Alamat

Jalan Balige-Laguboti Km. 5 Tambunan Lumban Pea Timur Telp. (0632)21165 email : ikahi.pabalige@gmail.com

Kamis, 23 Juli 2015

Pesan Sang Hakim untuk Pers Kampus

Pesan Sang Hakim untuk Pers Kampus
Tokoh Pers Nasional, Atmakusumah Astraatmadja. Foto: Sgp
Tokoh senior pers nasional, Atmakusumah Astraatmadja, menyebut Bismar Siregar sebagai salah satu hakim yang dikenal baik oleh kalangan pers nasional. Bismar tak hanya memanfaatkan media untuk publikasi tulisan-tulisannya, tetapi juga ‘bersahabat’ dengan kalangan pers. Bahkan ia tercatat pernah menjadi salah satu pengisi acara peningkatan pemahaman hukum bagi wartawan.

Meskipun tidak mengenal dekat Bismar, Atmakusumah yakin Bismar tipikal hakim yang dikenal baik oleh media. Bismar salah satu hakim yang rajin menulis di media massa. Tulisan-tulisannya tersebar di beragam media, sebagian bisa dinikmati lewat buku kompilasinya yang diterbitkan belakangan. Tidak mengherankan, ketika LBH Jakarta/YLBHI menggelar pelatihan wartawan hukum bersama PWI pada Maret 1972, Bismar menjadi salah satu tokoh yang diminta berceramah.

Jabatannya sebagai hakim tak membuat Bismar segan untuk datang memenuhi undangan mahasiswa pengelola pers kampus. Itu pula yang bisa kita baca dalam salah satu tulisan di buku Bunga Rampai Karangan Tersebar (jilid 1). Bagi Bismar, kesadaran hukum bisa terbentuk melalui pers kampus atau mahasiswa yang bebas dan bertanggung jawab.

Dalam buku tersebut, Bismar mulai teringat masa-masa dirinya masih mahasiswa. Menurutnya, keadaan mahasiswa di tahun lima puluhan sangat berbeda dengan mahasiswa masa kini. Pada tahun 50-an, mahasiswa tidak ditanamkan tanggung jawab kedudukannya sebagai mahasiswa. Namun, hanya memikirkan dan mempersiapkan diri menjadi penuntut ilmu yang akan menjadi sarjana.

Berbeda dengan mahasiswa zaman sekarang. Mahasiswa masa kini sengaja dipersiapkan, bahkan digalakkan sebagai calon sarjana. Bila terjun di tengah masyarakat nantinya, mahasiswa tersebut mampu menjadi pemimpin yang besar. Untuk itu, pengembangan bakat atau minat dalam menulis kepada mahasiswa menjadi upaya yang tepat di mata Bismar.

Namun, Bismar sering memberikan ‘warning’ kepada mahasiswa yang ingin menggeluti dunia jurnalistik. Menurutnya, kebebasan dalam media tetap harus bisa dipertanggungjawabkan. Kata bebas dan bertanggung jawab dapat memberikan rambu-rambu bagi pers yang bermula dari dunia kampus tersebut.

Bismar berharap, kebebasan berpendapat ala barat, tidak pantas menjadi patokan dalam dunia jurnalistik di Indonesia. Kebebasan berpendapat ala barat yang dianggap hak asasi tersebut akan sulit diterima di Indonesia. Apalagi, nilai pribadi bangsa Indonesia adalah Pancasila, yang sila pertama Ketuhanan Yang Maha Esa.

Terkait hal ini, Tuhan menjadi ujung jawaban Bismar dalam hal pers yang bebas dan bertanggung jawab. Sehingga, puncak dari tanggung jawab tersebut hanyalah kepada Tuhan Yang Maha Esa. Ia percaya, tulisan yang bertanggung jawab kepada Tuhan Yang Maha Esa serta mengembangkan nilai-nilai Pancasila pada akhirnya melahirkan sebuah kewajiban yang amanah.

Apalagi, jika dibarengi dengan peningkatan pembinaan kesadaran hukum oleh kalangan mahasiswa atau pers kampus. Hasilnya, tak akan melihat agama sebagai akidah semata, tapi juga menyangkut kebahagiaan hidup umat dan bangsa.

Dalam bukunya itu, Bismar mengutip ayat dari kitab Injil tentang hidup manusia termasuk mahasiswa atau civitas akademika. “Kalian adalah garam dunia, jika kalian menjadi tawar, apa jadinya dengan dunia ini? kalian sendiri akan dibuang atau diinjak orang karena tidak berguna. Kalian adalah terang dunia yang tampak pada semua orang seperti sebuah kota di atas bukit bercahaya pada malam hari”.

“Janganlah terang itu kali sembunyikan melainkan biarkanlah terang itu bercahaya bagi semua orang, biarlah semua orang melihat kalian berbuat baik sehingga mereka akan menemui bapak kalian yang di surga”. (Mateus 5:13-16).

Bismar juga mengutip ulang hadis Nabi Muhammad SAW, yaitu “Setiap kamu menjadi pemimpin dan setiap pemimpin bertanggung jawab tentang pimpinannya. Imam itu pemimpin dan bertanggung jawab terhadap pimpinannya. Suami pemimpin dan ia bertanggung jawab terhadap keluarganya. Istri pemimpin dan ia bertanggung jawab terhadap rumah tangga suaminya”.

Atmakusumah membenarkan, perkembangan media pers secara umum dan media kampus atau mahasiswa memiliki kebebasan yang lebih luas pada masa reformasi sekarang ini daripada selama masa orde lama dan orde baru. Namun, kebebasan tersebut tergantung pada pimpinan masing-masing media.

“Kebebasan itu pun tetap bergantung pada kesediaan rektorat perguruan tinggi atau universitas untuk mendukung kemandirian bagi media (kampus, red) tersebut,” kata Atmakusumah melalui surat elektroniknya kepada hukumonline, akhir Juni 2015 lalu.

Sedangkan intervensi dari kalangan di luar perguruan tinggi atau universitas kerap terjadi pada masa orde baru. Hal ini sesuai dengan buku yang pernah diterbitkan Atmakusumah yang berjudul “Tuntutan Zaman-Kebebasan Pers dan Ekspresi” tahun 2009 lalu. Dalam bukunya tersebut, di zaman orde baru banyak pers kampus atau media pers umum yang dibredel.

Mayoritas pembredelan dilakukan kepada media pers umum. Ada yang dilarang terbit sementara, bahkan ada juga yang dilarang terbit selamanya. Salah satu alasan pembredelan lantaran media tersebut memuat berita yang dinilai pemerintah dapat mengganggu ketertiban masyarakat.

Misalnya, Harian Pelita di Jakarta dilarang terbit pada 7 Mei - 6 September 1982 karena memuat berita kerusuhan serta insiden kampanye pemilihan umum dan menyiarkan hasil pemungutan suara bukan berdasarkan sumber resmi. Koran itu dibolehkan terbit kembali setelah merombak personalia pimpinan. Sebelumnya, Pelita pernah pula dibredel bersama enam surat kabar lainnya selama dua minggu pada Januari - Februari 1978.

Sedangkan untuk pers kampus sendiri, ada satu media cetak bernama Gelora Mahasiswa yang dikelola mahasiswa Universitas Gadjah Mada di Yogyakarta, yang dilarang terbit sementara oleh rektor pada tanggal 27 September 1979.

Atmakusumah hanya membahas pers yang dikenal secara internasional, yaitu yang mengandung standar jurnalisme profesional seperti objektivitas, faktual, dan akurasi. Menurutnya, karya jurnalistik yang objektif adalah yang berimbang, adil, tidak bias, tidak diskriminatif, dan tidak berprasangka.

“Standar profesional ini hanya dapat dikembangkan jika pengelola media pers memiliki independensi atau kebebasan dan kemandirian dalam kebijakan redaksinya,” tutup Atmakusumah.
 
(sumber : http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt55ac169742f08/pesan-sang-hakim-untuk-pers-kampus)

Kamis, 02 Juli 2015

Komisi III Berikan Persetujuan Enam CHA Jadi Hakim Agung

Komisi III  Berikan Persetujuan Enam CHA Jadi Hakim Agung
Papan perhitungan suara pemilihan calon hakim agung. Foto: RES
Jalan terjal  enam calon hakim agung (CHA) menuju kursi hakim agung menuai hasil positif. Setelah melalui proses dan mekanisme mulai tingkat bawah hingga uji kelayakan dan kepatutan di DPR, enam CHA diberikan persetujuan oleh sembilan fraksi. Kesembilan fraksi  itu adalah Golkar, Demokrat, PDIP, PKS, PKB, PAN, Nasdem, PPP, dan Hanura.

“Berdasarkan pandangan fraksi, kami meminta persetujuan, dengan memperhatikan catatan-catanan yang ada dan menjadi bagian tidak terpisahkan. Maka, keenam calon ini berdasarkan komposisi anggota dapat kita setujui untuk diparipurnakan,” ujar ketua Komisi III Aziz Syamsuddin di ujung rapat, di Gedung DPR, Kamis (2/6).

Juru bicara Fraksi Golkar Adies Kadir menilai sosok hakim agung mesti memiliki sikap berlaku adil, profesional dan berpengalaman. Selain itu memiliki keimuan yang mumpuni. Setelah menilai keenam CHA dalam menjalani uji kelayakan dan kepatutan, Fraksi Golkar memberikan persetujuan. Keenam CHA itu adalah Maria Anna Samiyati, Wahidin, Yosran, Sunarto, Suhardjono dan H.A Mukti Arto.

Sementara, Fraksi Demokrat dalam pandangannya yang dibacakan Erma Suryani Ranik  berpandangan meski memberikan persetujuan terhadap keenam CHA, namun terdapat beberapa catatan. Misalnya, keberadaan CHA yang diberikan persetujuan tersebut nantinya mesti membawa perubahan terhadap kemajuan lembaga tertinggi peradilan, Mahkamah Agung.

Senada, juru bicara F-PKB Irmawan mengatakan posisi hakim amatlah vital dalam penegakan hukum. Menurut Irmawan, fraksinya berpandangan  enam hakim agung yang baru mesti menjadi energi untuk mempercepat dan mendukung perubahan dara berpikir di lingkungan Mahkamah Agung dan penanganan perkara.

F-PKB, kata Irmawan  mendukungpenuh  pencarian CHA yang berintegritas tinggi dalam pemberian pelayanan  terhadap para pencari keadilan. “Harapan kami, catatan kami  diperhatikan. F-PKB menyatakan persetujuannya kepada seluruh calon hakim agung untuk menjadi hakim agung,” ujarnya.

Nasir Djamil didaulat sebagai juru bicara F-PKS pun dalam pandangannya memberikan persetujuan terhadap keenam CHA. Menurutnya pengusulan keenam nama oleh Komisi Yudisial ke DPR telah sesuai dengan ketentuan peraturan dan perundangan yang berlaku. Terlebih, keenam calon telah menjalani uji kelayakan dan kepatutan mulai tingkat bawah hingga di DPR.

FPKS, kata Nasir, menilai keenam calon telah layak untuk dilakukan pengangkatan menjadi hakim agung. Atas dasar berbagai pertimbangan dan penelaahan serta penilaian matang, F-PKS yakin memberikan persetujuan. “Setelah melakukan penelahaan, F-PKS  menilai keenam CHA telah patut diangkat menjadi hakim agung. F-PKS memberikan persetujuan terhadap keenam cha untuk ditetapkan menjadi hakim agung,” ujarnya.

Hal serupa diutarakan juru bicara F-Nasdem, Muhammad Ali Umri. Menurutnya uji kelayakan dan kepatuan menunjukan cara yang dilakukan untuk mendapatkan hakim agung yang berintegritas, bersikap adil, merdeka dan berintegritas. Ia menilai transparansi seleksi CHA mesti mampu berkontribusi melakukan jejak rekam calon dengan menggunakan instrumen pengawasan Komisi Yudisial dan Mahkamah Agung.

“Dengan demikian Fraksi Nasdem menyetujui pengangkatan calon hakim agung untuk segera dilakukan dalam paripurna dengan peraturan yang berlaku,” ujarnya.

Hanya setujui tiga calon
Berbeda dengan sembilan fraksi, hanya Fraksi Gerindra yang memiliki penilaian berbeda. Jika sembilan fraksi memberikan persetujuan terhadap enam calon, Gerindra hanya menyetujui tiga calon. Penilaian Fraksi Gerindra berdasarkan uji kelayakan dan kepatutan melalui wawancara dengan sejumlah anggota Komisi III.

Juru bicara Fraksi Gerindra Sufmi Dasco Ahmad dalam pandangannya menilai dari keenam calon belum menunjukan kapasitas dan kompetensi yang mumpuni sebagai hakim agung. Pasalnya beban perkara yang ditangani di Mahkamah Agung cukup berat ketimbang di pengadilan tingkat banding.

Dari keenam calon, Fraksi Gerindra hanya memberikan persetujuan terhadap Sunarto, Yusran dan H.A Mukti Arto. Sementara Maria Anna Samiyati,  Wahidin dan Suhardjono dinilai belum layak untuk menjadi hakim agung.

“Beberapa nama belum menunjukan kapasitas dan kompetensi. Setelah mempertimbangkan lebih luas, Fraksi Gerindra memberikan persetujuan terhadap Sunarto, Yusran dan H.A Mukti Arto untuk menjadi hakim agung,” pungkas Dasco Ahmad.

(Sumber : http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt5594d799afdc7/komisi-iii-berikan-persetujuan-enam-cha-jadi-hakim-agung)