Oleh :
Lanka Asmar
(telah dimuat koran waspada hari sabtu tanggal 21 Februari 2015)
“Reformasi
terhadap kekuasaan kehakiman masih perlu diwujudkan, diantaranya melalui upaya
agar DPR segera membahas RUU Jabatan Hakim”
Berdasarkan data Badan Legislasi Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), bahwa
Rancangan Undang-undang (RUU) Jabatan Hakim masuk dalam Program Legislasi
Nasional (Proglenas) 2015-2019. Hal ini merupakan salah satu upaya memuliakan
kekuasaan kehakiman.
Menurut pasal 24 ayat 2 Undang-undang Dasar (UUD) Negara Republik
Indonesia Tahun 1945, kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan yang dilakukan oleh
Mahkamah Agung dan badan peradilan di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum,
lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan
tata usaha negara dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi. Pelaksanaan kekuasaan
kehakiman harus dilakukan dengan merdeka untuk menegakkan hukum dan keadilan.
Peran hakim dan hakim konstitusi dalam kekuasaan kehakiman diharapkan
tidak membeda-bedakan orang (persamaan di depan hukum) dan wajib menggali,
mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan di tengah
masyarakat. Begitu besarnya kekuasaan kehakiman, sehingga merupakan salah satu bagian
dari asas trias politica (kekuasaan yudikatif) disamping kekuasaan legislatif
dan eksekutif. Saat terjadi permasalahan antara ranah hukum dan ranah politik
terhadap calon Kapolri Komjen BG, maka Presiden Ir. H. Joko Widodo tetap menunggu
proses pra peradilan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, meskipun proses
politik telah selesai di DPR. Hal itu
membuktikan bahwa Indonesia sebagai negara hukum, tetap menjadikan hukum
sebagai panglima.
Menurut Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang kekuasaan kehakiman
terdapat 4 pengertian hakim yaitu hakim, hakim agung, hakim konstitusi, dan
hakim ad hoc. Pertama. Hakim adalah hakim pada Mahkamah Agung, dan hakim
pada badan peradilan yang berada dibawahnya dalam lingkungan peradilan umum,
lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan
tata usaha negara, dan hakim pada pengadilan khusus yang berada dalam
lingkungan peradilan tersebut (pasal 1 ayat 5 UU No. 48 Tahun 2009). Kedua.
Hakim Agung adalah hakim pada Mahkamah Agung (pasal 1 ayat 6 UU No. 48 Tahun
2009). Ketiga. Hakim Konstitusi adalah hakim pada Mahkamah Konstitusi
(pasal 1 ayat 7 UU No. 48 Tahun 2009). Keempat. Hakim Ad hoc adalah
hakim yang bersifat sementara yang memiliki keahlian dan pengalaman di bidang
tertentu untuk memeriksa, mengadili, dan memutus suatu perkara yang
pengangkatannya diatur dalam undang-undang. Jika kita lihat pengertian hakim
(pasal 1 ayat 5), maka hakim agung termasuk ke dalam kategori hakim “hakim pada
mahkamah agung”, berbeda dengan hakim konstitusi. Hakim dan Hakim Konstitusi
adalah pejabat negara yang melaksanakan kekuasaan kehakiman (pasal 19 UU No. 48
Tahun 2009). Hal ini dipertegas oleh pasal 122 huruf (e) dan (f) Undang-undang
Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (ASN) bahwa Hakim dan Hakim
Konstitusi adalah pejabat negara.
Seleksi Hakim
Yang Tertunda
Disamping kekuasaan kehakiman, Konstitusi mengamanatkan Komisi Yudisial
(KY) untuk mengusulkan pengangkatan hakim agung dan mempunyai kewenangan
menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat serta perilaku hakim.
