Alamat

Jalan Balige-Laguboti Km. 5 Tambunan Lumban Pea Timur Telp. (0632)21165 email : ikahi.pabalige@gmail.com

Jumat, 20 Maret 2015

FDHI Berharap RUU Jabatan Hakim Segera Dibahas



Forum Diskusi Hakim Indonesia (FDHI) menyadari RUU tentang Jabatan Hakim tidak menjadi prioritas pembahasan Prolegnas 2015. Kendati demikian, FDHI tetap mendorong agar RUU ini segera dibahas DPR. Soalnya, bagi kalangan hakim RUU Jabatan Hakim adalah urgent.

“Bahwa masuk prolegnas itu tidak jaminan akan dibahas, harus kita dorong, dukung agar segera dibahas. Makanya harus ada dorongan hakim itu sebagai pihak yang katakanlah berkepentingan,” kata Koordinator FDHI, Djoe Hadisasmito, kepada hukumonline, Sabtu (14/3), di FH UGM, Yogyakarta.
 
Menurut Djoe, Perpres No.87 Tahun 2014 tentang Pedoman Penyusunan Perundang-undangan, memungkinkan RUU Jabatan Hakim bisa dibahas di luar Prolegnas.  Pasal 24 ayat (1) menyatakan, dalam keadaan tertentu, Pemrakarsa dapat mengajukan usul Rancangan Undang-Undang di luar Prolegnas.

Sedangkan ayat (2) menjelaskan bahwa keadaan tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mencakup: a. untuk mengatasi keadaan luar biasa, keadaan konflik, dan bencana alam; dan/atau b. keadaan tertentu lainnya yang memastikan adanya urgensi nasional atas suatu Rancangan Undang-Undang yang dapat disetujui bersama oleh Baleg dan Menteri.

“Disitu bisa melalui jalur diluar prolegnas tapi ada syarat ada urgensi nasional, artinya ada kepentingan nasional yang mendesak,” ujar Djoe.

Dia mengakui ada perbedaan pendapat terkait tafsir mendesak agar RUU Jabatan Hakim segera dibahas. Menurutnya, segala sesuatu yang dianggap para hakim penting, tapi belum tentu bagi stakeholder lain.

Djoe melanjutkan, ada beberapa substansi penting dalam pengaturan RUU Jabatan Hakim yaitu mengenai status, rekrutmen, proses pembinaan, hak dan kewajiban, pengawasan, perlindungan terhadap hakim (perlindungan keamanan atau sisi independensinya). Dia meminta semua pihak tidak melihat isi RUU ini seolah-olah para hakim sedang mengejar hak yang ekslusif.

“Kita tidak mengejar hal seperti itu.Kalauhanya mengejar hak-hak saja, PP No.94 Tahun 2012 sudah cukup dan tinggal dimaksimalkan pemenuhannya.Kita tidak berpikir kearah sana,” katanya.

Saat ini, sambung Djoe, FDHI sedang menyusun tim kajian untuk mengkritisi RUU Jabatan Hakim agar isinya tidak merugikan para hakim. Bahkan, menurut informasi yang diterima Djoe, Ikatan Hakim Indonesia (IKAHI)sudah menanggapi dengan langkah-langkah nyata, yaknimembentuk tim penyusun naskah akademik RUU Jabatan Hakim.

“Justru itu kita sebagai anggota IKAHI yang ada di forum (FDHI) mendukung itu,” tuturnya.

Namun, Ketua Pengurus IKAHI Pusat, Imam Soebechi mengaku belum membentuk tim untuk menyusun RUU Jabatan Hakim ini. “Tetapi, Insya Allah kita ada rencana menyusun RUU Jabatan Hakim itu,” kata Imam.

Dia menilai dukungan FDHI terhadap inisiatif bergulirnya RUU Jabatan Hakim sebagai hal yang positif dan patut dihargai. Namun, dia mempertanyakan kenapa dukungan dan perjuangan ini tidak disalurkan melalui IKAHI baik pengurus IKAHI cabang maupun pengurus daerah.

