Alamat

Jalan Balige-Laguboti Km. 5 Tambunan Lumban Pea Timur Telp. (0632)21165 email : ikahi.pabalige@gmail.com

Minggu, 22 Februari 2015

“Memuliakan Kekuasaan Kehakiman”




Oleh :
Lanka Asmar

(telah dimuat koran waspada hari sabtu tanggal 21 Februari 2015)
“Reformasi terhadap kekuasaan kehakiman masih perlu diwujudkan, diantaranya melalui upaya agar DPR segera membahas RUU Jabatan Hakim”

Berdasarkan data Badan Legislasi Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), bahwa Rancangan Undang-undang (RUU) Jabatan Hakim masuk dalam Program Legislasi Nasional (Proglenas) 2015-2019. Hal ini merupakan salah satu upaya memuliakan kekuasaan kehakiman.
Menurut pasal 24 ayat 2 Undang-undang Dasar (UUD) Negara Republik Indonesia Tahun 1945, kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan yang dilakukan oleh Mahkamah Agung dan badan peradilan di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi. Pelaksanaan kekuasaan kehakiman harus dilakukan dengan merdeka untuk menegakkan hukum dan keadilan.
Peran hakim dan hakim konstitusi dalam kekuasaan kehakiman diharapkan tidak membeda-bedakan orang (persamaan di depan hukum) dan wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan di tengah masyarakat. Begitu besarnya kekuasaan kehakiman, sehingga merupakan salah satu bagian dari asas trias politica (kekuasaan yudikatif) disamping kekuasaan legislatif dan eksekutif. Saat terjadi permasalahan antara ranah hukum dan ranah politik terhadap calon Kapolri Komjen BG, maka Presiden Ir. H. Joko Widodo tetap menunggu proses pra peradilan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, meskipun proses politik telah selesai di DPR.  Hal itu membuktikan bahwa Indonesia sebagai negara hukum, tetap menjadikan hukum sebagai panglima.
Menurut Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang kekuasaan kehakiman terdapat 4 pengertian hakim yaitu hakim, hakim agung, hakim konstitusi, dan hakim ad hoc. Pertama. Hakim adalah hakim pada Mahkamah Agung, dan hakim pada badan peradilan yang berada dibawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan hakim pada pengadilan khusus yang berada dalam lingkungan peradilan tersebut (pasal 1 ayat 5 UU No. 48 Tahun 2009). Kedua. Hakim Agung adalah hakim pada Mahkamah Agung (pasal 1 ayat 6 UU No. 48 Tahun 2009). Ketiga. Hakim Konstitusi adalah hakim pada Mahkamah Konstitusi (pasal 1 ayat 7 UU No. 48 Tahun 2009). Keempat. Hakim Ad hoc adalah hakim yang bersifat sementara yang memiliki keahlian dan pengalaman di bidang tertentu untuk memeriksa, mengadili, dan memutus suatu perkara yang pengangkatannya diatur dalam undang-undang. Jika kita lihat pengertian hakim (pasal 1 ayat 5), maka hakim agung termasuk ke dalam kategori hakim “hakim pada mahkamah agung”, berbeda dengan hakim konstitusi. Hakim dan Hakim Konstitusi adalah pejabat negara yang melaksanakan kekuasaan kehakiman (pasal 19 UU No. 48 Tahun 2009). Hal ini dipertegas oleh pasal 122 huruf (e) dan (f) Undang-undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (ASN) bahwa Hakim dan Hakim Konstitusi adalah pejabat negara.
Seleksi Hakim Yang Tertunda
Disamping kekuasaan kehakiman, Konstitusi mengamanatkan Komisi Yudisial (KY) untuk mengusulkan pengangkatan hakim agung dan mempunyai kewenangan menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat serta perilaku hakim.  
Komisi Yudisial sebagai lembaga negara, juga mempunyai wewenang untuk mengambil langkah hukum dan atau langkah lain terhadap orang perseorangan, kelompok orang, atau badan hukum yang merendahkan kehormatan dan keluhuran martabat hakim (berdasarkan pasal 20 ayat 1 huruf (e) Undang-undang Nomor 18 Tahun 2011 tentang Komisi Yudisial).  Dengan adanya kewenangan KY tersebut, tentunya kekuasaan kehakiman lebih berwibawa dan bermatabat. Perbuatan yang menghina peradilan (contemp of court) dan khususnya hakim dapat dicegah oleh kewenangan Komisi Yudisial untuk advokasi hakim (berdasarkan pasal 20 ayat 1 huruf (e) UU No. 18 Tahun 2011). Advokasi terhadap hakim yang dapat dilakukan oleh KY diantaranya : Pertama. Berprilaku tercela dan tidak pantas di ruang pengadilan (Misbehaving in court). Hal ini telah diatur dalam pasal 218 ayat 1, 2 dan 3 Undang-undang 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yaitu dalam ruang sidang siapapun wajib menghormati ruang sidang pengadilan dan hakim ketua sidang atas perintahnya dapat mengeluarkan seseorang yang bersikap tidak sesuai dengan martabat pengadilan dan tata tertib sidang dan apabila bersifat pidana dapat dilakukan penuntutan terhadapnya. Kedua. Tidak menaati perintah pengadilan ( Disobeying Court Orders), berdasarkan pasal 176 KUHAP. Ketiga. Menyerang integritas dan imparsialitas pengadilan (scandalising the court), berdasarkan pasal 5 ayat 2  UU No. 48 Tahun 2009. Keempat. Menghalang-halangi jalannya penyelenggaraan peradilan (Obstructing Justice). Berdasarkan pasal 216 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) bahwa “barangsiapa yang tidak menuruti perintah hakim atau menghalang-halangi tindakan hakim atau pejabat pengadilan bisa dipidana. Kelima. Penghinaan terhadap pengadilan melalui publikasi (Subjudice Rule), berdasarkan pasal 6 huruf (b),  ( c ) dan (e) UU 40 Tahun 1999 tentang pers.     
Kemudian Komisi Yudisial bersama Mahkamah Agung juga mempunyai kewenangan untuk : Pertama. Melakukan seleksi pengangkatan hakim di lingkungan peradilan umum (berdasarkan pasal 14 A Undang-undang Nomor 49 Tahun 2009 tentang Peradilan Umum), Kedua. Seleksi pengangkatan hakim di lingkungan peradilan agama (berdasarkan pasal 13 A ayat 2 Undang-undang Nomor 50 Tahun 2009 tentang peradilan agama),  Ketiga. Seleksi pengangkatan hakim di lingkungan peradilan tata usaha negara (Pasal 14 A ayat 2 UU Nomor 51 Tahun 2009 tentang peradilan tata usaha negara). Berdasarkan ketentuan tersebut telah diterbitkan Peraturan Bersama KY dan MA : Nomor 01/PB/MA/IX/2012 dan Nomor 01/PB/P.KY/09/2012 tentang seleksi pengangkatan hakim. Namun hingga saat ini, seleksi penerimaan hakim lebih kurang 5 tahun belum dilaksanakan. Menurut Komisi Yudisial, bahwa terkendalanya penerimaan hakim oleh karena belum terbitnya Peraturan Presiden (PerPres) tentang pendidikan hakim.
Sistem rekrutmen hakim yang ideal adalah sistem rekrutmen yang dilakukan secara transparan dan adanya pengawasan secara efektif, hal itu merupakan bagian dari upaya menegakkan independensi dan objektivitas penilaian. Selain itu, dalam rekrutmen hakim faktor penting yang harus dipertimbangkan adalah intelektualitas dan integritas para calon hakim. Intelektualitas berkaitan dengan kemampuan penguasaan hukum materiil dan formal, serta kemampuan melakukan penemuan hukum. Sehingga proses seleksi bukan mengejar kuantitas jumlah hakim, bukan pula mengejar jumlah putusan yang berhasil diselesaikan setiap tahun. Kualitas putusan jauh lebih penting, dan karenanya kualitas hakim yang dihasilkan dari seleksi juga harus berkualitas.  
Pentingnya RUU Jabatan Hakim
RUU Jabatan Hakim yang masuk proglenas tahun 2015-2019 merupakan amanat dari pasal 19 Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang kekuasaan kehakiman. Pasal 19 UU Nomor 48 Tahun 2009 berbunyi “ Hakim dan Hakim Konstitusi adalah pejabat negara yang melakukan kekuasaan kehakiman yang diatur dalam undang-undang”. Frasa “diatur dalam undang-undang” sudah tepat dimasukkan dalam Proglenas tahun 2015-2019. Tentunya diharapkan agar Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI segera memasukkan ke dalam agenda prioritas tahunan.
Berdasarkan pasal 18 Undang-undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan bahwa penyusunan daftar Rancangan Undang-undang (RUU) adalah berdasarkan : Pertama. Perintah Undang-undang Dasar (UUD)  Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Kedua. Perintah Tap MPR. Ketiga. Perintah Undang-undang lainnya. Keempat. Sistem perencanaan pembangunan nasional. Kelima. Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional. Keenam. Rencana Pembangunan Jangka Menengah. Ketujuh. Rencana Kerja Pemerintah dan Rencana Strategis DPR. Kedelapan. Aspirasi dan kebutuhan hukum masyarakat. Berdasarkan hal tersebut, maka RUU Jabatan Hakim masuk kategori ketiga yaitu perintah Undang-undang lainnya.
Jika kita lihat profesi yang telah diatur oleh Undang-undang diantaranya yaitu: Notaris berdasarkan Undang-undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang jabatan notaris, Advokat berdasarkan Undang-undang Nomor 18 Tahun 2003, Guru dan Dosen berdasarkan Undang-undang Nomor 14 Tahun 2005. Oleh sebab itu, sudah semestinya RUU Jabatan Hakim layak untuk dibahas di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).

Penutup
            Kekuasaan kehakiman adalah salah satu bagian tubuh negara yang harus dijaga agar tetap utuh dan kokoh. Memuliakan daulat hukum tentunya bisa dilaksanakan dengan memuliakan kekuasaan kehakiman. Hakim sebagai bagian dari penegak hukum dan telah diamanatkan oleh Undang-undang Dasar (UUD) Negara Republik Indonesia Tahun 1945 seharusnya diperhatikan oleh pemerintah dan DPR.  Abainya pemerintah terhadap hakim dengan belum terbitnya Peraturan Presiden (Perpres) pendidikan hakim, yang berakibat tertundanya seleksi hakim, seharusnya tidak mesti terjadi. DPR diharapkan dapat segera membahas RUU Jabatan Hakim dan segera mengesahkan dalam bentuk Undang-undang.
            Pentingnya RUU Jabatan Hakim disebabkan adanya dualisme status hakim di lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan tata usaha negara dan lingkungan peradilan militer yang masih menyandang status PNS dan pejabat negara. Tentunya dengan dualisme status hakim terdapat konflik norma dan norma yang kabur (vage normen). Dualisme status hakim dimulai sejak tahun 1999, yang pada masa itu lahir Undang-undang Nomor 43 Tahun 1999 yang menyatakan hakim adalah pejabat negara. Namun dari sisi kepangkatan, penggajian dan sistem kepegawaian masih menyandang status PNS. Reformasi peradilan masih belum sempurna, jika DPR tidak segera memprioritaskan RUU Jabatan Hakim. 
             

Tidak ada komentar:

Posting Komentar