Alamat

Jalan Balige-Laguboti Km. 5 Tambunan Lumban Pea Timur Telp. (0632)21165 email : ikahi.pabalige@gmail.com

Selasa, 24 Februari 2015

Ini Prioritas Promosi dan Mutasi Hakim Peradilan Agama Tahun 2015

Bandung l Badilag.net
Badilag telah memiliki kriteria hakim peradilan agama yang akan diprioritaskan untuk dipromosikan dan dimutasikan pada tahun ini.
Dirjen Badilag Drs. H. Abdul Manaf, S.H., M.H. mengungkapkan, tahun ini Badilag akan memprioritaskan promosi dan mutasi kepada hakim-hakim yang bertugas di luar Jawa dan sedang sakit, dengan bukti surat keterangan dari dokter.
“Yang kami prioritaskan adalah hakim-hakim yang sedang sakit, dan tidak ada dokter yang bisa mengobatinya di dekat tempatnya bertugas. Misalnya, hakim yang harus cuci darah seminggu dua kali,” ucap Dirjen Badilag, saat memberi pengarahan pada rapat kerja PTA Bandung dengan PA-PA di bawahnya, di Aula PTA Bandung, Jumat (13/2/2015).
Meskipun memiliki prioritas, Abdul Manaf menegaskan, Badilag tetap berpedoman pada Keputusan Ketua MA Nomor 192/KMA/SK/XI/2014 tentang Pembaruan Pola Promosi dan Mutasi Hakim di Lingkungan Peradilan Agama.
Pasal 2 Keputusan Ketua MA itu menyatakan, Pembaruan Pola Promosi dan Mutasi Hakim di Lingkungan Peradilan Agama mengutamakan kebutuhan dan kepentingan organisasi/lembaga dan dapat dikecualikan sepanjang telah mendapatkan persetujuan Pimpinan MA.
Abdul Manaf menambahkan, dalam hal promosi dan mutasi, Badilag hanya menyiapkan data. “Yang memberikan kata akhir bukan Badilag, tapi pimpinan MA,” ujarnya.
Dirjen Badilag menghimbau agar para hakim peradilan agama tidak datang ke Badilag untuk mengurus promosi dan mutasi, karena Badilag telah memiliki data mengenai siapa saja yang sudah dan belum waktunya mendapatkan promosi dan mutasi.
“Jangan ke Badilag untuk mengurus mutasi. Kalau sudah waktunya, Insya Allah,” ungkapnya.
Dirjen Badilag juga tidak ingin para hakim peradilan agama pesimis. “Ada yang bagi kita mustahil, tapi tidak mustahil bagi Tuhan,” tuturnya.
Sebagai gambaran, saat ini di lingkungan peradilan agama terdapat 3668 hakim. Mereka bertugas di 29 pengadilan tingkat banding dan 359 pengadilan tingkat pertama.

(sumber : http://www.badilag.net/seputar-ditjen-badilag/seputar-ditjen-badilag/ini-prioritas-promosi-dan-mutasi-hakim-peradilan-agama-tahun-2015)

23 Orang Ikut Seleksi Calon Hakim Agung Kamar Agama Tahun 2015

Jakarta l Badilag.net
Seleksi calon hakim agung kembali digulirkan Komisi Yudisial. Tahun ini, KY akan memilih delapan calon hakim agung, dengan rincian dua orang untuk Kamar Pidana, dua orang untuk Kamar Perdata, satu orang untuk Kamar Agama, satu orang untuk Kamar Militer dan dua orang untuk Kamar Tata Usaha Negara.
Dibuka pada 29 Desember 2014 dan ditutup pada 19 Januari 2015, terdapat 92 orang yang diusulkan untuk ikut seleksi. Pengusulnya adalah Mahkamah Agung, pemerintah dan masyarakat. Mereka terdiri dari 56 hakim karier dari 36 non-karier.
Dari jumlah 92 orang itu, 23 orang di antaranya adalah peserta seleksi calon hakim agung untuk Kamar Agama. Seluruhnya berasal dari hakim karier.
Satu di antara mereka akan dipilih untuk mengisi kekosongan formasi yang ditinggalkan oleh Dr. H. Andi Syamsu Alam, S.H., M.H. Hakim agung yang terakhir menduduki jabatan Ketua Kamar Agama itu purnabhakti pada akhir Januari 2015 lalu.
Sementara seleksi calon hakim agung untuk Kamar Pidana diikuti 28 orang (16 karier dan 12 non-karier), Kamar Perdata 21 orang (9 karier dan 12 non-karier), Kamar Militer 7 orang (5 karier dan 2 non-karier), dan Kamar TUN 13 orang (3 karier dan 10 non-karier).
Tahap pertama yang mereka lalui adalah seleksi administrasi. Dari 92 orang itu, yang dinyatakan KY memenuhi persyaratan administrasi berjumlah 86 orang.
Tidak ada satupun dari 23 peserta seleksi calon hakim agung untuk Kamar Agama dan 7 peserta seleksi calon hakim agung untuk Kamar Militer yang gugur pada tahap ini.
Di samping itu, tidak ada satupun peserta seleksi dari jalur karier untuk Kamar Pidana, Kamar Perdata dan Kamar TUN yang gagal pada tahap ini.
Enam orang yang tidak berhasil melewati tahap ini seluruhnya dari non-karier. Mereka terdiri dari empat orang untuk Kamar Pidana, satu orang untuk Kamar Perdata dan satu orang untuk Kamar TUN.   
Selanjutnya, 86 peserta yang dinyatakan memenuhi persyaratan administrasi itu menjalani seleksi kualitas, berupa tes membuat karya ilmiah, yang diselenggarakan KY di gedung Balitbangdiklat MA, Megamendung, Bogor, 7-9 Februari lalu.
Sejauh ini, KY belum mengumumkan, siapa saja yang lulus dan tidak lulus pada seleksi kualitas. KY baru menginformasikan bahwa dua orang tidak hadir pada seleksi tahap kedua ini. Keduanya adalah peserta seleksi untuk Kamar TUN.
Setelah menjalani seleksi kualitas, KY akan menyelenggarakan tes kesehatan,  seleksi integritas, dan wawancara akhir. Jika seluruh tahap itu telah dilalui, KY akan mengirim nama-nama peserta yang lolos seleksi ke DPR untuk disetujui dan diajukan ke Presiden RI untuk memperoleh Keputusan Presiden.
Komisioner KY Taufiqurrahman Syahuri, yang sekaligus menjadi Ketua Bidang Rekrutmen Hakim, mengatakan bahwa tema seleksi calon hakim agung kali ini adalah “Menjadi Hakim yang Berintegritas dan Cerdas”.
“Hakim agung harus beintegritas dan cerdas. Kalau digabung menjadi cendekiawan,” ujarnya, sebagaimana dikutip Badilag.net dari situs KY.
Pada seleksi kali ini, penentuan formasi delapan calon hakim agung itu sesuai surat Wakil Ketua Mahkamah Agung Bidang Non-Yudisial Nomor 40/WKMA-NY/11/2014 tanggal 24 November 2014.
Disebutkan dalam surat itu bahwa MA memerlukan delapan hakim agung, karena belum lama ini dua hakim agung telah pensiun dan ada enam hakim agung yang belum dihasilkan pada seleksi tahun sebelumnya.
Sejak 2006 hingga 2014, seleksi yang dilakukan KY telah menghasilkan 42 hakim agung. Tiga di antaranya adalah hakim agung untuk Kamar Agama, yaitu Dr. H. Mukhtar Zamzami, S.H., M.H., Dr. H. Amran Suadi, S.H., M.H., dan Dr. H. Purwosusilo, S.H., M.H.