“Dulu sudah pernah kita ingatkan mereka (FDHI), tolonglah ide ini disampaikan ke IKAHI. Kita hormati ide itu, tetapi kita kan sudah punya wadah, jangan sampai dalam IKAHI ada organisasi sempalan yang mengatasnamakan hakim-hakim progresif yangterkesan maunya berjalan sendiri-sendiri,” kata Hakim Agung ini.    

(sumber : http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt550bf1fb4585b/fdhi-berharap-ruu-jabatan-hakim-segera-dibahas)

Senin, 16 Maret 2015

Sejak 1999, Perjuangan Status Hakim Belum Ada Perubahan

Sejak 1999, Perjuangan Status Hakim Belum Ada Perubahan

Suparman Marzuki. Foto: SGP
Bagi kalangan hakim kehadiran UU Jabatan Hakim adalah hal yang penting. Nantinya, kehadiran UU ini diharapkan dapat mempejelas kedudukan hakim sebagai pejabat negara. Hal ini dikatakan Ketua Komisi Yudisial, Suparman Marzuki, dalam Seminar Nasional “Urgensi UU Jabatan Hakim Bagi Pembaharuan Kekuasaan Kehakiman” di Fakultas Hukum Universitas Gajah Mada (FH UGM), Yogyakarta, Sabtu, (14/3).

Menurut Suparman, hingga saat ini kedudukan hakim memang belum jelas. Dia mengingatkan, pada 2012, sejumlah hakim mempersoalkan hal itu dengan ancaman mogok. Pada September 2014, sekitar 400 hakim menandatangani petisi hakim Indonesia yang menuntut dibentuknya UU Jabatan Hakim.

Suparman mengatakan, perjuangan status hakim sebagai pejabat negara telah berlangsung sejak tahun 1999. Namun, hingga sekarang belum ada perubahan yang signifikan. “Paham pemerintah dan sebagian elite MA bahwa pejabat negara identik dengan protokoler, hak dan fasilitas merupakan pandangan yang salah,” katanya.

Menurutnya, menetapkan hakim sebagai pejabat negara tidak saja sebagai konsekuensi dari semangat reformasi untuk menandaskan pemisahan kekuasaan yang tegas dan jelas antara kekuasaan eksekutif dan yudikatif. Dia menegaskan, hakim memang seharusnya pejabat negara dan bukan aparatur pemerintah.

“Dengan menjadikan dan menempatkan hakim sebagai pejabat negara, maka martabat dan harga diri hakim dinaikkan sejalan dengan kedudukan hakim,” ujarnya.

Sementara itu, advokat Kamal Firdaus mengatakan, bila ditelaah pasal demi pasal RUU Jabatan Hakim, sebetulnya sejumlah rancangan pasal di dalam RUU itu sudah tedapat di dalam beberapa peraturan perundang-undangan terdahulu, meskipun kebanyakan memang secara implisit. Menurutnya, ada beberapa hal yang memang penting untuk diperhatikan dalam RUU Jabatan hakim.

“Antara lain tentang rekruitmen hakim, hak keuangan hakim, fasilitas yang disediakan untuk hakim dan mutasi serta promosi hakim,” tuturnya.

Kamal sempat mempertanyakan apakah RUU Jabatan Hakim dibentuk demi kepentingan hakim, demi kepentingan pencari keadilan atau kedua-duanya. Menurutnya, tidak ada jaminan bahwa dengan disahkannya UU Jabatan Hakim membuat penyakit yang diderita dunia pengadilan selama ini serta merta sembuh.

“Akan tetapi paling tidak UU tersebut merupakan salah satu terapi yang kemungkinan besar efektif,” katanya.

Kepala Biro Hukum dan Humas MA Ridwan Mansyur mengaku MA tengah menyusun naskah akademis RUU Jabatan Hakim dan RUU Contempt of Court dengan membentuk Tim Naskah Akademik yang diketuai Hakim Agung, Supandi dan Agung Sumanantha.

“Tim penyusunan RUU Jabatan Hakim diketuai Pak Supandi dengan anggota beberapa hakim dari sejumlah pengadilan,” kata Ridwan di Gedung MA.

Dia mengatakan tim ini sudah dibentuk seminggu yang lalu dan sudah mulai bekerja. “Kita berharap Tim ini dapat segera menyelesaikan penyusunan RUU Jabatan Hakim ini agar status para hakim berada pada posisi yang semestinya (pejabat negara) dan bisa mendapat jaminan perlindungan sekaligus hak-haknya,” kata Ridwan.

Menurutnya, keberadaan UU Jabatan Hakim ke depan sangat penting sebagai bentuk perlindungan bagi para hakim termasuk menjamin hak-haknya. Dalam beberapa kasus, perkara belum diputuskan hakim sudah dikejar-kejar dan dicaci maki pihak berperkara.

“Padahal Sarpin mengadili dengan tenang, Presiden Jokowi belum tentu bisa menyelesaiakan persoalan ini. Kita berharap mudah-mudahan putusan itu ada manfaatnya,” kata dia.
(sumber:http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt5506ba98ef884/sejak-1999--perjuangan-status-hakim-belum-ada-perubahan)
 

RUU Jabatan Hakim Pintu Masuk Selesaikan Problem Hakim

RUU Jabatan Hakim Pintu Masuk Selesaikan Problem Hakim

Ketua KY Suparman Marzuki (paling kiri) dan Advokat Mustafa Kamal (paling kanan) dalam acara seminar RUU Jabatan Hakim di Kampus UGM, Yogyakarta, Sabtu (14/3). Foto: Facebook
Meski tak menjadi prioritas pembahasan tahun 2015, masuknya RUU Jabatan Hakim dalam Prolegnas 2015-2019, menjadi angin segar bagi kalangan hakim khususnya dan lembaga peradilan pada umumnya. Melalui RUU tersebut diharapkan profesi hakim semakin mendapatkan kedudukan yang jelas dan sesuai dengan harkat martabatnya.

Hal itu disampaikan Kepala Badan Litbang Diklat Hukum dan Peradilan Mahkamah Agung (MA), Siti Nurdjanah, dalam acara Seminar Nasional “Urgensi UU Jabatan Hakim Bagi Pembaharuan Kekuasaan Kehakiman” di Fakultas Hukum Universitas Gajah Mada (FH UGM), Yogyakarta, Sabtu, (14/3).

“Sampai saat ini, kedudukan hakim sebagai sebuah jabatan dinilai masih bias dan belum tertegaskan secara integral,” katanya. 

Siti mengatakan, bilamana Hakim Agung pada Mahkamah Agung dan hakim konstitusi telah jelas penetapannya sebagai pejabat negara dengan segala implemantasinya, tidak demikian dengan hakim karir yang bertugas di lingkungan peradilan di bawah Mahkamah Agung. Kedudukan dan perlakuan terhadapnya, baik dari segi normatif maupun implementatif masih belum sepenuhnya ditempatkan sebagai pejabat negara.

Soalnya, pada satu sisi ditegaskan sebagai pejabat negara, namun dalam kenyataannya pada beberaa aspek yang mengenainya masih terkait dengan sistem Pegawai Negeri Sipil (PNS). “Oleh karenanya jabatan hakim sering dikatakan berstatus ganda, yaitu sebagai pejabat negara dan PNS,” ujar Siti.

Siti memandang pembiaran atas status ganda yang tersandangkan dalam jabatan Hakim ini telah menimbulkan berbagai masalah serius baik dari segi manajerial pada umumnya, maupun secara khusus terkait dengan potensi reduksi independensi peradilan. Jika independensi mulai tereduksi maka secara qonditio sine quanon, implikasi dai problematika jabatan Hakim ini menghambat upaya mewujudkan visi MA yakni mewujudkan badan peradilan yang agung.

Dijelaskan Siti, penyatuan atap pembinaan terhadap hakim menjadi di bawah satu atap MA ternyata dalam kenyataannya tidak telalu banyak membawa perubahan berarti. Boleh dikatakan, hanya sekadar hilangnya kewenangan menteri melakukan pembinaan terhadap hakim. Hal itu disebabkan karena sistem kepegawaian hakim mengacu pada PP No.41 Tahun 2002 tentang Kenaikan Jabatan dan Pangkat Hakim yang memperlakukan hakim sebagai PNS

“Status dan kedudukan hakim pada satu pihak telah dinyatakan sebagai pejabat negara, namun pada pihak lain menyangkut masalah kenaikan jabatan dan kepangkatan hakim masih tetap disamakan dengan PNS,” tuturnya.

Selain itu, sambung Siti, berbagai permasalahan lain yang tidak kalah pentingnya terkait dengan kewenangan MA melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap para hakim. Pengwasan itu antara lain masalah definisi atau jenis jabatan yang disandang hakim, masalah rekrutmen hakim, masalah sistem kepangkatan hakim, masalah sistem penilaian kinerja hakim, dan masalah kepensiunan.

Siti mengakui momentum penebitan UU ASN telah memberikan angin segar bagi kalangan hakim khususnya dan pada peradilan pada umumnya. Dalam Pasal 121 dan Pasal 122 huruf e UU ASN secara eksplisit menjelaskan kedudukan jabatan hakim sebagai pejabat negara.

Namun, kata Siti, selain didefinisikan sebagai pejabat negara, dalam beberapa UU yang berlaku lainnya jabatan hakim didefinisikan secara bebeda-beda. UU No.28 Tahun 1999 tentang Peyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme mengkategorikan hakim sebagai penyelenggara negara (Pasal 1 ayat (1) dan Pasal 2). Sedangkan UU No.48 Tahun 2009 tentang kekuansaan Kehakiman menetapkan jabatan hakim sebagai pejabat negara yang melakukan kekuasaan kehakiman (Pasal 19).

Pakar Hukum Adminisitrasi Negara FH UGM, Zainal Arifin Mochtar, mengakui RUU Jabatan Hakim adalah hal yang urgent karena selama ini tidak ada aturannya. Selama ini, para hakim dikatakan sebagai pejabat negara dalam beberapa undang-undang, tapi penerjemahannya hakim masih ikut ke PNS.

“Seharusnya ada penjelasan mendetail mengenai pejabat negara itu substansinya apa,” kata Zainal.

Meski mengakui pentingnya RUU Jabatan Hakim, Zainal juga mengingatkan agar isi RUU perlu diperhatikan. Menurutnya, isi RUU harus mencakup banyak hal, bukan hanya satu atau dua hal saja. Dia mengatakan, RUU tersebut harus bisa menyelesaikan segala problem hakim yang selama ini ada.  

Zainal melanjutkan, regulasi yang ada di Indonesia selama ini masih banyak yang berbenturan, khususnya soal jabatan hakim. Zainal mencontohkan UU ASN, terutama Pasal 121 dan Pasal 122. Menurutnya, kedua pasal itu keliru karena melarang hakim ad hoc untuk menjabat sebagai pejabat negara.

“Seakan-akan semua hakim boleh menjadi pejabat negara kecuali hakim ad hoc. Itu kan salah. Memangnya hakim ad hoc salah apa sehingga tidak boleh menjadi pejabat negara,” kata Zainal.

Ke depan, ia menyarankan harus dibangun cetak biru terhadap regulasi yang mengatur penyelenggara negara. “Kita cenderung belum rapih. Kita juga belum pernah bicara mengenai cetak biru penyelenggara negara itu seperti apa. Makanya yang terjadi saat ini adalah pertentangan antara satu UU dengan UU yang lain,” pungkasnya.
 
(sumber : http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt55064c6199b06/ruu-jabatan-hakim-pintu-masuk-selesaikan-problem-hakim)

Senin, 09 Maret 2015

Ini Alasan Perlunya UU Jabatan Hakim

Ini Alasan Perlunya UU Jabatan Hakim

Kalangan hakim butuh UU Jabatan Hakim. Foto: SGP (Ilustrasi)
Desakan untuk segera membentuk UU Jabatan Hakim kembali bergulir. Kali ini desakan itu disuarakan oleh Forum Diskusi Hakim Indonesia (FDHI) yang telah mengantongi draf RUU Jabatan Hakim yang lingkup pengaturannya antara lain proses pengangkatan, status kepegawaian, jenjang karier/kepangkatan, hak-hak keuangan, fasilitas, pembinaan, pengawasan hingga pemberhentian hakim.

FDHI menyatakan UU Jabatan Hakim perlu segera dibentuk untuk menjamin bahwa hakim sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman benar-benar mandiri, bebas dari intervensi kekuasaan pemerintah. Hingga kini, beberapa aspek terkait jabatan hakim seperti pengangkatan hakim, hak keuangan, jenjang karier/kepangkatan, dan fasilitas masih mengikuti standar aturan bagi pegawai negeri sipil (PNS).   

Salah satu Koordinator FDHI, Djoe Hadisasmito mengatakan pembentukan UU Jabatan Hakim sebenarnya merupakan amanat Pasal 19 UU Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Ketentuan itu menyebutkan hakim dan hakim konstitusi adalah pejabat negara yang melaksanakan kekuasaan kehakiman diatur undang-undang.

“(UU Jabatan Hakim) Ini mengatur bagaimana hakim sebagai pelaku utama kekuasaan kehakiman, bagaimana rekrutmennya, pembinaan, pengawasan, jaminan perlindungan keamanan, hak dan kewajibannya. Sebab, selama ini belum ada undang-undang yang mengatur khusus jabatan hakim,” ujar Djoe saat dihubungi hukumonline, Kamis (5/3).

Dia mengungkapkan sejumlah paket undang-undang di bidang peradilan yang terbit tahun 2009, termasuk UU Nomor 3 Tahun 2009 tentang Mahkamah Agung, hanya mengatur secara umum mengenai profesi jabatan hakim ini. “Undang-undang itu masih sepotong-potong, campur aduk yang juga mengatur hukum acara, panitera pengadilan, juru sita,” kata dia.

Menurutnya, rekrutmen hakim sebagai 'Wakil Tuhan’ ini harus lebih ketat daripada rekrutmen pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) atau komisioner Komisi Yudisial (KY). Faktanya, hingga kini rekrutmen hakim masih menggunakan sistem seleksi CPNS karena memang aturan jabatan hakim pejabat negara belum jelas.  

“Manusia yang terpilih menjadi hakim harus primus interpares, unggul. Misalnya, salah satu metode seleksinya menjaring lulusan fakultas hukum terbaik. Makanya, dibutuhkan pengaturan dengan UU Jabatan Hakim itu,” ungkap Hakim Pengadilan Negeri Dompu Nusa Tenggara Barat ini.    
  
Dikatakan Djoe, kebutuhan akan UU Jabatan Hakim jangan dipandang sebagai tuntutan para hakim yang menginginkan hak lebih, tetapi semata-mata agar pengangkatan, jenjang karier, pembinaan, pengawasan hakim sebagai pejabat negara lebih jelas.
 
“Rekrutmen, jenjang karier, pengawasannya harus terbaik, hak dan kewajibannya juga terbaik. Sanksi pelanggaran hakim juga harus lebih berat,” tegasnya.         

Terpisah, Direktur Eksekutif Lembaga Kajian dan Advokasi untuk Independensi Peradilan (LeIP) Arsil mengatakan urgensi UU Jabatan Hakim sangat tinggi terutama sejak sejumlah paket undang-undang peradilan menyebut hakim sebagai pejabat negara. Sebab, hingga saat ini konsekuensi pengaturan hakim sebagai pejabat negara belum ada.

“Bukan hanya sekadar status pejabat negara, tetapi sistem rekrutmen, kepegawaian, kepangkatan, penggajian tidak jelas. Sampai sekarang tidak ada undang-undangnya,” kata Arsil.

Diakuinya pengaturan hakim sebagai pejabat negara sebagian sudah diatur dalam undang-undang paket peradilan. Namun, ada beberapa hal yang belum diatur sama sekali pasca penyatuan atap dari Kementerian Hukum dan HAM ke MA pada 2004.
 
“Sejauh mana kewenangan MA mengatur para hakim dengan sistem rekrutmen, sistem kepegawaian tersendiri belum jelas karena hingga saat ini hakim masih menggunakan sistem PNS,” katanya.

(sumber : http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt54f8726fabd2f/ini-alasan-perlunya-uu-jabatan-hakim)

Rabu, 04 Maret 2015

Fakta-fakta Menarik Seputar Sidang di Luar Gedung Pengadilan Tahun 2014

Jakarta
Salah satu program prioritas Ditjen Badilag adalah access to justice. Selain pembebasan biaya perkara dan posbakum, yang termasuk program access to justice di lingkungan peradilan agama adalah sidang di luar gedung pengadilan atau dulu dikenal dengan istilah sidang keliling.
Secara general, anggaran untuk sidang di luar gedung pengadilan di lingkungan peradilan agama pada tahun 2014 berjumlah Rp6,19 Miliar. Yang terpakai berjumlah Rp5,82 miliar dan sisanya Rp370,4 juta. Dengan demikian, serapannya mencapai 94 persen.
Keseluruhan, perkara yang berhasil disidangkan berjumlah 30.857. Sidang dilakukan 523 kali, dengan catatan satu lokasi bisa digunakan untuk lebih dari satu kali sidang.
Berikut ini adalah fakta-fakta menarik seputar sidang di luar gedung pengadilan sepanjang tahun 2014 yang diolah Badilag.net dari data yang dihimpun Direktorat Pembinaan Administrasi Peradilan Agama Ditjen Badilag:
Anggaran terbesar
Anggaran terbesar untuk sidang di luar gedung pengadilan diterima wilayah PTA Bandung, yaitu Rp663,5 juta. Di bawahnya adalah PTA Pekanbaru (Rp591,1 juta) dan PTA Semarang (Rp499,3 juta).
Anggaran terkecil
Anggaran terkecil untuk sidang di luar gedung pengadilan diterima wilayah PTA Yogyakarta sebesar Rp28,5 juta. Berikutnya adalah PTA Bangka Belitung (Rp53,7 juta) dan PTA Gorontalo (Rp90,7 juta).
Serapan tertinggi
Serapan anggaran tertinggi berhasil dilakukan oleh wilayah PTA Bengkulu. Dengan anggaran Rp106 juta, yang berhasil diserap Rp106 juta juga. Artinya, prosentasenya 100 persen.
Di peringkat dua adalah wilayah PTA Ambon. Dijatah Rp135,9 juta, yang direalisasikan Rp135,8 juta. Serapannya mencapai 99,95 persen.
Di peringkat tiga adalah wilayah PTA Jayapura. Mendapat Rp193,8 juta, yang digunakan Rp192,9 juta. Serapannya mencapai 99,53 persen.
Serapan terendah
Serapan anggaran terendah terjadi di wilayah PTA Ternate. Dari anggaran Rp114,2 juta, yang terserap Rp80,7 juta. Dengan begitu, serapannya 70,67 persen.
Sedikit di atas PTA Ternate adalah serapan anggaran di wilayah PTA Manado.  Dari anggaran Rp130,4 juta, yang terserap Rp104,3 juta. Serapannya 79,99 persen.
Di atas PTA Manado adalah PTA Medan. Dari anggaran Rp145,1 juta, yang terserap Rp135,2 juta. Serapannya 83,07 persen.
Pelaksanaan terbanyak
Wilayah yang paling banyak menyelenggarakan sidang di luar gedung pengadilan sepanjang tahun 2014 adalah PTA Makassar, yaitu 71 kali. Di bawahnya adalah PTA Bandung (62 kali) dan PTA Mataram (47 kali).
Pelaksanaan tersedikit
Sidang di luar gedung pengadilan paling sedikit diselenggarakan oleh PTA Jakarta (1 kali), PTA Ternate (2 kali), serta PTA Ambon dan PTA Bengukulu (3 kali).
Perkara terbanyak
Wilayah yang menangani perkara paling banyak dalam sidang di luar pengadilan sepanjang 2014 adalah PTA Bandung (7.388 perkara), lalu disusul PTA Semarang (7.126 perkara) dan PTA Makassar (2.155 perkara).
Perkara tersedikit
Wilayah yang menangani perkara paling sedikit dalam sidang di luar pengadilan sepanjang 2014 adalah PTA Jakarta (13 perkara), PTA Manado (28 perkara) dan PTA Jayapura (49 perkara).
Sebagai catatan, sidang di luar negeri yang diselenggarakan PA Jakarta Pusat tidak tercakup dalam laporan ini. Demikian juga dengan sidang terpadu yang anggarannya tidak berasal dari DIPA yang dialokasikan oleh Ditjen Badilag.

(sumber : http://www.badilag.net/seputar-ditjen-badilag/seputar-ditjen-badilag/fakta-fakta-menarik-seputar-sidang-di-luar-gedung-pengadilan-tahun-2014)

Selasa, 03 Maret 2015

Pengadilan Agama Butuh Tambahan 2461 Hakim

Jakarta
Lingkungan peradilan agama mengalami defisit hakim tingkat pertama. Di 359 pengadilan agama/mahkamah syar’iyah, idealnya terdapat 5539 hakim, namun jumlah yang ada saat ini hanya  3078 hakim. Dengan demikian, dibutuhkan tambahan 2461 hakim.
Data tersebut berasal dari Direktorat Pembinaan Tenaga Teknis Peradilan Agama Ditjen Badilag dan dihimpun dengan menggunakan SIMPEG.
Saat ini, 359 pengadilan tingkat pertama di lingkungan peradilan agama terdiri dari 56 PA Kelas IA, 100 PA Kelas IB dan 203 PA Kelas II. PA adalah versi singkat dari pengadilan agama/mahkamah syar’iyah.
Berdasarkan perhitungan beban kerja yang dilakukan DitbinGanis, idealnya di setiap PA kelas IA terdapat 25 hakim,  di PA Kelas IB terdapat 15 hakim dan di PA Kelas II terdapat 13 hakim.
Dengan demikian, jumlah yang standar ialah 1400 hakim untuk 56 PA Kelas IA, 1500 hakim untuk 100 PA Kelas IB dan 2639 untuk 203 PA Kelas II.   
Faktanya, saat ini hanya ada 845 hakim di 56 PA Kelas IA, yang berarti kurang 555 hakim. Di 100 PA Kelas IB, hanya ada 873 hakim, sehingga kurang 627 hakim. Di PA Kelas II, cuma terdapat 1414 hakim, sehingga kurang 1225 hakim.

(sumber : http://www.badilag.net/seputar-ditjen-badilag/seputar-ditjen-badilag/pengadilan-agama-butuh-tambahan-2461-hakim)