Meski tak menjadi prioritas pembahasan
tahun 2015, masuknya RUU Jabatan Hakim dalam Prolegnas 2015-2019,
menjadi angin segar bagi kalangan hakim khususnya dan lembaga peradilan
pada umumnya. Melalui RUU tersebut diharapkan profesi hakim semakin
mendapatkan kedudukan yang jelas dan sesuai dengan harkat martabatnya.
Hal itu disampaikan Kepala Badan Litbang Diklat Hukum dan Peradilan Mahkamah Agung (MA), Siti Nurdjanah, dalam acara Seminar Nasional “Urgensi UU Jabatan Hakim Bagi Pembaharuan Kekuasaan Kehakiman” di Fakultas Hukum Universitas Gajah Mada (FH UGM), Yogyakarta, Sabtu, (14/3).
“Sampai saat ini, kedudukan hakim sebagai sebuah jabatan dinilai masih bias dan belum tertegaskan secara integral,” katanya.
Siti mengatakan, bilamana Hakim Agung pada Mahkamah Agung dan hakim konstitusi telah jelas penetapannya sebagai pejabat negara dengan segala implemantasinya, tidak demikian dengan hakim karir yang bertugas di lingkungan peradilan di bawah Mahkamah Agung. Kedudukan dan perlakuan terhadapnya, baik dari segi normatif maupun implementatif masih belum sepenuhnya ditempatkan sebagai pejabat negara.
Soalnya, pada satu sisi ditegaskan sebagai pejabat negara, namun dalam kenyataannya pada beberaa aspek yang mengenainya masih terkait dengan sistem Pegawai Negeri Sipil (PNS). “Oleh karenanya jabatan hakim sering dikatakan berstatus ganda, yaitu sebagai pejabat negara dan PNS,” ujar Siti.
Siti memandang pembiaran atas status ganda yang tersandangkan dalam jabatan Hakim ini telah menimbulkan berbagai masalah serius baik dari segi manajerial pada umumnya, maupun secara khusus terkait dengan potensi reduksi independensi peradilan. Jika independensi mulai tereduksi maka secara qonditio sine quanon, implikasi dai problematika jabatan Hakim ini menghambat upaya mewujudkan visi MA yakni mewujudkan badan peradilan yang agung.
Dijelaskan Siti, penyatuan atap pembinaan terhadap hakim menjadi di bawah satu atap MA ternyata dalam kenyataannya tidak telalu banyak membawa perubahan berarti. Boleh dikatakan, hanya sekadar hilangnya kewenangan menteri melakukan pembinaan terhadap hakim. Hal itu disebabkan karena sistem kepegawaian hakim mengacu pada PP No.41 Tahun 2002 tentang Kenaikan Jabatan dan Pangkat Hakim yang memperlakukan hakim sebagai PNS
“Status dan kedudukan hakim pada satu pihak telah dinyatakan sebagai pejabat negara, namun pada pihak lain menyangkut masalah kenaikan jabatan dan kepangkatan hakim masih tetap disamakan dengan PNS,” tuturnya.
Selain itu, sambung Siti, berbagai permasalahan lain yang tidak kalah pentingnya terkait dengan kewenangan MA melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap para hakim. Pengwasan itu antara lain masalah definisi atau jenis jabatan yang disandang hakim, masalah rekrutmen hakim, masalah sistem kepangkatan hakim, masalah sistem penilaian kinerja hakim, dan masalah kepensiunan.
Siti mengakui momentum penebitan UU ASN telah memberikan angin segar bagi kalangan hakim khususnya dan pada peradilan pada umumnya. Dalam Pasal 121 dan Pasal 122 huruf e UU ASN secara eksplisit menjelaskan kedudukan jabatan hakim sebagai pejabat negara.