Komisi Yudisial sebagai lembaga negara, juga mempunyai wewenang untuk
mengambil langkah hukum dan atau langkah lain terhadap orang perseorangan,
kelompok orang, atau badan hukum yang merendahkan kehormatan dan keluhuran
martabat hakim (berdasarkan pasal 20 ayat 1 huruf (e) Undang-undang Nomor 18
Tahun 2011 tentang Komisi Yudisial).
Dengan adanya kewenangan KY tersebut, tentunya kekuasaan kehakiman lebih
berwibawa dan bermatabat. Perbuatan yang menghina peradilan (contemp of
court) dan khususnya hakim dapat dicegah oleh kewenangan Komisi Yudisial untuk
advokasi hakim (berdasarkan pasal 20 ayat 1 huruf (e) UU No. 18 Tahun 2011). Advokasi
terhadap hakim yang dapat dilakukan oleh KY diantaranya : Pertama.
Berprilaku tercela dan tidak pantas di ruang pengadilan (Misbehaving in
court). Hal ini telah diatur dalam pasal 218 ayat 1, 2 dan 3 Undang-undang
8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yaitu dalam
ruang sidang siapapun wajib menghormati ruang sidang pengadilan dan hakim ketua
sidang atas perintahnya dapat mengeluarkan seseorang yang bersikap tidak sesuai
dengan martabat pengadilan dan tata tertib sidang dan apabila bersifat pidana
dapat dilakukan penuntutan terhadapnya. Kedua. Tidak menaati perintah
pengadilan ( Disobeying Court Orders), berdasarkan pasal 176 KUHAP. Ketiga.
Menyerang integritas dan imparsialitas pengadilan (scandalising the court),
berdasarkan pasal 5 ayat 2 UU No. 48
Tahun 2009. Keempat. Menghalang-halangi jalannya penyelenggaraan
peradilan (Obstructing Justice). Berdasarkan pasal 216 Kitab
Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) bahwa “barangsiapa yang tidak menuruti
perintah hakim atau menghalang-halangi tindakan hakim atau pejabat pengadilan
bisa dipidana. Kelima. Penghinaan terhadap pengadilan melalui publikasi
(Subjudice Rule), berdasarkan pasal 6 huruf (b), ( c ) dan (e) UU 40 Tahun 1999 tentang pers.
Kemudian Komisi Yudisial bersama Mahkamah Agung juga mempunyai
kewenangan untuk : Pertama. Melakukan seleksi pengangkatan hakim di
lingkungan peradilan umum (berdasarkan pasal 14 A Undang-undang Nomor 49 Tahun
2009 tentang Peradilan Umum), Kedua. Seleksi pengangkatan hakim di
lingkungan peradilan agama (berdasarkan pasal 13 A ayat 2 Undang-undang Nomor
50 Tahun 2009 tentang peradilan agama), Ketiga.
Seleksi pengangkatan hakim di lingkungan peradilan tata usaha negara (Pasal 14
A ayat 2 UU Nomor 51 Tahun 2009 tentang peradilan tata usaha negara).
Berdasarkan ketentuan tersebut telah diterbitkan Peraturan Bersama KY dan MA :
Nomor 01/PB/MA/IX/2012 dan Nomor 01/PB/P.KY/09/2012 tentang seleksi
pengangkatan hakim. Namun hingga saat ini, seleksi penerimaan hakim lebih
kurang 5 tahun belum dilaksanakan. Menurut Komisi Yudisial, bahwa terkendalanya
penerimaan hakim oleh karena belum terbitnya Peraturan Presiden (PerPres)
tentang pendidikan hakim.
Sistem rekrutmen hakim yang ideal adalah
sistem rekrutmen yang dilakukan secara transparan dan adanya pengawasan secara
efektif, hal itu merupakan bagian dari upaya menegakkan independensi dan
objektivitas penilaian. Selain itu, dalam rekrutmen hakim faktor penting yang
harus dipertimbangkan adalah intelektualitas dan integritas para calon hakim.
Intelektualitas berkaitan dengan kemampuan penguasaan hukum materiil dan
formal, serta kemampuan melakukan penemuan hukum. Sehingga proses seleksi bukan
mengejar kuantitas jumlah hakim, bukan pula mengejar jumlah putusan yang
berhasil diselesaikan setiap tahun. Kualitas putusan jauh lebih penting, dan
karenanya kualitas hakim yang dihasilkan dari seleksi juga harus berkualitas.
Pentingnya RUU
Jabatan Hakim
RUU Jabatan Hakim yang masuk proglenas tahun 2015-2019 merupakan amanat
dari pasal 19 Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang kekuasaan kehakiman. Pasal
19 UU Nomor 48 Tahun 2009 berbunyi “ Hakim dan Hakim Konstitusi adalah pejabat
negara yang melakukan kekuasaan kehakiman yang diatur dalam undang-undang”.
Frasa “diatur dalam undang-undang” sudah tepat dimasukkan dalam Proglenas tahun
2015-2019. Tentunya diharapkan agar Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI segera
memasukkan ke dalam agenda prioritas tahunan.
Berdasarkan pasal 18 Undang-undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan bahwa penyusunan daftar Rancangan
Undang-undang (RUU) adalah berdasarkan : Pertama. Perintah Undang-undang
Dasar (UUD) Negara Republik Indonesia
Tahun 1945. Kedua. Perintah Tap MPR. Ketiga. Perintah
Undang-undang lainnya. Keempat. Sistem perencanaan pembangunan nasional.
Kelima. Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional. Keenam.
Rencana Pembangunan Jangka Menengah. Ketujuh. Rencana Kerja Pemerintah
dan Rencana Strategis DPR. Kedelapan. Aspirasi dan kebutuhan hukum
masyarakat. Berdasarkan hal tersebut, maka RUU Jabatan Hakim masuk kategori
ketiga yaitu perintah Undang-undang lainnya.
Jika kita lihat profesi yang telah diatur oleh Undang-undang diantaranya
yaitu: Notaris berdasarkan Undang-undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang jabatan
notaris, Advokat berdasarkan Undang-undang Nomor 18 Tahun 2003, Guru dan Dosen berdasarkan
Undang-undang Nomor 14 Tahun 2005. Oleh sebab itu, sudah semestinya RUU Jabatan
Hakim layak untuk dibahas di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).
Penutup
Kekuasaan
kehakiman adalah salah satu bagian tubuh negara yang harus dijaga agar tetap
utuh dan kokoh. Memuliakan daulat hukum tentunya bisa dilaksanakan dengan
memuliakan kekuasaan kehakiman. Hakim sebagai bagian dari penegak hukum dan
telah diamanatkan oleh Undang-undang Dasar (UUD) Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 seharusnya diperhatikan oleh pemerintah dan DPR. Abainya pemerintah terhadap hakim dengan
belum terbitnya Peraturan Presiden (Perpres) pendidikan hakim, yang berakibat
tertundanya seleksi hakim, seharusnya tidak mesti terjadi. DPR diharapkan dapat
segera membahas RUU Jabatan Hakim dan segera mengesahkan dalam bentuk
Undang-undang.
Pentingnya RUU Jabatan Hakim
disebabkan adanya dualisme status hakim di lingkungan peradilan umum,
lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan tata usaha negara dan
lingkungan peradilan militer yang masih menyandang status PNS dan pejabat
negara. Tentunya dengan dualisme status hakim terdapat konflik norma dan norma
yang kabur (vage normen). Dualisme status hakim dimulai sejak tahun
1999, yang pada masa itu lahir Undang-undang Nomor 43 Tahun 1999 yang
menyatakan hakim adalah pejabat negara. Namun dari sisi kepangkatan, penggajian
dan sistem kepegawaian masih menyandang status PNS. Reformasi peradilan masih
belum sempurna, jika DPR tidak segera memprioritaskan RUU Jabatan Hakim.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar