Alamat

Jalan Balige-Laguboti Km. 5 Tambunan Lumban Pea Timur Telp. (0632)21165 email : ikahi.pabalige@gmail.com

Senin, 30 November 2015

RUU HAKIM, DOA DAN HARAPAN


Jakarta-Humas: Era reformasi telah mendudukkan Hakim sesuai dengan jiwa independensinya, yaitu menetapkan status jabatannya sebagai Pejabat Negara sehingga dipandang setara dan tidak dikekang dalam penguasaan kekuasaan negara lainnya (eksekutif dan legislatif). Namun, meski berstatus sebagai Pejabat Negara, terdapat perbedaan dalam pengelolaan dan sistem menajerial hakim. Tidak sepenuhnya sistem Pejabat Negara "umum" diterapkan terhadap hakim. Misalnya proses seleksi hakim yang masih melibatkan lembaga negara lain.

Kekhususan jabatan hakim sebagai Pejabat Negara ini merupakan konsekwensi dasar dari eksistensi kekuasaan kehakiman yang merdeka karenanya secara fundamental harus diakomodasi dalam pengaturan mengenai manajerialnya. Diperlukan sistem manajemen jabatan hakim sebagai Pejabat Negara yang "khusus" (bukan "tertentu" sebagaimana pernah diterapkan oleh Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian). Kekhususan dari jabatan Hakim ini sesuai dengan identitas Hakim sebagai Pejabat Negara pelaku kekuasaan kehakiman seperti yang dikehendaki oleh UU Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Berdasarkan hal tersebut maka rekonstruksi dan reformulasi jabatan hakim dalam UU yang bersifat khusus status a quo UU jabatan hakim cukup penting keberadaannya.

Menindaklanjuti hal tersebut, Mahkamah Agung menggelar diskusi terkait Naskah Akdemik Rancangan Undang-Undang Tentang Jabatan Hakim pada Kamis, 26 November 2015 lalu. Naskah Akademik tersebut adalah hasil penelitian dari Pusat Penelitian dan Pengembangan Hukum dan Peradilan Balitbang Mahkamah Agung RI. Diskusi yang bertempat di hotel Grand Mercure Jakarta Pusat ini dibuka langsung oleh Ketua Mahkamah Agung. Hadir sebagai pembicara Azis Syamsuddin dari Komisi III DPR RI, dan yang lainnya. Azis menyampaikan bahwa perubahan penting dalam kekuasaan kehakiman adalah segala urusan organisasi, administrasi dan finansial Mahkamah Agung dan Badan Peradilan di bawahnya. Ia juga menambahkan bahwa kekuasaan Kehakiman saat ini menjadi sebuah keharusan -tidak bisa ditawar- dalam sebuah negara hukum yang berdemokrasi.

Menanggapi hal tersebut, Kepala Biro Hukum dan Humas menyatakan bahwa RUU ini adalah harapan yang telah lama para hakim nantikan.

Pada akhir presentasinya, Azis menyampaikan bahwa pentingnya Mahkamah Agung untuk selalu mengikuti pembahasan RUU ini dan memberikan masukannya, termasuk hasil naskah akademik yang sekaligus menjadi pokok materi seminar nasional ini. Diskusi tersebut dibuka langsung oleh Ketua Mahkamah Agung RI, Prof. Dr. Hatta Ali, SH., MH. Beliau menegaskan pentingnya RUU Jabatan Hakim tidak hanya mengatur persoalan kesejahteraan hakim, tetapi juga mengatur perlindungan fasilitas keamanan dan pengorganisasian para hakim. Sebab, tunjangan dan fasilitas keamanan para hakim yang belum seperti pejabat negara pada umumnya. Terlebih, dalam beberapa kasus, keamanan hakim seringkali terancam dan menjadi sasaran teror ketika menangani dan memutus perkara..