Namun, kata Siti, selain didefinisikan sebagai pejabat negara, dalam beberapa UU yang berlaku lainnya jabatan hakim didefinisikan secara bebeda-beda. UU No.28 Tahun 1999 tentang Peyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme mengkategorikan hakim sebagai penyelenggara negara (Pasal 1 ayat (1) dan Pasal 2). Sedangkan UU No.48 Tahun 2009 tentang kekuansaan Kehakiman menetapkan jabatan hakim sebagai pejabat negara yang melakukan kekuasaan kehakiman (Pasal 19).
Pakar Hukum Adminisitrasi Negara FH UGM, Zainal Arifin Mochtar, mengakui RUU Jabatan Hakim adalah hal yang urgent karena selama ini tidak ada aturannya. Selama ini, para hakim dikatakan sebagai pejabat negara dalam beberapa undang-undang, tapi penerjemahannya hakim masih ikut ke PNS.
“Seharusnya ada penjelasan mendetail mengenai pejabat negara itu substansinya apa,” kata Zainal.
Meski mengakui pentingnya RUU Jabatan Hakim, Zainal juga mengingatkan agar isi RUU perlu diperhatikan. Menurutnya, isi RUU harus mencakup banyak hal, bukan hanya satu atau dua hal saja. Dia mengatakan, RUU tersebut harus bisa menyelesaikan segala problem hakim yang selama ini ada.
Zainal melanjutkan, regulasi yang ada di Indonesia selama ini masih banyak yang berbenturan, khususnya soal jabatan hakim. Zainal mencontohkan UU ASN, terutama Pasal 121 dan Pasal 122. Menurutnya, kedua pasal itu keliru karena melarang hakim ad hoc untuk menjabat sebagai pejabat negara.
“Seakan-akan semua hakim boleh menjadi pejabat negara kecuali hakim ad hoc. Itu kan salah. Memangnya hakim ad hoc salah apa sehingga tidak boleh menjadi pejabat negara,” kata Zainal.
Ke depan, ia menyarankan harus dibangun cetak biru terhadap regulasi yang mengatur penyelenggara negara. “Kita cenderung belum rapih. Kita juga belum pernah bicara mengenai cetak biru penyelenggara negara itu seperti apa. Makanya yang terjadi saat ini adalah pertentangan antara satu UU dengan UU yang lain,” pungkasnya.
Hal itu disampaikan Kepala Badan Litbang Diklat Hukum dan Peradilan Mahkamah Agung (MA), Siti Nurdjanah, dalam acara Seminar Nasional “Urgensi UU Jabatan Hakim Bagi Pembaharuan Kekuasaan Kehakiman” di Fakultas Hukum Universitas Gajah Mada (FH UGM), Yogyakarta, Sabtu, (14/3).
“Sampai saat ini, kedudukan hakim sebagai sebuah jabatan dinilai masih bias dan belum tertegaskan secara integral,” katanya.
Siti mengatakan, bilamana Hakim Agung pada Mahkamah Agung dan hakim konstitusi telah jelas penetapannya sebagai pejabat negara dengan segala implemantasinya, tidak demikian dengan hakim karir yang bertugas di lingkungan peradilan di bawah Mahkamah Agung. Kedudukan dan perlakuan terhadapnya, baik dari segi normatif maupun implementatif masih belum sepenuhnya ditempatkan sebagai pejabat negara.
Soalnya, pada satu sisi ditegaskan sebagai pejabat negara, namun dalam kenyataannya pada beberaa aspek yang mengenainya masih terkait dengan sistem Pegawai Negeri Sipil (PNS). “Oleh karenanya jabatan hakim sering dikatakan berstatus ganda, yaitu sebagai pejabat negara dan PNS,” ujar Siti.
Siti memandang pembiaran atas status ganda yang tersandangkan dalam jabatan Hakim ini telah menimbulkan berbagai masalah serius baik dari segi manajerial pada umumnya, maupun secara khusus terkait dengan potensi reduksi independensi peradilan. Jika independensi mulai tereduksi maka secara qonditio sine quanon, implikasi dai problematika jabatan Hakim ini menghambat upaya mewujudkan visi MA yakni mewujudkan badan peradilan yang agung.
Dijelaskan Siti, penyatuan atap pembinaan terhadap hakim menjadi di bawah satu atap MA ternyata dalam kenyataannya tidak telalu banyak membawa perubahan berarti. Boleh dikatakan, hanya sekadar hilangnya kewenangan menteri melakukan pembinaan terhadap hakim. Hal itu disebabkan karena sistem kepegawaian hakim mengacu pada PP No.41 Tahun 2002 tentang Kenaikan Jabatan dan Pangkat Hakim yang memperlakukan hakim sebagai PNS
“Status dan kedudukan hakim pada satu pihak telah dinyatakan sebagai pejabat negara, namun pada pihak lain menyangkut masalah kenaikan jabatan dan kepangkatan hakim masih tetap disamakan dengan PNS,” tuturnya.
Selain itu, sambung Siti, berbagai permasalahan lain yang tidak kalah pentingnya terkait dengan kewenangan MA melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap para hakim. Pengwasan itu antara lain masalah definisi atau jenis jabatan yang disandang hakim, masalah rekrutmen hakim, masalah sistem kepangkatan hakim, masalah sistem penilaian kinerja hakim, dan masalah kepensiunan.
Siti mengakui momentum penebitan UU ASN telah memberikan angin segar bagi kalangan hakim khususnya dan pada peradilan pada umumnya. Dalam Pasal 121 dan Pasal 122 huruf e UU ASN secara eksplisit menjelaskan kedudukan jabatan hakim sebagai pejabat negara.
Namun, kata Siti, selain didefinisikan sebagai pejabat negara, dalam beberapa UU yang berlaku lainnya jabatan hakim didefinisikan secara bebeda-beda. UU No.28 Tahun 1999 tentang Peyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme mengkategorikan hakim sebagai penyelenggara negara (Pasal 1 ayat (1) dan Pasal 2). Sedangkan UU No.48 Tahun 2009 tentang kekuansaan Kehakiman menetapkan jabatan hakim sebagai pejabat negara yang melakukan kekuasaan kehakiman (Pasal 19).
Pakar Hukum Adminisitrasi Negara FH UGM, Zainal Arifin Mochtar, mengakui RUU Jabatan Hakim adalah hal yang urgent karena selama ini tidak ada aturannya. Selama ini, para hakim dikatakan sebagai pejabat negara dalam beberapa undang-undang, tapi penerjemahannya hakim masih ikut ke PNS.
“Seharusnya ada penjelasan mendetail mengenai pejabat negara itu substansinya apa,” kata Zainal.
Meski mengakui pentingnya RUU Jabatan Hakim, Zainal juga mengingatkan agar isi RUU perlu diperhatikan. Menurutnya, isi RUU harus mencakup banyak hal, bukan hanya satu atau dua hal saja. Dia mengatakan, RUU tersebut harus bisa menyelesaikan segala problem hakim yang selama ini ada.
Zainal melanjutkan, regulasi yang ada di Indonesia selama ini masih banyak yang berbenturan, khususnya soal jabatan hakim. Zainal mencontohkan UU ASN, terutama Pasal 121 dan Pasal 122. Menurutnya, kedua pasal itu keliru karena melarang hakim ad hoc untuk menjabat sebagai pejabat negara.
“Seakan-akan semua hakim boleh menjadi pejabat negara kecuali hakim ad hoc. Itu kan salah. Memangnya hakim ad hoc salah apa sehingga tidak boleh menjadi pejabat negara,” kata Zainal.
Ke depan, ia menyarankan harus dibangun cetak biru terhadap regulasi yang mengatur penyelenggara negara. “Kita cenderung belum rapih. Kita juga belum pernah bicara mengenai cetak biru penyelenggara negara itu seperti apa. Makanya yang terjadi saat ini adalah pertentangan antara satu UU dengan UU yang lain,” pungkasnya.
(sumber : http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt55064c6199b06/ruu-jabatan-hakim-pintu-masuk-selesaikan-problem-hakim)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar