan, anggaran dari DIPA Badilag untuk tiap-tiap PA yang melaksanakan sistem manajemen mutu adalah Rp 65 juta. Anggaran itu untuk membayar jasa konsultan.
“Pemilihan konsultan dilakukan secara terbuka. Agar lebih hemat, kami mengusahakan konsultan berasal dari wilayah yang sama dengan PA yang akan melakukan serifikasi ISO,” ujarnya.
Mengenai penentuan 10 PA tersebut, menurut Kabag Umum, Badilag mempertimbangkan  sejumlah hal. Di antaranya adalah proporsionalitas, kebijakan PTA dan kesiapan PA.
“Ke-10 PA itu mewakili PTA dari wilayah barat, tengah dan timur. PA mana saja yang dibiayai Badilag, itu kami serahkan kepada masing-masing PTA. Badilag hanya ingin,  PA yang ditunjuk PTA benar-benar siap dan tidak mulai dari nol,” ungkapnya.
Kecuali PTA Semarang, PTA-PTA yang lain langsung menunjuk satu PA. Pada mulanya, PTA Semarang menyodorkan tiga satker, yaitu PA Purbalingga, PA Kendal, dan PA Banjarnegara. Badilag lantas menerjunkan timnya untuk melakukan verifikasi ke lapangan, dan memilih PA Pubalingga sebagai perwakilan PTA Semarang yang akan dibiayai Badilag untuk sertifikasi ISO.
Badilag memberi target, pada akhir tahun 2015 ini, ke-10 PA tersebut berhasil menerapkan sistem manajemen mutu dan sukses meraih sertifikat ISO.
Tiga swadana
ISO adalah standar sistem manajemen mutu yang ditetapkan oleh lOS atau International Organization of Standardization. ISO berasal dari bahasa Yunani “ISOS” yang berarti sama. Artinya, jika suatu organisasi berhasil memperoleh sertifikat ISO, berarti organisasi tersebut telah berhasil menyamakan berbagai SOP (Standard Operating Procedure) yang dimilikinya dengan standar ISO dan berhasil pula menerapkannya sehari-hari.
ISO 9001:2008 merupakan standar sistem manajemen mutu yang cocok untuk organisasi yang melakukan pelayanan. Muaranya adalah kepuasan penerima layanan.
Setidaknya ada sebelas tahap yang mesti dilalui oleh PA yang hendak menerapkan standar sistem manajemen mutu, yaitu: [1] Komitmen Manajemen; [2] Pembentukan Tim ISO; [3] Kajian Awal Sistem; [4]. Pelatihan Kesadaran; [5] Pengembangan Sistem; [6] Penerapan Sistem; [7]  Pelatihan Audit Mutu Internal; [8] Audit Internal, temuan-temuan dan tindakan perbaikan; [9] Tinjauan Manajemen; [10] Audit Sertifikasi; dan [11] Penerimaan Sertifikat ISO.
Di lingkungan peradilan agama, telah ada tiga PA yang sukses meraih Serfikasi ISO. Beruturut-turut, ketiganya adlaah PA Stabat, PA Jakarta Selatan dan PA Jakarta Pusat. Tiga PA itu meraihnya dengan swadana atau dengan biaya sendiri.

(sumber :  http://www.badilag.net/seputar-ditjen-badilag/seputar-ditjen-badilag/ini-10-pa-yang-dibiayai-badilag-untuk-sertifikasi-iso-tahun-2015#)

Minggu, 20 September 2015

Kemitraan KY dan MA Menjadi Keharusan



 
Jakarta  - Sebagai tindak lanjut Memorandum Of Understanding (MoU) Komisi Yudisial (KY) dengan Universitas Trisakti, KY bekerjasama dengan Jurusan Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Trisakti (FHUT) menyelenggarakan seminar nasional Peran KY dalam Rekrutmen Hakim Agung dan Menegakkan Kehormatan Hakim di di ruang seminar Prof. E. Suherman lantai 2 FHUT, Rabu (16/09).

Seminar yang dihadiri akademisi, praktisi, mahasiswa dan guru PKn ini diisi oleh narasumber Ketua Bidang Pencegahan dan Peningkatan Kapasitas Hakim KY Ibrahim, mantan hakim Mahkamah Konstitusi (MK) dan Mahkamah Agung (MA) Laica Marzuki, Anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Azis Syamsuddin dan Dosen FHUT Tri Sulistyowati.

Ketua Bidang Pencegahan dan Peningkatan Kapasitas Hakim KY Ibrahim menjelaskan mengenai sejarah lahirnya KY beserta wewenang dan tugas KY terkait rekrutmen dan pengawasan hakim. Tugas KY tidak berhenti  pada proses seleksi saja, tapi terus mendorong agar kode etik dan pedoman perilaku hakim menjadi pedoman hakim dalam menjalankan tugas.

“Pengawasan KY tidak boleh mencederai independensi hakim karena hal tersebut justru bisa kontraproduktif,” jelas Ibrahim.

Untuk mewujudkan peradilan yang bermatabat tidak bisa dilakukan KY sendiri, perlu dukungan dan kesadaran dari hakim itu sendiri.

“Upaya mewujudkan peradilan yang bermartabat tidak bisa diwujudkan oleh KY, tetapi juga harus muncul kesadaran internal dari hakim untuk melindungi  independensi dan imparsialitas. Karena itu, kemitraan KY dan MA adalah sebuah keharusan dan bukan sebaliknya,” ujar pria kelahiran Bone ini.

Hal senada juga diungkapkan Anggota DPR RI Aziz Syamsudin. Menurut Aziz, menjaga kewibawaan harus mengatur semua perangkat yang bersinggungan dengan hakim.
 
“Menjaga kewibawaan hukum tidak bisa hakimnya saja. Ada perangkat lain seperti panitera, sekretaris dan perangkat lainnya yang harus dirapikan,” tegas Aziz.

Aziz menambahkan, RUU Jabatan hakim masuk dalam Program Legislasi Nasional (Proglenas) 2015-2019.  RUU ini akan mengatur penguatan badan peradilan untuk mewujudkan hakim yang jujur dan berwibawa.

“DPR akan membahas RUU jabatan hakim yang nantinya untuk menciptakan hakim yang jujur dan berwibawa,” tambah Ketua Komisi III DPR ini.

Laica Marzuki dalam materinya menyatakan, KY mendapatkan kewenangan konstitusional dalam membangun peradilan yang bersih dan bermartabat. Pengawasan terhadap hakim merupakan constitutional given.

“MA ikut mengukuhkan lahirnya KY karena besarnya ketidakpercayaan masyarakat terhadap sistem peradilan masa itu. Harus  diingat KY tidak dapat mengintervensi dan memasuki teknis yudisial, kecuali melalui koridor dugaan terjadinya pelanggaran etika dan hukum yang mendasari pertimbangan putusan hakim,” tegas Laica.

Sementara itu, Tri Sulistyowati memaparkan tentang mekanisme pengisian keanggotaan KY di beberapa negara. Tri memperkenalkan fungsi dan tata cara pemilihan komisioner KY di belahan dunia. Saat ditanya  apakah ada negara yang mempunyai kewenangan yang diperluas tidak hanya sekadar mengawasi hakim, Tri menyatakan ada.

“Di Argentina, hakim yang dinyatakan bersalah bisa langsung dipecat. Perluasan wewenang lazim terjadi di berbagai negara lain. Hanya saya tidak pernah menemukan adanya perluasan kewenangan terhadap objek saja,” jawab Tri.

(sumber : http://www.komisiyudisial.go.id/berita-54367-kemitraan-ky-dan-ma-menjadi-keharusan.html)

KY Prioritaskan Program Pencegahan pada Tahun 2016




 
Jakarta - Komisi Yudisial (KY) menghadiri Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan Komisi III Dewan Perwakilan Rayat RI (DPR RI) yang dipimpin Trimedya Panjaitan, Rabu (16/9) di Gedung Nusantara II DPR RI, Jakarta. Agenda RDP tersebut terkait Rencana Kerja dan Anggaran Kementerian Negara/Lembaga (RKAKL) Tahun Anggaran 2016.

Sekretaris Jenderal KY Danang Wijayanto yang mewakili KY didampingi Kepala Biro Perencanaan dan Kepatuhan Internal Ronny Dolfinus Tulak, Kepala Biro Rekrutmen dan Advokasi Hakim Heru Purnomo dan Kepala Pusat Analisis dan Layanan Informasi Roejito.

Dalam sesi pembahasan, KY meminta persetujuan Pimpinan Komisi III DPR RI terkait pengajuan RKAKL tahun 2016 sebesar Rp. 148.874.879.
 
"Tahun 2016, KY memprioritaskan kegiatan yang sifatnya pencegahan seperti meningkatkan kompetensi hakim dengan mengikuti pelatihan KEPPH, pelatihan tematik dengan menghadirkan pakar dan praktisi di bidangnya dan pelatihan jarak jauh serta meningkatkan kesejahteraan hakim," ungkap Danang.

Lebih lanjut Danang menjelaskan, sasaran strategis lain yang akan dicapai oleh KY adalah tersedianya hakim agung, hakim ad hoc di Mahkamah Agung (MA), pengambilan langkah hukum/langkah lain yang merendahkan kehormatan dan keluhuran martabat hakim, mewujudkan hakim yang berkomitmen melaksanakan KEPPH, meningkatkan kepercayaan publik terhadap hakim dan meningkatkan kapasitas lembaga menjadi organisasi yang efektif dan efisien.

Menanggapi hal tersebut, salah satu perwakilan dari Fraksi PDIP Herman Hery mengatakan program-program yang KY ajukan sudah berdasarkan dengan kondisi real yang ada.
 
"Pada prinsipnya kami akan mendukung dan menyetujui RKAKL yang diajukan. Untuk selanjutnya, kami akan berjuang bersama-sama agar RKAKL 2016 bisa direalisasikan,” ungkapnya.

Selain KY, RDP itu juga diikuti oleh MA dan Mahkamah Konstitusi (MK) dengan materi pembahasan yang sama

(sumber : http://www.komisiyudisial.go.id/berita-54366-ky-prioritaskan-program-pencegahan-pada-tahun-2016.html)

KEGIATAN BEDAH BERKAS WILAYAH III DAN PEMBINAAN KETUA PTA MEDAN DI PT. INALUM

1ok
Kiri ke kanan : Ketua PA Balige, Direktur Operasi PT Inalum, Ketua PTA Medan, Direksi PT. Inalum
 Kegiatan bedah berkas Wilayah III dan pembinaan oleh Ketua PTA Medan diadakan di “Aula Club House” PT. Indonesia Asahan Alumanium (INALUM) Porsea pada tanggal 17 September 2015 dengan peserta Hakim, Panitera dan Jurusita dan yang bertindak sebagai Narasumber adalah Drs. Busra, SH, MH, Drs. H.M Anshary, MK, SH, MH dan Drs. H. Turiman, SH yang masing-masing merupakan Hakim Tinggi Pengadilan Tinggi Agama Medan. Kegiatan bedah berkas ini diselenggarakan berdasarkan surat dari Ketua Pengadilan Tinggi Agama Medan dengan Nomor : W2-A/2727/PP.04/IX//2015 bertanggal 8 September 2015. Wilayah III terdiri dari atas 6 Pengadilan Agama yaitu Pengadilan Agama Balige, Pengadilan Agama Tarutung, Pengadilan Agama Sidikalang, Pengadilan Agama Kabanjahe, Pengadilan Agama Pematang Siantar dan Pengadilan Agama Simalungun.  Adapun yang menjadi penyelenggara dan panitia kegiatan bedah berkas adalah Pengadilan Agama Balige. Panitia dan penyelenggara juga menyediakan mess bagi Ketua Pengadilan Tinggi Agama Medan dan narasumber di Mess PT. Inalum.
Kegiatan bedah berkas ini mengangkat tema yaitu “Memetik pelajaran dari bedah berkas ini kita wujudkan sistem pengelolaan perkara yang lebih berkualitas dan proporsional”.  Acara ini dapat terwujud karena dibentuknya panitia penyelenggara bedah berkas oleh Ketua Pengadilan Agama Balige. Adapun panitia terdiri atas Drs. H. Mohd. Ridhwan Ismail sebagai ketua panitia, Drs. Ramli Nasution, sebagai wakil ketua panitia, dan Mairiza Yulianti, S.Si sebagai Sekretaris Panitia.
20k
Ketua Pengadilan Agama Balige sekaligus ketua panitia memberikan laporan

Acara bedah berkas dimulai pada jam 08.00 WIB yang mana langsung dihadiri oleh Bapak Drs. H. Moh. Thahir, SH, MH, Ketua Pengadilan Tinggi Agama Medan dan Direktur PT. Inalum Porsea. Adapun pembukaan diawali dengan laporan Ketua Panitia yang disampaikan oleh Drs. H. Mohd. Ridhwan Ismail, yang mana diutarakan bahwa awalnya kegiatan ini akan diadakan di Museum TB Silalahi, namun terjadi perubahan tempat ke PT. Inalum Porsea. Kemudian panita telah mengirim masing-masing berkas yang akan dibedah ke  Pengadilan Agama wilayah III. Selanjutnya acara dilanjutkan dengan arahan dan pembinaan oleh Ketua Pengadilan Tinggi Agama Medan dan sekaligus membuka acara yang pada intinya disampaikan bahwa sangat berkesan dengan diadakan acara di PT. Inalum, Porsea. Kemudian agar seluruh peserta mengikuti kegiatan bedah berkas dengan serius dan cermat dan agar setiap Hakim terus meningkatkan pengetahuannya, karena saat ini banyak laporan tentang kurang profesionalnya hakim dalam mengadili perkara, seperti main HP ketika sidang dan lain-lain dan hal ini dapat dibuktikan berdasarkan laporan dari Badan Pengawasan tentang meningkatnya hukuman disiplin terhadap hakim awal tahun 2015.

3ok
Arahan dan Pembinaan oleh Ketua PTA Medan
40o
Kiri ke kanan : Ketua PTA Medan, Narasumber dari PTA Medan (Drs. H. Turiman, SH, Drs. H.M Anshary, MK, SH, MH  dan Drs. Busra, SH, MH)
Kemudian setelah acara dibuka oleh Ketua Pengadilan Tinggi Agama Medan, kegiatan bedah berkas dilaksanakan dari pukul 09.00 WIB s/d 15.30 WIB. Dalam kegiatan diskusi bedah berkas tersebut, ada beberapa hal yang disampaikan oleh Narasumber yaitu :
  1. Drs. Busra, SH, MH menyampaikan bahwa untuk mewujudkan peradilan yang agung perlu penyelenggaraan sidang yang baik, rapi, tertib dan benar.  Kemudian agar masalah administrasi meliputi Bahasa EYD (Ejaan Yang Disempurnakan) dan Teknis Yudisial agar dikuasai dengan baik.  Kemudian dalam putusan hendaknya dilarang menggunakan bahasa langsung dan agar dalam pertimbangan hukum, hakim mempertajam argumentasi dalil-dalil hukumnya.
  2. Drs. H.M Anshary, MK, SH, MH menyampaikan bahwa permasalahan legal standing (kedudukan para pihak) dalam putusan agar dicantumkan dan diskusi bedah berkas belum menggali secara lebih mendalam, masih mengkaji kulit-kulitnya saja.
  3. Drs. H. Turiman, SH menyampaikan bahwa apabila surat panggilan salah ketik, namun yang menerima panggilan tetap para pihak secara langsung dan ditanda tangani, maka surat panggilan tersebut tetap sah. Dan agar penundaan sidang dengan alasan musyawarah majelis hakim tidak dilakukan, namun musyawarah majelis Hakim sedapat mungkin dilakukan pada saat sidang terakhir.
5ok
Ketua PTA Medan, Narasumber dan sebagian peserta wilayah III
Selanjutnya, acara ditutup dengan arahan dan pembinaan Ketua Pengadilan Tinggi Agama Medan yang menyampaikan bahwa kegiatan bedah berkas akan dibuat resume yang diketuai oleh Muhammad Afif, S.HI, Hakim Pengadilan Agama Balige dan dibantu oleh utusan masing-masing wilayah III. Kemudian agar mindset sistem “manual” diubah ke mindset sistem “e document” dan agar di dalam website masing-masing Pengadilan Agama agar dibuat link tentang Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI).    (www.pa-balige.go.id)

Minggu, 13 September 2015

Fungsi Ini Wajib Diketahui Calon Hakim Konstitusi


Syarat integritas dan kapasitas (kualitas) bagi calon hakim konstitusi merupakan syarat terpenting. Namun, persyaratan kualitas ini mesti disesuaikan dengan tugas utama Mahkamah Konstitusi (MK). Utamanya, ketika MK mengemban fungsinya sebagai constitutional review dan penjaga kontitusi negara.

Pandangan itu disampaikan Hakim Konstitusi I Gede Dewa Palguna saat berbicara dalam sesi diskusi di acara Konferensi Hukum Tata Negara Kedua bertajuk “Menata Proses Seleksi Pimpinan Lembaga Negara” yang diselenggarakan PUSaKO di Convention Hall Universitas Andalas, Padang, Jum'at (11/9).

Palguna menegaskan, yang terpenting bagaimana merancang sosok seperti apa seorang calon hakim konstitusi yang ideal. Baginya, ada dua prasyarat terpenting yang harus dimiliki calon hakim konstitusi yakni integritas dan kapasitas terutama ketika menjalankan fungsi constitutional review.

“Kualitas pertama yang harus dimiliki calon hakim konstitusi memahami fungsi constitutional review ini,” kata dia.   

Dalam hal kapasitas, kata Palguna, ada beberapa hal yang juga harus diketahui dan miliki seorang calon hakim konstitusi. Pertama, mampu menyeimbangkan dan menjaga cabang-cabang kekuasaan lain (check and balances). “Ini agar antar kekuasaan negara tidak saling serobot kewenangan,” papar Palguna.

Kedua, fungsi melindungi hak konstitusional warga negara dari kemungkinan pelanggaran yang dilakukan cabang-cabang kekuasaan negara. Sebab, hampir setiap saat seorang hakim konstitusi akan sering menerjemahkan konstitusi dengan beragam penafsiran.

“Dia (hakim konstitusi) harus sadar dirinya bakal dituntut setiap saat menafsirkan konstitusi,” lanjutnya.    

Ketiga, mampu memahami fungsi legislator dalam arti negatif (negative legislator) yang bakal siap mengkoreksi setiap produk Undang-Undang (UU) yang dipersoalkan. “Tentunya, kalau ingin menghapus UU harus memiliki pengetahuan tentang fungsi legislasi, tidak asal hapus,” katanya.      

“Jadi, fungsi constitusional reviewini harus melekat pada diri hakim konstitusi, melalui mekanisme seleksi bagaimanapun nantinya,” tegasnya.

Hal inilah yang membedakan kebutuhan kapasitas hakim konstitusi dengan seorang hakim/hakim agung. Sebab, umumnya tugas hakim lebih banyak menerapkan norma dalam Undang-Undang. “Di negara-negara yang menganut sistem civil law, hakim biasa dididik menerapkan norma UU, bukan menilai UU itu.”      

Dia juga merekomendasikan agar mekanisme seleksi yang dilaksanakan Panitia Seleksi (Pansel) khususnya yang dilakukan DPR dan Presiden tetap dipertahankan. Namun, keanggotaan Pansel harus diisi orang-orang terjamin integritasnya, dengan proses seleksi yang lebih transparan dan melibatkan partisipasi publik secara luas.

“MA setidaknya bisa mengikuti (rekrutmen) pola yang sama,” harapnya.

Diubah
Sebelumnya, Mantan Ketua MK Jimly Assiddiqie mengusulkan agar sistem seleksi hakim konstitusi perlu diubah. Salah satu yang diusulkan mengubah periodeisasi lima tahunan jabatan hakim konstitusi. Hal ini untuk menghindari masa jabatan hakim konstitusi saat ini mengikuti siklus jabatan politik di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).

Selain itu, dia mengusulkan agar syarat minimal calon hakim konstitusi berumur 60 hingga 70 tahun, sehingga tidak perlu perpanjangan masa jabatan lima tahun berikutnya. Dia beralasan ketika hakim konstitusi berusia minimal 60 tahun umumnya tidak haus kekuasaan dan uang.

“Usia segitu tidak lagi bercita-cita untuk jabatan lebih tinggi dan uang lebih banyak. Ini makna ‘negarawan’ yang menjadi syarat hakim konstitusi dalam konstitusi,” kata Jimly di acara yang sama, Kamis (10/9) kemarin

Terlebih, hingga kini aturan lebih lanjut yang mengenai mekanisme seleksi di tiga lembaga negara yakni Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Mahkamah Agung (MA), dan Presiden belum ada. Hingga saat ini belum ada peraturan MA atau Perpres yang mengatur mekanisme seleksi hakim MK, satu-satunya ada Tata Tertib DPR. Padahal aturan itu amanat UU MK.

Makanya, tak jarang pengisian jabatan atau pencalonan hakim konstitusi oleh Presiden dan MA sering menimbulkan masalah karena tidak ada standar baku yang menjadi acuan proses seleksi agar bisa transparan, obyektif, partisipatif, dan akuntabel. “Sistem seleksi hakim konstitusi perlu ada standar, meski mekanismenya tidak harus sama,” sarannya.


(sumber : http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt55f3a98659cac/fungsi-ini-wajib-diketahui-calon-hakim-konstitusi)

MA Usul Syarat CHA Nonkarier Ditinjau Ulang

MA Usul Syarat CHA Nonkarier Ditinjau Ulang

Wakil Ketua MA Non Yudisial Suwardi (paling kiri) saat sesi diskusi dalam acara Konferensi HTN II yang diselenggarakan PUSaKO FH Universitas Andalas, Padang, Jum'at (11/9). Foto: ASH
Mahkamah Agung berharap beberapa persyaratan calon hakim agung dari jalur nonkarier baik yang termuat dalam UU No. 3 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas UU No. 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung dan UU No. 18 Tahun 2011 tentang Perubahan atas UU No. 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial perlu ditinjau ulang. Persyaratan yang dirumuskan Undang-Undang menimbulkan kesenjangan antara hakim agung dari karier dan nonkarier.

Harapan itu disampaikan Wakil Ketua MA Non Yudisial Suwardi saat sesi diskusi dalam acara Konferensi Hukum Tata Negara Kedua yang diselenggarakan Pusat Studi Konstitusi (PUSaKO) FH Universitas Andalas Convention Hall Universitas Andalas, Padang, Sumatera Barat, Jum'at (11/9).

Selain Suwardi, turut menjadi pembicara dalam acara itu Ketua KY Suparman Marzuki, Hakim Konstitusi I Dewa Gede Palguna, dan Dosen Indonesia Jentera School of Law (IJSL), Bivitri Susanti.

Suwardi menjelaskan kesenjangan ini terjadi akibat adanya perbedaan syarat pengalaman. Bagi hakim karier disyaratkan minimal 20 tahun menjadi hakim dan 3 tahun menjadi hakim tinggi. Sementara bagi hakim nonkarier disyaratkan hanya 20 tahun berpengalaman di bidang hukum dengan gelar doktor.

"Syarat pengalaman di bidang hukum fleksible sekali, bisa sebagai dosen, pengacara, notaris, dan sebagainya. Hakim karier masuk usia 53 tahun baru bisa menjadi hakim agung. Sedangkan kalau nonkarier usia 45 tahun bisa menjadi hakim agung ketika lulus langsung menjadi advokat," paparnya. "Nonkarir jauh lebih muda daripada hakim karier, sehingga hakim karier lebih cepat pensiun."

Suwardi juga mengusulkan agar sistem seleksi calon hakim dibuka dengan sistem terbuka dengan pembatasan jumlah hakim agung nonkarier. "Katakanlah komposisi hakim agung 70 persen untuk hakim karier dan 30 persen untuk hakim nonkarier," lanjutnya.

Bagaimanapun, hakim nonkarir tetap dibutuhkan karena umumnya nonkarier memiliki keahlian tertentu, seperti ahli perpajakan dan ekonomi. "Sistemnya tetap terbuka, tetapi ada pembatasan," usulnya.

Suwardi mengungkapkan seleksi calon hakim agung dari waktu ke waktu mengalami perubahan seiring dengan perubahan UUD 1945 dan UU MA. Awalnya, seleksi calon hakim agung diangkat oleh presiden atas usukan MA dengan sistem tertutup atau karier. "Dulu seleksinya masih sangat sederhana, tetapi MA tetap melakukan penilaian," tutur Suwardi.

Namun, saat berlakunya, UU No. 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung , seleksi calon agung melibatkan DPR dan pemerintah melalui Menteri Kehakiman dengan sistem tertutup, tetapi dimungkinkan terbuka bagi calon nonkarier dalam hal-hal tertentu. Sebab, dalam beleid itu terdapat frasa "dalam hal-hal tertentu dapat diangkat calon hakim agung dari nonkarier".

Perubahan signifikan seleksi hakim agung ketika adanya perubahan ketiga UUD 1945 dan UU No. 5 Tahun 2004 tentang MA dimana adanya keterlibatan Komisi Yudisial (KY) untuk mengusulkan calon hakim agung ke DPR. Sistem seleksinya masih tertutup, tetapi dimungkinkan terbuka untuk calon nonkarier apabila dibutuhkan. Setelah terbitnya UU No. 3 Tahun 2009 tentang MA mengubah sistem seleksi hakim agung bersifat terbuka murni baik calon yang berasal dari karier maupun nonkarier mempunyai kesempatan yang sama untuk diangkat menjadi hakim agung.

Sudah baik
Ketua KY Suparman Marzuki mengaku sejak terbitnya putusan MK No. 27/PUU-XI/2013 yang membatalkan mengubah makna pemilihan menjadi persetujuan dan pembatalan kuota 3 berbanding 1 pengusulan calon hakim agung.

"Sejak putusan MK itu, seleksi calon hakim agung semakin selektif dan kompetitif. KY tidak lagi dipaksa memenuhi rasio dengan mengusulkan calon yang sejatinya tidak layak diusulkan," kata Suparman. "Belajar tiga kali pengajuan calon hakim agung pasca putusan MK sudah cukup baik."

Dia menilai mekanisme seleksi calon hakim agung sudah baik, sehingga tidak perlu diubah. "Yang diperlukan ke depan adanya konsistensi KY dan DPR dalam menjaga keutamaan meloloskan calon yang memiliki integritas dan kompetensi," tambahnya.

Hal senada disampaikan Bivitri. Mantan Direktur Eksekutif Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK) ini menganggap tidak perlu mengubah sistem seleksi calon hakim agung. Sistem seleksi calon hakim agung dengan melibatkan KY sudah cukup baik. Sistem ini juga sudah diterapkan di beberapa negara. "Sebenarnya seleksi calon hakim agung di Indonesia sudah memiliki sistem yang baik. Masalahnya mungkin prosesnya di DPR," kata Bivitri.

Hanya saja, ke depan perlu beberapa penyempurnaan dari sistem seleksi yang sudah ada. "Putusan MK juga sudah tepat, tinggal penyempurnaan mekanisme teknis di DPR sesuai kebutuhan pembaruan di MA," sarannya.
 
(sumber : http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt55f25a7f0dc51/ma-usul-syarat-cha-nonkarier-ditinjau-ulang)