Sebagai jawaban dari harapan Azis, pada Kamis 26 November 2015 Komisi III DPR RI melalui Pejabat Fungsional Keahlian memaparkan Rancangan Undang-Undang (RUU) Jabatan Hakim dan RUU Jabatan Kepolisian. Pimpinan rapat tersebut menyampaikan bahwa RUU Jabatan Hakim tersebut telah disetujui pleno untuk tahap pembahasan selanjutnya. Rencananya, RUU ini akan mulai dibahas Januari 2016 mendatang. Perwakilan Mahkamah Agung, Organisasi DPP IKAHI dan Pengurus IKAHI Daerah mengikuti jalannya rapat Pembahasan RUU tersebut di Komisi III. Mereka yang hadir antara lain Ikatan Hakim Indonesia (IKAHI) yang diwakili oleh Suhadi, SH., MH. dan Prof. Ghani Abdullah, SH., MH, Hakim Agung, Agung Sumanatha, SH., MH, Kepala Biro Hukum dan Humas Dr. Ridwan Mansyur, SH., MH, serta Kepala Bagian Hubungan Antar Lembaga, David Simanjuntak, SE., MH. Rapat ini juga dihadiri oleh IKAHI Daerah Jawa Barat, Wakil Ketua Pengadilan Tinggi Agama Bandung, Drs. H. Muwahhidin, SH., MH.

(sumber : https://www.mahkamahagung.go.id/)

Kamis, 26 November 2015

MA Minta DPR Segera Bahas RUU Jabatan Hakim


Ketua Mahkamah Agung (MA), M. Hatta Ali menegaskan Rancangan Undang-Undang tentang Jabatan Hakim sangat penting untuk memberi perlindungan, keamanan, dan kesejahteraan bagi para hakim sekaligus dapat menciptakan peradilan yang bersih. Namun hingga kini, status hakim sebagai pejabat negara belum sepenuhnya berimbas pada pemenuhan hak-hak mereka sebagaimana mestinya.

“Sudah jelas dalam peraturan perundang-undangan dinyatakan hakim sebagai pejabat negara, tapi realisasinya belum,” ujar Hatta Ali di sela-sela seminar bertajuk “Kedudukan Hakim Sebagai Pejabat Negara” yang diselenggarakan Balitbang Diklat Kumdil MA di Jakarta, Kamis (26/11).

Untuk itu, Hatta mendorong agar DPR untuk segera merealisasikan pembahasan RUU Jabatan Hakim. Dia berharap melalui Badan Legislasi DPR, RUU Jabatan bisa masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas). “Kita berharap RUU Jabatan masuk Prolegnas,” katanya.

Hatta menegaskan pentingnya RUU Jabatan Hakim tidak hanya mengatur persoalan kesejahteraan hakim, tetapi juga mengatur perlindungan fasilitas keamanan dan pengorganisasian para hakim. Sebab, tunjangan dan fasilitas keamanan para hakim belum seperti pejabat negara pada umumnya. Terlebih, dalam beberapa kasus, keamanan hakim seringkali terancam dan menjadi sasaran teror ketika menangani dan memutus perkara. “Inilah yang dituntut para hakim,” kata Hatta Ali.

Dia juga berharap apabila RUU Jabatan Hakim disahkan menjadi UU kesejahteraan para hakim semakin meningkat. Dia yakin pada akhirnya akan tercipta sistem peradilan yang bersih. “Kalau hakim sudah sejahtera, para pencari keadilan yang mau nakal-nakal harus berpikir seribu kali. Karena hakimnya sudah sejahtera, sudah punya rumah, mobil dinas dan lain-lain.”

Masih sistem PNS
Ketua Kamar Pembinaan MA, Takdir Rahmadi, mengatakan meski berbagai peraturan perundang-undangan telah menegaskan hakim di semua tingkat peradilan adalah pejabat negara, faktanya menunjukkan hakim belum mendapatkan hak-hak sesuai status dan kedudukannya karena pola karier dan kepangkatannya masih menggunakan sistem PNS.

“Hakim tingkat pertama dan hakim tinggi masih tetap menyandang status sebagai pegawai negeri sipil. Dengan masih berstatus PNS sekaligus pejabat negara, sistem manajemen jabatan, kepangkatan hakim dan persyaratan memperoleh promosi (pimpinan pengadilan) masih mengikuti pola PNS,” kata Takdir.

Dia memandang kesejahteraan berkorelasi positif terhadap independensi hakim. Karenanya, negara tidak boleh membiarkan hakim dalam posisi subordinat yang harus meminta-minta cabang kekuasaan lain (eksekutif) untuk memperhatikan kesejahteraan hakim. “Negara harus memberi jaminan kesejahteraan berupa gaji, tunjangan dan fasilitas yang layak agar terhindar dari intervensi cabang kekuasaan lain,” kata Takdir.

Menurutnya, kesejahteraan yang memadai bukan untuk kepentingan hakim itu sendiri, melainkan juga untuk kepentingan memberi keadilan bagi semua pihak “Kesejahteraan yang memadai akan menjauhkan hakim dari berbagai pengaruh baik dari cabang kekuasaan negara atau pihak berperkara, sehingga hakim akan fokus dalam melaksanakan tugas memberikan keadilan,” tegasnya.

Untuk itu, dia mengusulkan RUU Jabatan Hakim harus mengklasifikasikan, penjenjangan karir, dan kepangkatan hakim dalam kedudukannya sebagai pejabat negara. RUU Jabatan tersebut juga harus memuat jaminan kesejahteraan dan fasilitas yang memadai bagi hakim di semua tingkat peradilan dan hak-hak protokoler hakim sebagai pejabat negara.

“Yang tak kalah penting, RUU Jabatan Hakim juga harus memastikan negara menjamin dan mengimplementasikan jaminan keamanan serta perlindungan terhadap hakim dalam menjalankan tugasnya.”

Di tempat yang sama, Ketua Komisi III DPR, Aziz Syamsudin mengakui jaminan hak-hak hakim sebagai pejabat negara menjadi hal yang tidak bisa ditawar lagi. Mengingat tujuan dari penetapan status dan kedudukan hakim sebagai pejabat ini bagian dari memperbaiki penegakan hukum di Indonesia.

Meski begitu, kata Azis mengingatkan ada dua hal dasar filosofis penempatan marwah hakim sebagai pejabat negara yakni prinsip independensi dan prinsip akuntabilitas. Kedua prinsip ini ibarat dua sisi satu keping mata uang yang satu sama lain saling berpengaruh dan tidak bisa dipisahkan.

“Untuk itu, pemenuhan hak-hak konstitusional hakim tersebut harus berimbang dengan akuntabilitas kinerja hakim itu sendiri. Revitalisasi independensi dan akuntabilitas hakim ini semata-mata untuk meningkatkan kepercayaan masyarakat,” pesannya.
 
(sumber : http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt565708034f91e/ma-minta-dpr-segera-bahas-ruu-jabatan-hakim)

Ketua MA Minta DPR Segera Bahas RUU Jabatan Hakim Demi Pengadilan Bersih

Ketua MA Minta DPR Segera Bahas RUU Jabatan Hakim Demi Pengadilan Bersih  
Hatta Ali (ari/detikcom)
Jakarta - Ketua Mahkamah Agung (MA) Hatta Ali meminta DPR untuk segera memproses RUU Jabatan Hakim. Menurutnya RUU Jabatan hakim sangat penting demi menciptakan peradilan yang bersih dan meningkatkan kesejahteraan hakim.

Hal itu disampaikan Hatta Ali dalam seminar yang berajuk 'Tentang Kedudukan Hakim Sebagai Pejabat Negara' di Hotel Mercure, Jl Gajah Mada, Jakarta, Kamis (26/11/2015). Dalam acara itu hadir, Ketua Komisi III Azis Syamsudin dan perwakilan dari Men PAN RB serta Kemenkum HAM.

"Sudah jelas dalam konstitusi dinyatakan hakim sebagai pejabat negara, tapi realisasinya belum," ucap Hatta Ali.

Maksud realisasi yang belum terlaksana, dikatakan Hatta Ali, berupa bentuk fasilitas dan pengorganisasian para hakim. Selain itu, RUU jabatan hakim ini juga akan mengatur tingkat keamanan hakim yang dianggap rawan teror.

"Dalam realisasinya belum ada, misalnya gaji yang belum seperti pejabat negara, fasilitas keamanan seperti pejabat negara. Nah inilah yang dituntut oleh para hakim," kata mantan Ketua Muda MA bidang Pengawasan itu.

Menurut Hatta Ali, jika digolkan RUU ini menjadi UU maka status kesejahteraan hakim akan semakin meningkat. Dia menerangkan, dengan meningkatnya kesejahteraan hakim, akan tercipta sistem peradilan yang bersih.

"Kalau hakim sudah sejahtera, berarti para pencari keadilan yang mau nakal-nakal harus berpikir seribu kali. Karena hakimnya sudah sejahtera, sudah punya rumah, mobil dinas dan lain-lain," ujar mantan Ketua Pengadilan Negeri (PN) Sabang itu.

"Kalau masih ada yang bandel juga gimana Pak?" tanya wartawan.

"Ini kan namanya manusia, pasti adalah yang seperti itu," jawab Hatta Ali

Hadir dalam seminar itu Wakil Ketua MA bidang Yudisial M Saleh, Wakil Ketua MA Nonyudisial Suwardi, Ketua MA Kamar Pidana Artidjo Alkostar, Ketua Muda MA Kamar Militer Timur Manurung, hakim agung Dudu Duswara, hakim agung Salman Luthan. Selain pejabat teras MA, hadir pula perwakilan dari berbagai pelosok Indonesia seperti dari Pengadilan Negeri (PN) Cibinong hakim Dr Ronald Lumbuun hingga dari Nusa Tenggara Barat (NTB) yaitu Ketua PN Dompu Djuyamto.

(sumber : http://news.detik.com/berita/3081298/ketua-ma-minta-dpr-segera-bahas-ruu-jabatan-hakim-demi-pengadilan-bersih)

Rabu, 25 November 2015

Wakil Ketua MA: Hakim Tidak Terikat Jam Kerja Formal


Serang l Badilag.net
Sebagai unsur utama pengadilan, para hakim memiliki pola kerja dan penghasilan yang berbeda dengan unsur-unsur pengadilan lainnya. Karena itu, para hakim harus memiliki court calendar atau agenda kerja yang jelas dan rinci setiap hari.
“Hakim itu tidak terikat jam kerja secara formal, mulai pukul 8 sampai 16.30. Jam kerja hakim disesuaikan dengan court calendar. Misalnya, hari ini agendanya menyidangkan 10 perkara, tapi baru 6 perkara sudah pukul 16.30. Jangan pulang. Selesaikan, kalau perlu sampai malam,” ujar Wakil Ketua Mahkamah Agung Bidang Non-Yudisial H. Suwardi, S.H., M.H., ketika memberi pembinaan di Aula PTA Banten, Senin (9/11/2015).
Menurut Suwardi, dengan gaji dan tunjangan yang besar, sudah seharusnya para hakim meningkatkan kualitas pelayanan kepada masyarakat. “Begitu juga dengan kepaniteraan,” tandasnya.
Mantan Wakil Ketua Pengadilan Tinggi Banten itu tidak ingin masyarakat tidak terlayani dengan baik, akibat ketidakprofesionalan hakim dalam mengatur jam kerjanya. Ia bercerita, ada kejadian di pengadilan tertentu, orang menunggu sidang dari pukul 9 sampai pukul 16.30. “Ketika dia mengecek kapan waktu sidangnya, eh hakim-hakimnya sudah pulang,” tuturnya.
Sedikit atau banyaknya jumlah perkara, menurutnya, tidak boleh jadi dalih para hakim untuk bekerja tidak maksimal.
“Jumlah perkara 5000 itu cukup besar, tapi kalau sudah jadi tanggung jawab kita, ya harus kita selesaikan. Jangan sampai menelantarkan,” ujarnya.
Soal minutasi di pengadilan tingkat pertama, disadari Suwardi, masih kerap jadi masalah. Selisih waktu antara suatu perkara diputus dan diminutasi perlu dipangkas, sehingga penyelesaian perkara tidak berlarut-larut.
Menurutnya, minutasi jadi tanggungjawab ketua pengadilan. Ia memintas supaya setiap bulan dilakukan rapat bulanan.
“Dicek tiap-tiap hakim, berapa yang sudah dan belum diputus. Kalau sudah diputus, sudah diminutasi atau belum? Kalau belum, beri batas waktu. Kalau belum juga, beri kontrak kinerja. Itu salah satu cara utk mengatasinya,” tuturnya.
Peningkatan kinerja dan pelayanan memerlukan alat kerja yang memadai, selain diperlukan komitmen pimpinan yang kuat. Di sisi lain, belum seluruh pengadilan memiliki alat kerja yang memadai.
Jalan keluar terbaik saat ini, menurut Suwardi, tidak perlu menunggu adanya anggaran dari pusat. “Saya ingin semua hakim dan panitera punya komputer atau laptop. Kalau mengandalkan anggaran dari pusat, sulit. Jangankan hakim tingkat pertama, hakim agung saja belum semua diberi laptop,” tuturnya.
Ia mengingatkan, penghasilan hakim yang besar saat ini hendaknya digunakan juga untuk menunjang kinerja sehari-hari.
“Sekarang gaji sudah besar, sehingga bisa beli komputer atau laptop sendiri-sendiri. Mau mahal ada, mau murah juga ada. Tergantung niat. Kalau perlu kreditlah, kalau tidak bisa kontan,” ucapnya.

(sumber : http://www.badilag.net/seputar-ditjen-badilag/seputar-ditjen-badilag/wakil-ketua-ma-hakim-tidak-terikat-jam-kerja-formal)

Selasa, 24 November 2015

Begini Cara MA Kelola Bantuan dari Donor


 
 
Kantor proyek SUSTAIN yang terletak di gedung MA. Foto: NNP

 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
Mahkamah Agung (MA) menyambut baik dukungan yang diberikan oleh Uni Eropa senilai 10 Juta Euro. Dalam kerjasama antara MA dengan Uni Eropa ini, ditunjuk sebagai mitra pelaksana proyek SUSTAIN adalah tim dari negara donor, yaitu United Nations Development Programme (UNDP). Proyek SUSTAIN ini ditujukan untuk meningkatkan transparansi, integritas, akuntabilitas peradilan dan kualitas layanan peradilan bagi masyarakat di Indonesia.

Ketua MA Hatta Ali mengatakan, selain mendapatkan dana dari Anggaran Pendapatan dan Belanja (APBN), MA juga menerima keuangan dari para donor. Tetapi, anggaran dari donor tersebut tak pernah dikelola MA sendiri. Melainkan, dikelola oleh tim dari negara pendonor atau mitra pelaksana proyek.

“MA menerima keuangan dari para donor, kami tidak pernah melaksanakan sendiri tetapi dilaksanakan oleh tim dari negara donor,” kata Hatta dalam konferensi pers di gedung Sekretariat MA, Jakarta (24/11).

Lebih lanjut, Hatta menegaskan, ketika MA menerima dukungan dari donor, MA tidak ingin menerima dalam bentuk uang. Namun, bantuan yang diterima adalah dalam bentuk proyek. Di mana proyek itu diserahkan ke MA sebagai bentuk kerja sama dengan para donor. “Kami tidak ingin menerima dalam bentuk uang tetapi kami ingin menerima dalam bentuk proyek dan proyek itu diserahkan kepada MA,” tambanhnya.

Menurut Hatta, prinsip seperti itu sudah lama diterapkan MA ketika mendapat dukungan dari para donor. Alasannya, untuk menghindari agar MA tidak terkena isu-isu tentang masalah dalam penggunaan anggaran yang sensitif. Atas dasar itu, MA memberikan sepenuhnya dana tersebut dikelola oleh para donor.

“Jadi sejak dulu memang inilah yang merupakan prinsip dari MA, agar MA jangan sampai terkena adanya isu-isu tentang masalah penggunaan anggaran. Hal ini kita hindari oleh karena itu sepenuhnya dilaksanakan oleh negara donor,” paparnya.

Selain itu, Hatta menambahkan, selama ini MA juga begitu berhati-hati untuk memisahkan antara program-program yang didanai menggunakan APBN dengan program-program MA yang bekerja sama dengan tim dari para donor. Sebagai contoh, kerja sama MA dengan Uni Eropa lewat proyek SUSTAIN.

Dalam proyek ini, MA bersama-sama dengan tim proyek SUSTAIN sejak awal memisahkan dan menetapkan program-program yang mana saja yang didanai oleh APBN dan didanai dari para donor, dalam hal ini Uni Eropa. Tujuannya, agar jangan ada satu program pun yang terjadi duplikasi dalam hal pendanaan.

“Maksudnya supaya jangan ada satu proyek terjadi duplikasi atau dikerjakan oleh MA yang menggunakan APBN dan juga dikerjakan SUSTAIN yang menggunakan keuangan dari Uni Eropa,” imbuhnya.

Dalam program-program tertentu, lanjut Hatta, bisa juga dilakukan penggabungan pendanaan. Misalnya, salah satu program yang dilaksanakan MA didanai APBN. Namun, dana APBN tersebut tidak mencukupi untuk menyelesaikan program tersebut. Solusinya, dilakukan penggabungan pendanaan dari APBN dengan dana yang berasal dari para donor.

“Tetapi kadangkala setiap proyek untuk dibiayai MA sendiri atau dibiayai oleh UNDP itu tidak mencukupi sehingga perlu terjadi adanya penggabungan untuk mencapai suatu proyek yang harus dilaksanakan,” ujarnya.

Sebagai gambaran komitmen kuat dari MA kepada para donor, MA juga memberi kantor sebagai tempat melaksanakan proyek SUSTAIN. “Selamat kepada SUSTAIN dalam menempati kantor barunya dan berharap, anda dapat menghasilkan banyak hal yang monumental dari tempat atau ruangan ini. Dengan ini saya nyatakan kantor proyek SUSTAIN dibuka secara resmi,” katanya.

Duta Besar Uni Eropa Indonesia, Vincent Guerend, mengatakan bahwa Uni Eropa menghargai upaya reformasi yang telah dilakukan oleh Indonesia di sektor peradilan. Menurutnya, proyek SUSTAIN adalah ilustrasi dukungan dari Uni Eropa yang berkelanjutan yang diberikan kepada pemerintah Indonesia untuk meningkatkan tata kelola pemerintahan serta aturan hukum yang baik.

“Kami percaya bahwa sangatlah penting untuk melanjutkan hasil-hasil positif dari reformasi ini, termasuk mengambil langkah untuk memperkuat independensi sektor peradilan, menjamin akuntabilitas serta pengawasan terhadap lembaga-lembaga peradilan dan menghormati hak-hak kelompok yang rentan seperti perempuan dan anak-anak,” tutup Vincent.
 
(sumber : http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt565462a58572b/begini-cara-ma-kelola-bantuan-dari-donor)

Minggu, 22 November 2015

"Pengadilan Agama Balige Melaksanakan Sidang Keliling Tahap II di Kabupaten Samosir"





Foto : Majelis Hakim dan Panitera Pengganti



Foto : Pencari Keadilan di Kabupaten Samosir

(balige-www.pa-balige.go.id) Pengadilan Agama Balige melaksanakan sidang keliling Tahap II di Ruang Sekolah Madrasah Ibtidaiyah Swasta Pangururan, Kecamatan Pangururan, Kabupaten Samosir pada hari Kamis tanggal 19 November 2015.  Pelaksanaan sidang keliling tersebut berdasarkan Keputusan Ketua Pengadilan Agama Balige Nomor : W2-A8/952/HK.05/XI/2015 pada tanggal 3 November 2015 yang menunjuk  Majelis Hakim yang terdiri dari Drs. H. Mohd. Ridhwan Ismail sebagai Ketua Majelis, Lanka Asmar, S.HI, MH dan M. Afif, S.HI masing-masing sebagai Hakim Anggota. Kemudian ditunjuk juga Panitera Pengganti, Jurusita Pengganti dan Petugas Administrasi yang terdiri dari Drs. Ramli Nasution, Sriwati br Siregar, SH, Sri Melda Sitorus, A.Md, Nur Ilmayati, Solahuddin Hasibuan, S.HI dan Refit Triadi, S.Pdi.
Kabupaten Samosir yang memiliki luas wilayah 2.069,05 km2 termasuk wilayah hukum Pengadilan Agama Balige. Artinya Pengadilan Agama Balige memiliki wilayah hukum 2 kabupaten yaitu Kabupaten Toba Samosir dan Kabupaten Samosir. Kabupaten Samosir lahir berdasarkan Undang-undang Nomor 36 Tahun 2003 tentang pembentukan Kabupaten Samosir.


Foto : Kapal Motor Dinamala, sarana transportasi ke Samosir


Foto : Majelis Hakim dan Panitera Pengganti

Tim Sidang Keliling  menggunakan sarana transportasi Kapal Motor (KM) “Dinamala” untuk menuju ke Kecamatan Pangururan dan menggunakan waktu sekitar 3 jam. Kemudian Tim Sidang Keliling Pengadilan Agama Balige sampai lokasi Sidang Keliling sekitar jam 11.00 WIB dan langsung mempersiapkan persiapan untuk persidangan yang terdiri dari 14 perkara. Dalam sidang keliling tersebut, tim sidang keliling didampingi oleh Kepala Kantor Urusan Agama (KUA) Kecamatan Harian dan Kepala Kantor Urusan Agama (KUA) Kecamatan Onan Runggu. Pelaksanaan sidang keliling di Kabupaten Samosir, tidak hanya dilakukan oleh Pengadilan Agama Balige, namun juga dilakukan oleh Pengadilan Negeri Balige.    

Foto : Petugas Administrasi dan Panitera Pengganti

Akhirnya setelah menyelesaikan persidangan 14 perkara, sekitar jam 18.00 WIB, Tim Sidang Keliling kembali menuju Balige, Kabupaten Toba Samosir.


Kamis, 19 November 2015

MA Upayakan Uang Pensiun Hakim Meningkat

Serang l Badilag.net
Ketika memberi pembinaan di Aula PTA Banten, Senin (9/11/2015), Wakil Ketua Mahkamah Agung Bidang Non-Yudisial Suwardi, S.H., M.H. ditanya soal kecilnya uang pensiun hakim. Pertanyaan diajukan oleh hakim tinggi Pengadilan Tinggi Agama Banten Drs. H. Zulkifli, S.H., M.H.
“Alhamdulillah, gaji hakim sekarang meningkat. Tapi, sewaktu pensiun, ternyata penghasilannya lebih rendah dari panitera, bahkan lebih kecil dari PNS. Padahal hakim kan pejabat negara,” kata Zulkifli.
Ia mengambil contoh uang pensiun Wakil Ketua PTA Banten Drs. H. Humaidi Husein, S.H., M.H., yang pada hari itu purnabhakti, setelah 37 tahun mengabdi. Sewaktu masih bekerja sebagai Wakil Ketua PTA, penghasilannya sekitar Rp40 juta. Saat pensiun, penghasilannya anjlok, tinggal Rp3,7 juta.
“Apa upaya yang akan dilakukan MA untuk memperjuangkan kenaikan uang pensiun hakim?” tanya Zulkifli.
Setelah menyimak pertanyaan itu dengan seksama, Wakil Ketua MA mengungkapkan bahwa bukan hanya hakim tinggi, hakim agung juga mengalami hal itu.
“Hakim agung itu digaji Rp75 per bulan, lalu turun menjadi Rp4 juta ketika pensiun,” ujarnya.
MA, ujarnya, telah berupaya meningkatkan penghasilan hakim-hakim yang pensiun. Soal ini telah dibahas oleh Biro Perencanaan dan Biro Kepegawaian. Tujuannya agar regulasi yang mengatur soal uang pensiun hakim itu direvisi.
“Jadi, ini sudah dibahas dan terus diupayakan. Mohon doa restu dari Bapak-bapak dan Ibu-ibu,” ucapnya.
Minimnya uang pensiun hakim adalah dampak dari mendua-nya status hakim, yakni sebagai pejabat negara sekaligus sebagai PNS. Sebelum diangkat menjadi hakim, statusnya adalah PNS. Begitupun setelah pensiun.
Hakim diangkat dan diberhentikan oleh Presiden RI melalui Keppres. Ketika seorang hakim pensiun, Presiden RI mengeluarkan Keppres tentang pemberhentian dan pemberian pensiun PNS karena mencapai batas usia pensiun.
Karena statusnya setelah purnabhakti adalah pensiunan PNS, maka aturan yang diberlakukan adalah aturan pensiun PNS. Terakhir, regulasi yang mengatur soal itu adalah PP Nomor 33 Tahun 2015 tentang Penetapan Pensiun Pokok Pensiunan PNS dan Janda/Dudanya.

(sumber : http://www.badilag.net/seputar-ditjen-badilag/seputar-ditjen-badilag/ma-upayakan-uang-pensiun-hakim-meningkat#)