(sumber : http://www.badilag.net/seputar-ditjen-badilag/seputar-ditjen-badilag/23-orang-ikut-seleksi-calon-hakim-agung-kamar-agama-tahun-2015)

Minggu, 22 Februari 2015

“Memuliakan Kekuasaan Kehakiman”




Oleh :
Lanka Asmar

(telah dimuat koran waspada hari sabtu tanggal 21 Februari 2015)
“Reformasi terhadap kekuasaan kehakiman masih perlu diwujudkan, diantaranya melalui upaya agar DPR segera membahas RUU Jabatan Hakim”

Berdasarkan data Badan Legislasi Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), bahwa Rancangan Undang-undang (RUU) Jabatan Hakim masuk dalam Program Legislasi Nasional (Proglenas) 2015-2019. Hal ini merupakan salah satu upaya memuliakan kekuasaan kehakiman.
Menurut pasal 24 ayat 2 Undang-undang Dasar (UUD) Negara Republik Indonesia Tahun 1945, kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan yang dilakukan oleh Mahkamah Agung dan badan peradilan di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi. Pelaksanaan kekuasaan kehakiman harus dilakukan dengan merdeka untuk menegakkan hukum dan keadilan.
Peran hakim dan hakim konstitusi dalam kekuasaan kehakiman diharapkan tidak membeda-bedakan orang (persamaan di depan hukum) dan wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan di tengah masyarakat. Begitu besarnya kekuasaan kehakiman, sehingga merupakan salah satu bagian dari asas trias politica (kekuasaan yudikatif) disamping kekuasaan legislatif dan eksekutif. Saat terjadi permasalahan antara ranah hukum dan ranah politik terhadap calon Kapolri Komjen BG, maka Presiden Ir. H. Joko Widodo tetap menunggu proses pra peradilan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, meskipun proses politik telah selesai di DPR.  Hal itu membuktikan bahwa Indonesia sebagai negara hukum, tetap menjadikan hukum sebagai panglima.
Menurut Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang kekuasaan kehakiman terdapat 4 pengertian hakim yaitu hakim, hakim agung, hakim konstitusi, dan hakim ad hoc. Pertama. Hakim adalah hakim pada Mahkamah Agung, dan hakim pada badan peradilan yang berada dibawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan hakim pada pengadilan khusus yang berada dalam lingkungan peradilan tersebut (pasal 1 ayat 5 UU No. 48 Tahun 2009). Kedua. Hakim Agung adalah hakim pada Mahkamah Agung (pasal 1 ayat 6 UU No. 48 Tahun 2009). Ketiga. Hakim Konstitusi adalah hakim pada Mahkamah Konstitusi (pasal 1 ayat 7 UU No. 48 Tahun 2009). Keempat. Hakim Ad hoc adalah hakim yang bersifat sementara yang memiliki keahlian dan pengalaman di bidang tertentu untuk memeriksa, mengadili, dan memutus suatu perkara yang pengangkatannya diatur dalam undang-undang. Jika kita lihat pengertian hakim (pasal 1 ayat 5), maka hakim agung termasuk ke dalam kategori hakim “hakim pada mahkamah agung”, berbeda dengan hakim konstitusi. Hakim dan Hakim Konstitusi adalah pejabat negara yang melaksanakan kekuasaan kehakiman (pasal 19 UU No. 48 Tahun 2009). Hal ini dipertegas oleh pasal 122 huruf (e) dan (f) Undang-undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (ASN) bahwa Hakim dan Hakim Konstitusi adalah pejabat negara.
Seleksi Hakim Yang Tertunda
Disamping kekuasaan kehakiman, Konstitusi mengamanatkan Komisi Yudisial (KY) untuk mengusulkan pengangkatan hakim agung dan mempunyai kewenangan menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat serta perilaku hakim.  
Komisi Yudisial sebagai lembaga negara, juga mempunyai wewenang untuk mengambil langkah hukum dan atau langkah lain terhadap orang perseorangan, kelompok orang, atau badan hukum yang merendahkan kehormatan dan keluhuran martabat hakim (berdasarkan pasal 20 ayat 1 huruf (e) Undang-undang Nomor 18 Tahun 2011 tentang Komisi Yudisial).  Dengan adanya kewenangan KY tersebut, tentunya kekuasaan kehakiman lebih berwibawa dan bermatabat. Perbuatan yang menghina peradilan (contemp of court) dan khususnya hakim dapat dicegah oleh kewenangan Komisi Yudisial untuk advokasi hakim (berdasarkan pasal 20 ayat 1 huruf (e) UU No. 18 Tahun 2011). Advokasi terhadap hakim yang dapat dilakukan oleh KY diantaranya : Pertama. Berprilaku tercela dan tidak pantas di ruang pengadilan (Misbehaving in court). Hal ini telah diatur dalam pasal 218 ayat 1, 2 dan 3 Undang-undang 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yaitu dalam ruang sidang siapapun wajib menghormati ruang sidang pengadilan dan hakim ketua sidang atas perintahnya dapat mengeluarkan seseorang yang bersikap tidak sesuai dengan martabat pengadilan dan tata tertib sidang dan apabila bersifat pidana dapat dilakukan penuntutan terhadapnya. Kedua. Tidak menaati perintah pengadilan ( Disobeying Court Orders), berdasarkan pasal 176 KUHAP. Ketiga. Menyerang integritas dan imparsialitas pengadilan (scandalising the court), berdasarkan pasal 5 ayat 2  UU No. 48 Tahun 2009. Keempat. Menghalang-halangi jalannya penyelenggaraan peradilan (Obstructing Justice). Berdasarkan pasal 216 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) bahwa “barangsiapa yang tidak menuruti perintah hakim atau menghalang-halangi tindakan hakim atau pejabat pengadilan bisa dipidana. Kelima. Penghinaan terhadap pengadilan melalui publikasi (Subjudice Rule), berdasarkan pasal 6 huruf (b),  ( c ) dan (e) UU 40 Tahun 1999 tentang pers.     
Kemudian Komisi Yudisial bersama Mahkamah Agung juga mempunyai kewenangan untuk : Pertama. Melakukan seleksi pengangkatan hakim di lingkungan peradilan umum (berdasarkan pasal 14 A Undang-undang Nomor 49 Tahun 2009 tentang Peradilan Umum), Kedua. Seleksi pengangkatan hakim di lingkungan peradilan agama (berdasarkan pasal 13 A ayat 2 Undang-undang Nomor 50 Tahun 2009 tentang peradilan agama),  Ketiga. Seleksi pengangkatan hakim di lingkungan peradilan tata usaha negara (Pasal 14 A ayat 2 UU Nomor 51 Tahun 2009 tentang peradilan tata usaha negara). Berdasarkan ketentuan tersebut telah diterbitkan Peraturan Bersama KY dan MA : Nomor 01/PB/MA/IX/2012 dan Nomor 01/PB/P.KY/09/2012 tentang seleksi pengangkatan hakim. Namun hingga saat ini, seleksi penerimaan hakim lebih kurang 5 tahun belum dilaksanakan. Menurut Komisi Yudisial, bahwa terkendalanya penerimaan hakim oleh karena belum terbitnya Peraturan Presiden (PerPres) tentang pendidikan hakim.
Sistem rekrutmen hakim yang ideal adalah sistem rekrutmen yang dilakukan secara transparan dan adanya pengawasan secara efektif, hal itu merupakan bagian dari upaya menegakkan independensi dan objektivitas penilaian. Selain itu, dalam rekrutmen hakim faktor penting yang harus dipertimbangkan adalah intelektualitas dan integritas para calon hakim. Intelektualitas berkaitan dengan kemampuan penguasaan hukum materiil dan formal, serta kemampuan melakukan penemuan hukum. Sehingga proses seleksi bukan mengejar kuantitas jumlah hakim, bukan pula mengejar jumlah putusan yang berhasil diselesaikan setiap tahun. Kualitas putusan jauh lebih penting, dan karenanya kualitas hakim yang dihasilkan dari seleksi juga harus berkualitas.  
Pentingnya RUU Jabatan Hakim
RUU Jabatan Hakim yang masuk proglenas tahun 2015-2019 merupakan amanat dari pasal 19 Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang kekuasaan kehakiman. Pasal 19 UU Nomor 48 Tahun 2009 berbunyi “ Hakim dan Hakim Konstitusi adalah pejabat negara yang melakukan kekuasaan kehakiman yang diatur dalam undang-undang”. Frasa “diatur dalam undang-undang” sudah tepat dimasukkan dalam Proglenas tahun 2015-2019. Tentunya diharapkan agar Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI segera memasukkan ke dalam agenda prioritas tahunan.
Berdasarkan pasal 18 Undang-undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan bahwa penyusunan daftar Rancangan Undang-undang (RUU) adalah berdasarkan : Pertama. Perintah Undang-undang Dasar (UUD)  Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Kedua. Perintah Tap MPR. Ketiga. Perintah Undang-undang lainnya. Keempat. Sistem perencanaan pembangunan nasional. Kelima. Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional. Keenam. Rencana Pembangunan Jangka Menengah. Ketujuh. Rencana Kerja Pemerintah dan Rencana Strategis DPR. Kedelapan. Aspirasi dan kebutuhan hukum masyarakat. Berdasarkan hal tersebut, maka RUU Jabatan Hakim masuk kategori ketiga yaitu perintah Undang-undang lainnya.
Jika kita lihat profesi yang telah diatur oleh Undang-undang diantaranya yaitu: Notaris berdasarkan Undang-undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang jabatan notaris, Advokat berdasarkan Undang-undang Nomor 18 Tahun 2003, Guru dan Dosen berdasarkan Undang-undang Nomor 14 Tahun 2005. Oleh sebab itu, sudah semestinya RUU Jabatan Hakim layak untuk dibahas di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).

Penutup
            Kekuasaan kehakiman adalah salah satu bagian tubuh negara yang harus dijaga agar tetap utuh dan kokoh. Memuliakan daulat hukum tentunya bisa dilaksanakan dengan memuliakan kekuasaan kehakiman. Hakim sebagai bagian dari penegak hukum dan telah diamanatkan oleh Undang-undang Dasar (UUD) Negara Republik Indonesia Tahun 1945 seharusnya diperhatikan oleh pemerintah dan DPR.  Abainya pemerintah terhadap hakim dengan belum terbitnya Peraturan Presiden (Perpres) pendidikan hakim, yang berakibat tertundanya seleksi hakim, seharusnya tidak mesti terjadi. DPR diharapkan dapat segera membahas RUU Jabatan Hakim dan segera mengesahkan dalam bentuk Undang-undang.
            Pentingnya RUU Jabatan Hakim disebabkan adanya dualisme status hakim di lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan tata usaha negara dan lingkungan peradilan militer yang masih menyandang status PNS dan pejabat negara. Tentunya dengan dualisme status hakim terdapat konflik norma dan norma yang kabur (vage normen). Dualisme status hakim dimulai sejak tahun 1999, yang pada masa itu lahir Undang-undang Nomor 43 Tahun 1999 yang menyatakan hakim adalah pejabat negara. Namun dari sisi kepangkatan, penggajian dan sistem kepegawaian masih menyandang status PNS. Reformasi peradilan masih belum sempurna, jika DPR tidak segera memprioritaskan RUU Jabatan Hakim. 
             

Minggu, 15 Februari 2015

Sebelas Istilah Qanun Jinayah yang Layak Anda Tahu

Sebelas Istilah Qanun Jinayah yang Layak Anda Tahu

Bentuk sosialisasi Qanun Jinayah di salah satu sudut jalan raya di Banda Aceh. Foto: MYS
Kata ‘Ikhtilath’ terlihat mencolok di spanduk berlatar warna kuning yang terpampang di pinggir jalan tak jauh dari Masjid Raya Baiturrahman Banda Aceh. Mencolok bukan saja karena warna biru yang berbeda dari warna latar spanduk, tetapi juga karena huruf-hurufnya lebih besar dibandingkan huruf-huruf lain.

Ikhtilath salah satu istilah yang bisa ditemukan dalam Pasal 1 poin 24 Qanun Aceh Nomor 6 Tahun 2014 tentang Hukum Jinayah. Ikhtilath adalah perbuatan bermesraan seperti bercumbu, bersentuh-sentuhan, berpelukan dan berciuman antara laki-laki dan perempuan yang bukan suami isteri dengan kerelaan kedua belah pihak, baik pada tempat tertutup maupun terbuka.

Pasal 25 ayat (1) Qanun Hukum Jinayah mengancam hukuman cambuk maksimal 30 kali atau denda paling banyak 300 gram emas murni atau penjara maksimal 30 bulan jika terbukti melakukan ikhtilath.

Selain Ikhtilath masih banyak istilah khas yang tercantum dalam Qanun Hukum Jinayah. Beberapa istilah hukum yang sehari-hari dikenal seperti restitusi, zina, pemerkosaan, pelecehan seksual, hakim, menyuruh melakukan, dan anak dimuat juga dalam Qanun Hukum Jinayah. Inilah 10 istilah lain yang layak Anda ketahui:

1. Khalwat
Khalwat adalah perbuatan berada pada tempat tertutup atau tersembunyi antara dua orang yang berlainan jenis kelamin yang bukan mahram dan tanpa ikatan perkawinan dengan kerelaan kedua belah pihak.

2. Liwath
Liwath adalah perbuatan seorang laki-laki dengan cara memasukkan zakarnya ke dalam dubur laki-laki yang lain dengan kerelaan kedua belak pihak. Akademisi FHUI, Neng Djubaedah, menyebutnya homoseksual. Liwath terjadi di kalangan laki-laki (gay).

3. Musahaqah
Musahaqah adalah perbuatan dua orang wanita atau lebih dengan cara saling menggosok-gosokkan anggota tubuh atau faraj untuk memperoleh rangsangan (kenikmatan) seksual dengan kerelaan kedua belah pihak. Dalam bahasa sehari-hari, perbuatan ini disebut lesbian.

4. Qadzaf
Qadzaf adalah menuduh seseorang melakukan zina tanpa dapat mengajukan minimal 4 orang saksi. Orang yang membuat tuduhan terja6dinya zina itu disebut qazf. Dalam bukunya, Perzinaan dalam Peraturan Perundang-Undangan di Indonesia Ditinjau dari Hukum Islam (2010), dosen FH Universitas Indonesia Neng Zubaidah, mengatakan orang yang menuduhkan zina tanpa bisa menghadirkan saksi-saksi dapat dijatuhi hukuman dera.

5. Jarimah
Qanun Jinayah mengartikan jarimah sebagai perbuatan yang dilarang oleh syariat Islam yang dalam qanun diancam dengan hukuman tertentu. Jinayah dan jarimah punya makna yang relatif sama meskipun cakupannya beda. Menurut Nurul Irfan, dosen UIN Syarif Hidayatullah Ciputat, jinayah sifatnya makro dan sering diartikan pidana, sedangkan jarimah itu tindak pidana. Itu sebabnya di UIN ada jurusan Syariah Jinayah Syiasah yang bersifat umum.

Perbuatan-perbuatan pidana yang dilarang lazim dikenal sebagai strafbaar feiten atau delicten. Dalam literatur, ada juga yang menggunakan istilah tindak pidana (Oemar Seno Adji), bahkan ada yang menggunakan istilah peristiwa pidana (Utrecht). “Jarimah itu artinya delik,” kata Nurul Irfan.

6. ‘Uqubat
‘Uqubat adalah hukuman yang dapat dijatuhkan oleh hakim terhadap pelaku jarimah. Dalam bahasa sehari-hari, kata Nurul Irfan, ‘uqubat itu disebut sanksi

7. Hudud
Dalam bahasa Arab, hudud adalah bentuk jamak dari hadd, yang artinya batas. Jadi, hudud adalah batas-batas yang telah ditetapkan tidak boleh dilanggar. Menurut Qanun Jinayah, hudud adalah jenis hukuman yang bentuk dan besarannya telah ditentukan di dalam qanun secara tegas. “Dengan kata lain, hudud adalah berbagai jenis jarimah yang ‘uqubah-nya telah disebut secara jelas dalam al-Qur’an dan Hadits,” jelas Nurul Irfan.

8. Ta’zir
Dalam konsep pidana Indonesia, ada hukuman yang bersifat alternatif atau kumulatif, dan ada pula alternatif-kumulatif. Hukuman alternatif mengandung arti hakim diberi kebebasan untuk memilih jenis hukuman yang layak dijatuhkan kepada terpidana. Perkembangan hukum pidana nasional sudah mengenal hukuman terendah dan tertinggi untuk jenis pidana tertentu yang ditetapkan pemerintah. Qanun Jinayah Aceh mengenal istilah ta’zir, yaitu jenis hukuman yang telah ditentukan dalam qanun yang bentuknya bersifat pilihan dan besarannya dalam batas tertinggi dan/atau terendah.

Nurul Irfan menjelaskan ta’zir itu adalah semua jenis sanksi pidana yang tidak ditetapkan oleh Allah dalam al-Qur’an dan Nabi Muhammad dalam Hadits, namun menjadi kebijakan negara atau penguasa setempat. Kebijakan qanun jinayat, kata dia, umumnya menggunakan konsep ta’zir.

9. Maisir
Maisir adalah istilah yang dipakai untuk mengartikan judi. Dalam Qanun Jinayah, maisir adalah perbuatan yang mengandung unsur taruhan  dan/atau unsur untung-untungan yang dilakukan  oleh dua pihak atau lebih, disertai kesepakatan bahwa pihak yang menang akan mendapat bayaran/keuntungan tertentu dari pihak yang kalah baik secara langsung maupun tidak langsung. Pasal 303 ayat (3) KUHP menyebutkan judi adalah tiap-tiap permainan, yang pada umumnya kemungkinan mendapat untung tergantung pada peruntungan belaka.

10. Khamar
Khamar adalah minuman yang memabukkan dan/atau mengandung alkohol dengan kadar 2 persen atau lebih. KUHP sebenarnya juga melarang mabuk-mabukan dan memasukkannya sebagai pelanggaran, tetapi ada unsur di depan umum. Pasal  492 ayat (1) KUHP menyebutkan: Barangsiapa dalam keadaan mabuk di muka umum merintangi lalu lintas, atau mengganggu ketertiban, atau mengancam keamanan orang lain, diancam dengan pidana kurungan maksimal 6 hari atau denda paling banyak 375 rupiah.

(Sumber : http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt54df17d68f824/sebelas-istilah-qanun-jinayah-yang-layak-anda-tahu)

Selasa, 10 Februari 2015

Dua Kategori Non-Muslim yang Bisa Terjerat Qanun Jinayah

Dua Kategori Non-Muslim yang Bisa Terjerat Qanun Jinayah

Gereja Katholik Paroki Hati Kudus berdiri tegak di kawasan Simpang Lima, Banda Aceh. Lokasinya, hanya berjalan beberapa menit dari arah Masjid Raya Baiturrahman, menyeberangi jembatan di atas sungai Krueng Aceh, menuju kawasan Simpang Lima. Gereja ini dibangun pemerintah kolonial Belanda pada 1926.

Gereja katholik ini bukan satu-satunya rumah ibadah non-Muslim di Banda Aceh.  Tak jauh dari sana, di Jalan Pocut Baren, ada Gereja Protestan Indonesia Bagian Barat (GPIB); bersebelahan dengan sekolah Methodis. Di kawasan Peunayong Banda Aceh, juga bisa ditemukan vihara, misalnya Vihara Darma Bhakti.

Seperti daerah lain di Indonesia, penduduk Aceh juga heterogen. Islam memang bukan satu-satunya agama yang dianut warga di Serambi Mekkah. Data Badan Pusat Statistik Aceh menunjukkan jumlah penduduk Aceh (2010) adalah 4.494.410 jiwa. Pemeluk agama Islam 98,80 persen, Protestan 0,84 persen, Katholik 0,16 persen, Budha 0,18 persen, dan Hindu 0,02 persen. Para penduduk non-Islam ini tersebar di seantero Aceh, bukan hanya di Banda Aceh.

Bagaimana status non-Muslim dalam Qanun Jinayah? Pertanyaan inilah yang acapkali muncul saat membahas penerapan qanun di Aceh. Apakah Qanun Jinayah berlaku juga kepada mereka yang bukan pemeluk Islam? Kekhawatiran kalangan non-Muslim terhadap penerapan syariah nyata adanya. Setidaknya, pandangan Frietz R. Tambunan Pr seperti terekam dalam buku Syariat di Wilayah Syariat yang diterbitkan Dinas Syariat Islam Aceh (2002).

“Kalangan non-Muslim memang sering risau dengan rencana penerapan syariat Islam yang tetap masih diperjuangkan oleh berbagai kelompok Islam. Pertanyaan yang selalu terungkap adalah bagaimana nasib non-Muslim bila syariat Islam menjadi hukum positif?”.

Dua kategori
Jika dibawa ke konteks qanun jinayah, pertanyaannya apakah aturan-aturan qanun pidana itu berlaku juga buat non-Muslim. Jika berlaku, berarti non-Muslim bisa diadili di Mahkamah Syar’iyah. Qanun Aceh No. 6 Tahun 2014 tentang Hukum Jinayah mengatur dua jawaban atas pertanyaan itu.

Pertama, orang non-Muslim yang melakukan tindak pidana (jarimah) bersama-sama dengan warga Aceh beragama Islam. Dalam kasus seperti ini non-Muslim itu memilih dan menyatakan tunduk sukarela pada Qanun Jinayah. Tunduk sukarela ini juga dikenal dalam tindak pidana menyimpan dan memperdagangkan minum-minuman keras (khamar).

Salah satu contohnya adalah L Liu alias YM. Warga kota Sigli beragama Budha ini dituduh menyimpan dan memperdagangkan khamar. Liu akhirnya diadili di Mahkamah Syar’iyah Sigli. Dalam putusan perkara ini terungkap demikian.

Bahwa terdakwa selaku penganut Budha...terdakwa telah menyatakan menundukkan diri secara sukarela pada hukum jinayah yang berlaku di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, oleh karena itu terdakwa tidak berkeberatan dan bersedia disidangkan di Mahkamah Syar’iah Sigli”. Pertimbangan ini bisa dilihat dalam putusan Mahkamah Syar’iyah Sigli No. 02/JN/2008/MSy-SGI.

Kedua, setiap orang beragama bukan Islam yang melakukan perbuatan jarimah di Aceh yang tidak diatur dalam KUHP atau ketentuan pidana di luar KUHP, tetapi diatur dalam Qanun Jinayah.

Tindak pidana perjudian – yang dilakukan beberapa orang—sangat berpeluang menjerat warga Aceh non-Muslim. Tetapi Dekan Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala Banda Aceh, Prof. Faisal A. Rany menegaskan pada dasarnya qanun jinayah hanya berlaku kepada orang Islam. Berlaku kepada non-Muslim hanya dalam kasus tertentu, misalnya karena pelaku menyatakan tunduk sukarela tadi.

Klausula tunduk sukarela dan keberlakuan qanun jinayah itu juga dinyatakan secara tegas dalam Pasal 129 UU No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh. Ayat (1) pasal ini menyatakan: “Dalam hal perbuatan jinayah yang dilakukan oleh dua orang atau lebih secara bersama-sama yang diantaranya beragama bukan Islam, pelaku yang beragama bukan Islam dapat memilih atau menundukkan diri secara sukarela pada hukum jinayah”.

Selanjutnya, ayat (2) menyatakan: “Setiap orang yang beragama bukan Islam melakukan perbuatan jinayah yang tidak diatur dalam KUHP atau ketentuan pidana di luar KUHP berlaku hukum jinayah”.

Mengenai ayat (2) UU Pemerintahan Aceh juncto Pasal 5 huruf c Qanun Hukum Jinayah, Ketua Program Studi Perbandingan Mazhab Hukum Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Ciputat, Khamami Zada, memberi contoh khamar. KUHP hanya mensyaratkan anasir ‘di muka umum’ agar seseorang yang minum khamar bisa dipidana. Qanun Jinayah tak mensyaratkan itu, sehingga orang yang melakukan jarimah itu tidak di depan umum pun bisa dipidana.

Pasal 126 UU No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh menyebutkan: (1) Setiap pemeluk agama Islam di Aceh wajib menaati dan mengamalkan syariat Islam; (2) Setiap orang yang bertempat tinggal atau berada di Aceh wajib menghormati pelaksanaan syariat Islam. Di sini terlihat penggunaan asas subjek dan asas teritorial. Asas subjek mengandung arti siapapun yang beragama Islam; sedangkan asas territorial berarti berlaku untuk semua orang yang tinggal di Aceh.

Cuma, masih ada mekanisme yang belum jelas diatur. Qanun Hukum Acara Jinayat tak secara gamblang mengatur bagaimana mekanisme non-Muslim menyatakan tunduk sukarela, dan pada tahap apa pernyataan itu disampaikan. Apakah seseorang bisa menarik kembali pernyataan tunduk sukarela itu?

Prinsipnya, seseorang bebas menyatakan kapan tunduk sukarela. Menurut Prof. Al Yasa Abubakar, mantan Kepala Dinas Syariat Islam Aceh, masalah pernyataan tunduk sukarela itu tak diatur karena sifatnya sukarela. “Dia boleh menundukkan diri kalau dia mau,” tegas Guru Besar IAIN Ar-Raniry Banda Aceh itu kepada hukumonline.
 
(sumber : http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt54da9dfa18fc9/dua-kategori-non-muslim-yang-bisa-terjerat-qanun-jinayah)

Senin, 09 Februari 2015

Pengadilan Agama Bogor Melaunching Delapan Program Unggulan


 

Dalam rangka meningkatkan pelayanan publik, pekan lalu (30/1/2015) pengadilan agama Bogor telah melaunching delapan program unggulan yang dicanangkan oleh Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama.
Kedelapan program unggulan tersebut antara lain sidang itsbat nikah terpadu, pelayanan one stop service, link bank, meja informasi dan pengaduan, mesin antrian elektronik, sms centre info perkara, arsip digital dan tabayun online.
Pelaunchingan yang dilakukan secara sederhana tersebut dilakukan oleh wakil ketua pengadilan tinggi agama Bandung, H. Helmi Bakry, S.H., M.H. di ruang sidang utama pengadilan agama Bogor. Acara tersebut dihadiri oleh pimpinan dan pejabat pengadilan agama Bogor.

 

Dengan dilaunchingnya program unggulan tersebut, diharapkan masyarakat pencari keadilan akan mendapatkan kemudahan dalam berperkara di pengadilan agama Bogor. Selain itu, juga dapat memotivasi para pimpinan dan pegawai untuk terus meningkatkan pelayanannya.
Misalkan dengan adanya layanan sms centre info perkara, masyarakat dapat dengan mudah dan cepat mendapatkan informasi seputar perkara seperti jadwal sidang, informasi perkara, keuangan perkara, akta cerai. Selain itu juga, masyarakat juga dapat mengirimkan sms pengaduan kepada pengadilan agama bogor.
Caranya cukup dengan mengirimkan sms ke nomor yang telah ditunjuk, yang berisi jenis informasi spasi nomor perkara, misalkan : JADWAL SIDANG_1234/Pdt.G/2015. Setelah menunggu beberapa saat, mereka akan mendapatkan sms jawaban terkait jadwal sidang yang diinginkan.

 

Layanan yang tidak kalah mudahnya adalah link bank yang berfungsi sebagai tempat pembayaran panjar biaya perkara. Masyarakat tidak direpotkan lagi ketika membayar biaya perkara di bank yang letaknya jauh di luar gedung pengadilan, karena di dalam gedung pengadilan agama Bogor telah tersedia bank tersebut.
Dalam hal pembayaran panjar biaya perkara, pengadilan agama Bogor telah menggandeng bank jabar banten syariah untuk melakukan kerja sama. (ws)

(sumber : http://www.badilag.net/seputar-ditjen-badilag/seputar-ditjen-badilag/pengadilan-agama-bogor-melaunching-delapan-program-unggulan-6-2-2015)


Qanun Hukum Jinayah, Kitab Pidana ala Serambi Mekkah

Qanun Hukum Jinayah, Kitab Pidana ala Serambi Mekkah
Gelap mulai menyelimuti Jalan Raya Banda Aceh-Meulaboh, Minggu (18/1), saat hukumonline menyusuri kawasan pantai mulai dari Gampong Pulot menuju Pantai Lhoknga. Maghrib sudah menjelang. Beberapa pasangan muda mudi masih asyik berduaan; ada yang di atas motor, ada juga di gubuk yang tersedia di bibir pantai. Lokasi ini tak jauh dari lokasi tembak menembak aparat Polri-TNI dengan terduga teroris, Maret 2010, di kawasan Leupung.

Jika tertangkap petugas dan terbukti melanggar ‘batas’, muda-mudi yang bukan muhrim bisa terancam hukuman. Sudah menjadi hukum yang berlaku khusus di Aceh, larangan bagi pasangan yang bukan muhrim berdua-duaan di tempat gelap atas kerelaan kedua belah pihak. Perbuatan ini disebut khalwat. Selain khalwat, ada lagi larangan melakukan perbuatan pidana yang disebut maisir dan meminum khamar.

Larangan ber-khalwat dan batas-batas lain itulah yang ditentukan dalam Qanun Aceh Nomor 6 Tahun 2014 tentang Hukum Jinayah. Qanun ini disetujui Pemprov dan DPRA pada 27 September 2014 lalu, dan mulai berlaku satu tahun kemudian. Saat hukumonline berkunjung ke Aceh tak ada tanda-tanda eksplisit penolakan atas Qanun Hukum Jinayah itu.

Suara penolakan justru datang dari Jakarta. Ketika masih berbentuk Raqan – begitulah media Aceh menyebut rancangan qanun—Komnas Perempuan menyampaikan kekhawatirannya atas Qanun Jinayah. Meskipun menghormati kewenangan khusus pemerintah Aceh melaksanakan syariat Islam, Komnas Perempuan tetap merasa perlu mengingatkan konteks Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Yang dikhawatirkan adalah ekses pelaksanaan qanun jinayah. Komnas menilai qanun jinayah sebangun dengan berbagai kebijakan daerah lainnya yang diskriminatif atas nama agama dan moralitas.

“Komnas Perempuan secara khusus prihatin bahwa qanun ini menghilangkan hak perlindungan hukum bagi perempuan dan anak korban kekerasan seksual,” demikian pernyataan resmi Komisi ini tak lama setelah Qanun Hukum Jinayah disetujui untuk disahkan.

Komnas Perempuan meminta pemerintah Aceh menunda sosialisasi dan mengkaji kembali keberadaan qanun agar sejalan dengan grand design pelaksanaan syariat Islam. Tetapi kepada pemerintah pusat, Komnas berharap agar qanun jinayat dibatalkan, seraya berharap ada peneguhan integritas hukum nasional dan wawasan kebangsaan.

Kekhawatiran Komnas Perempuan tentang ruh nasionalisme Qanun Jinayah dijawab Faisal A. Rany. Guru Besar Ilmu Hukum Fakultas Hukum Unsyiah Banda Aceh ini menyampaikan panjang lembar konstitusionalitas qanun dalam Seminar Pengkajian Hukum Nasional yang diselenggarakan Komisi Hukum Nasional, 3 Desember 2014 lalu. Ia mengingatkan konsep negara kesatuan tak mengingkari diversitas, Bhinneka Tunggal Ika.

“Dalam sistem perundang-undangan nasional disebutkan qanun merupakan peraturan daerah di Aceh yang menjadi bagian dari sistem hukum nasional,” jelasnya.

Setidaknya pelaksanaan syariat Islam di Aceh diamanatkan dalam beberapa Undang-Undang. Ada UU Nomor 44 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Aceh; UU Nomor 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh sebagai Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam; UU Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh; dan UU Nomor 48 Tahun 2007 tentang Penetapan Perppu Nomor 2 Tahun 2007 tentang Penanganan Permasalahan Hukum dalam Rangka Pelaksanaan Rehabilitasi dan Rekonstruksi Wilayah dan Kehidupan Masyarakat di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dan Kepulauan Nias Sumatera Utara Sebagai Undang-Undang.

Apa yang disampaikan Prof. Faisal juga termaktub dalam konsiderans Qanun Aceh tentang Hukum Jinayah. ‘Bahwa Aceh sebagai bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia memiliki keistimewaan dan otonomi khusus, salah satunya kewenangan untuk melaksanakan syariat Islam, dengan menjunjung tinggi keadilan, kemaslahatan, dan kepastian hukum’. Ia mengingatkan qanun ditetapkan oleh instansi bentukan negara, sehingga produk hukum lembaga itu juga sah dan mengikat secara hukum.

Akademisi FH Universitas Gadjah Mada, Zainal Arifin Mochtar, juga menilai tak ada persoalan dengan qanun. “Qanun itu setara dengan Perda yang didasarkan pada Undang-Undang Otonomi Khusus Aceh, sehingga tidak ada masalah,” ujarnya kepada hukumonline (15/1).

Pembentukan Qanun
Qanun adalah peraturan perundang-undangan setingkat Peraturan Daerah (Perda) yang mengatur penyelenggaraan pemerintahan dan kehidupan masyarakat Aceh. Itu kata Pasal 1 angka 21 UU Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh. Qanun Hukum Jinayah dikeluarkan pemerintahan provinsi, sehingga berlaku untuk seluruh wilayah Aceh.

Proses pembentukan qanun ini tetap tunduk pada ketentuan UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Naskahnya dibahas bersama pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA). Eksekustif dan legislatif akhirnya setuju mengesahkan rancangan itu menjadi qanun.

UU Nomor 12 Tahun 2011 juga menyinggung tentang qanun. Penjelasan Pasal 7 ayat (1) huruf f menegaskan ‘termasuk dalam Peraturan Daerah Provinsi adalah Qanun yang berlaku di Provinsi Aceh dan Peraturan Daerah Khusus (Perdasus) serta Peraturan Daerah Provinsi (Perdasi) yang berlaku di Provinsi Papua dan Papua Barat’. Ketentuan senada untuk qanun kabupaten/kota disebutkan dalam Penjelasan Pasal 7 ayat (1) huruf g.

Prof. Syahrial Abbas, Kepala Dinas Syariat Islam Aceh, juga menyinggung masalah ini saat memberi pengantar untik buku Qanun Aceh No. 7 Tahun 2013 tentang Hukum Acara Jinayat. “Penyusunan produk hukum syariah dan pemberlakuannya di Aceh berada dalam bingkai sistem hukum nasional. Positivikasi norma hukum dari al-Qur’an dan as-Sunnah ke dalam Qanun Aceh dilakukan melaui proses legislasi (taqnin), yang melibatkan Gubernur Aceh dan Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) sebagai pemegang otoritas pembentuk Qanun Aceh,” tulisnya.

Qanun Jinayah
Nama lengkapnya Qanun Aceh Nomor 6 Tahun 2014 tentang Hukum Jinayah, lazim disebut Qanun Jinayah. Jinayah itu secara umum disebut pidana. Jadi, qanun jinayah bisa disebut Perda tentang Hukum Pidana.

Kehadiran qanun jinayah yang bersifat materiil ini telah ditopang hukum acara karena sebelumnya Aceh juga sudah memiliki Qanun Nomor 7 Tahun 2013 tentang Hukum Acara Jinayat.

Sebenarnya, jauh sebelumnya, bahkan sebelum bencana tsunami menerpa, Provinsi Aceh sudah memiliki tiga qanun mengenai jinayah. Pertama, Qanun No. 12 Tahun 2003 tentang Khamar dan Sejenisnya. Kedua, Qanun No. 13 Tahun 2003 tentang Maisir. Ketiga, Qanun Nomor 14 Tahun 2003 tentang Khalwat. Oleh Qanun Nomor 6 Tahun 2014, ketiga qanun ini dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.

Qanun Hukum Jinayah terbaru didasarkan pada asas keislaman, legalitas, keadilan dan keseimbangan, kemaslahatan, perlindungan HAM, dan pembelajaran kepada masyarakat (tadabbur). Dan pada 29 September 2014, Qanun Jinayah disahkan secara aklamasi dalam sidang paripurna Dewan Perwakilan Rakyat Aceh.

Seperti peribahasa Aceh hukom nanggro keupakaian, hukom Tuhan keu kulahkama. Hukum negara untuk ‘pakaian’, hukum Tuhan untuk ‘mahkota’.
(sumber : http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt54d80e8854ee1/qanun-hukum-jinayah--kitab-pidana-ala-serambi-mekkah)

Ini Ragam Delik Dalam Qanun Jinayah

Ini Ragam Delik Dalam Qanun Jinayah
Bersama petugas kepolisian, sejumlah warga Gampong Balohan, Kecamatan Suka Jaya, Sabang, Aceh, menggerebek arena judi domino, Minggu (18/1) dini hari. Lima orang yang kedapatan sedang main judi dibawa ke kantor polisi. Ironisnya, perjudian itu dilakukan di Poskamling -- tempat yang seharusnya dipakai untuk menjaga keamanan--  dan salah seorang pelakunya adalah pegawai honorer pemadan kebakaran setempat.

Judi, atau maisir, adalah salah satu perbuatan pidana atau delik (jarimah) yang diatur dalam Qanun Aceh No. 6 Tahun 2014 tentang Hukum Jinayah. Dalam Qanun Jinayah ini, unsur utama maisir adalah taruhan, untung-untungan, dan kesepakatan yang kalah membayar yang menang. Ancaman hukuman untuk perbuatan ini beragam.

Jika taruhan atau keuntungan maksimalnya setara 2 gram emas murni ancaman hukumannya cambuk maksimal 12 kali atau denda maksimal 120 gram emas murni atau penjara maksimal 12 bulan. Semakin besar nilai taruhan, semakin tinggi pula ‘uqubat ta’zir-nya (ancaman hukuman).

Tindak pidana lain yang diatur dalam Qanun Jinayah adalah minum-minuman keras yang bisa membuat mabuk sebagai asyribah. Dalam Qanun, secara khusus disebut khamar, karena itu dikenal istilah syaribul khamr. Minum khamar terancam hukuman cambuk 40 kali; dan jika memproduksi, menyimpan, menjual atau memasukkan minum-minuman keras ke Aceh terancam cambuk maksimal 60 kali.

Qanun Jinayah mengatur tindak pidana lain di luar perjudian dan minum-minuman keras, yaitu khalwat, ikhtilath, zina, pelecehan seksual, pemerkosaan, qadzaf, liwath, dan musahaqah. Dibanding qanun jinayah 2003, tindak pidana yang diatur Qanun No. 6 Tahun 2014 relatif lebih lengkap.

Tindak Pidana (Jarimah) yang Diatur Qanun Jinayah
Jarimah Rincian Perbuatan KUHP
Khamar Minum-minuman keras; menyimpan/menimbun, memproduksi, memasukkan, memperdagangkan; membeli, membawa/mengangkut, menghadiahkan khamar; mengikutsertakan anak-anak minum khamar Ps. 492
Ps. 536
Maisir Dengan sengaja melakukan judi; menyelenggarakan, menyediakan fasilitas, atau membiayai perjudian; mengikutsertakan anak-anak; dan percobaan judi. 303
Khalwat Dengan sengaja berkhalwat; menyelenggarakan, menyediakan fasilitas, atau  mempromosikan. -
Ikhtilath Dengan sengaja berikhtilath; menyelenggarakan, menyediakan fasilitas, atau mempromosikan; melakukan dengan anak berumus lebih dari 10 tahun; melakukan dengan mahram. -
Zina Dengan sengaja berzina; berzina dengan anak; berzina dengan mahram. Ps. 284
Pelecehan seksual Dengan sengaja melakukan pelecehan seksual; melakukan dengan anak. Ps. 287
Pemerkosaan Dengan sengaja melakukan pemerkosaan; memperkosa anak-anak Ps. 285
Qadzaf Dengan dengan melakukan qadzaf (menuduh orang lain berbuat zina tanpa bukti) -
Liwath Dengan sengaja melakukan liwath; mengulangi perbuatan; melakukan dengan anak-anak Ps. 292
Musahaqah Dengan sengaja melakukan musahaqah; mengulangi perbuatan; atau melakukan dengan anak-anak. Ps. 292

Mengisi kekosongan KUHP
Sebagian dari tindak pidana yang diatur Qanun Jinayah sebenarnya sudah disinggung dalam KUHP. Namun menurut Khamami Zada, Ketua Jurusan Program Studi Perbandingan Mazhab Hukum Fakultas Syariah dan Hukum UIN Ciputat, ada perbedaan pengaturan KUHP dengan Qanun, terutama norma hukumnya.

Norma hukum larangan minum-minuman keras dalam KUHP ditekankan pada terpenuhinya unsur mengganggu ketertiban umum. Sebaliknya, norma dalam Qanun tak menyaratkan unsur menganggu ketertiban umum tersebut. Dalam konteks inilah, Khamami menyebut Qanun Aceh tentang Hukum Jinayah mengisi kekosongan dalam KUHP.

“Bagi saya, ini adalah mengisi kekosongan hukum yang ada dalam KUHP,” ujarnya kepada hukumonline.

Mengisi kekosongan itu dapat pula berarti menambahkan suatu perbuatan sebagai pidana karena perbuatan tersebut tidak dikriminalisasi dalam KUHP. Aksi seksual lesbian (musahaqah)dan gay (liwath), misalnya. Demikian pula dengan perbuatan berpelukan, berciuman, atau bercumbu antara laki-laki dan perempuan bukan muhrim atas kerelaan kedua belah pihak (ikhtilath).

Sebenarnya, tidak semua tindak pidana yang diatur Qanun Jinayah benar-benar baru. Ada varian tertentu dalam KUHP. Misalnya liwath, bisa dibandingkan dengan Pasal 292-293 KUHP. Pasal 292 KUHP mengancam orang dewasa yang berbuat cabul kepada orang yang belum dewasa sesama jenis. Pasal 293 mengancam orang yang menjanjikan sesuatu, menyalahgunakan keadaan untuk melakukan perbuatan cabul. Bedanya, Qanun Jinayah spesifik menyebut adanya penetrasi, sedangkan KUHP lebih menekankan pada perbuatan cabul. Perbedaan lainnya, dalam Qanun disyaratkan unsur kerelaan kedua belah pihak.

Pilihan-pilihan terhadap jenis tindak pidana yang diatur dalam Qanun sangat bergantung pada pembentuk undang-undang di Aceh. Itu sebabnya muncul sejumlah pertanyaan, antara lain, mengapa korupsi tak diatur. Dosen UIN Ciputat, Nurul Irfan, memberi contoh lain: ganja.

Dalam pengertian luas, syaribul khamr bisa mencakup ganja dan zat adiktif yang memabukkan. Faktanya, seringkali polisi menemukan ganja yang berasal dari Aceh. Menjadi krusial, kata Irfan, kalau syariat Islam digunakan tapi ganja sering ditemukan. Padahal hukum nasional justru menjadikan ganja (narkotika) sebagai musuh bersama. Tetapi rekan Irfan di UIN, Khamami Zada, lebih melihat tindak pidana yang diatur Qanun Jinayah lebih fokus pada aspek-aspek moralitas. “Kecenderungannya, syariat Islam di Aceh lebih kepada moral saja, atau kesusilaan,” ujarnya.

Eks Kepala Dinas Syariat Islam Aceh, Prof. Al Yasa Abubakar menyatakan korupsi, misalnya, tak diatur dalam qanun karena sudah tegas dan jelas diatur negara. Kalau sudah lengkap diatur negara, tak perlu diatur qanun. “Iya, sudah diatur negara. Jadi, sementara ini, begitu.”

(sumber : http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt54d8f15079d34/ini-ragam-delik-dalam-qanun-jinayah)