Alamat

Jalan Balige-Laguboti Km. 5 Tambunan Lumban Pea Timur Telp. (0632)21165 email : ikahi.pabalige@gmail.com

Kamis, 22 Oktober 2015

KY Ajak Masyarakat Jaga Marwah Hakim dan Peradilan




 
Makassar (Komisi Yudisial) - Salah satu penyebab proses hukum berjalan kurang baik adalah kekerasan yang terjadi di pengadilan. Karenanya, hakim berhak mendapat perlindungan yang proporsional. Bukan semata-mata untuk individu hakim, tapi lebih untuk menjaga wibawa peradilan.

Hal itu diungkapkan oleh Ketua Bidang Rekrutmen Hakim Komisi Yudisial (KY) Taufiqurrohman Syahuri pada Seminar Publik hasil kerja sama KY dengan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Makassar yang bertajuk Peran Pemerintah dan Masyarakat dalam Menjaga Marwah Hakim dan Peradilan di Hotel Horison Panakukkang, Makassar pada Selasa (20/10).

Di hadapan peserta seminar yang terdiri dari unsur aparat penegak hukum, pemerintah, akademisi, praktisi hukum hingga organisasi massa, Taufiq mengajak seluruh elemen masyarakat tersebut untuk menjaga independensi hakim dalam memutus.

“Di tangan hakim, nasib pencari keadilan dipertaruhkan. Ada orang yang tadinya kaya raya, kalah di persidangan bisa bangkrut. Ada yang tadinya dihormati, lantas ketahuan korupsi, maka divonis oleh hakim lalu dia menjadi orang yang terhina. Tetapi lebih dari itu, nyawapun bisa dicabut atas perintah hakim," ucap pria kelahiran Brebes ini.

Lebih lanjut Taufiq mengungkapkan, berdasarkan hasil survei yang dilakukan KY, kehormatan dan keluhuran martabat hakim belum dapat terwujud karena ada perilaku hakim, orang perseorangan, kelompok orang atau masyarakat dan badan hukum yang merendahkan kehormatan, keluhuran dan martabat hakim.

Penyebabnya, lanjut Taufiq, dapat berasal dari faktor internal dan eksternal. 

“Faktor internal disebabkan karena ulah atau perilaku hakim sendiri yang merendahkan keluhuran martabatnya. Di sini, KY menjaganya dengan penegakan Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim," tegasnya.

Sementara faktor eksternal dapat berupa demonstrasi dengan merusak sarana dan prasarana di pengadilan atau pihak yang tidak puas terhadap putusan hakim sehingga ingin menyakiti hakim tersebut.

"Di sini peran KY adalah mengimbau masyarakat untuk tidak berlaku demikian. KY juga mengajak masyarakat untuk menjaga marwah sang wakil Tuhan ini, sehingga putusannya baik dan senantiasa dihormati bersama," pungkas Taufiq.
 
(sumber : http://www.komisiyudisial.go.id/berita-54379-ky-ajak-masyarakat-jaga-marwah-hakim-dan-peradilan.html)

Jumat, 09 Oktober 2015

Kewenangan KY Ikut Proses Seleksi Hakim Inkonstitusional

 
Para Pemohon Prinsipal saling memberikan salam seusai mendengarkan amar putusan perkara uji materi UU Peradilan Umum, Rabu (7/10) di Ruang Sidang Pleno Gedung MK. Foto Humas/Ganie.

Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan untuk seluruhnya permohonan uji materiil Undang-Undang Peradilan Umum, Undang-Undang Peradilan Agama dan Undang-Undang Peradilan Tata Usaha Negara yang diajukan oleh jajaran pengurus Ikatan Hakim Indonesia (IKAHI), Imam Soebechi, Suhadi, dkk. Menurut Mahkamah, kewenangan Komisi Yudisial (KY) untuk ikut bersama menyeleksi hakim Pengadilan Negeri, Pengadilan Agama dan Pengadilan Tata Usaha negara adalah inkonstitusional.  Putusan atas perkara nomor 43/PUU-XIII/2015 tersebut diucapkan dalam Sidang Pleno terbuka untuk umum pada Rabu (7/10), di Ruang Sidang Pleno MK.
“Amar putusan, mengadili, menyatakan, mengabulkan permohonan para Pemohon untuk seluruhnya,” ucap Wakil Ketua MK Anwar Usman selaku pimpinan sidang, dengan di dampingi tujuh Hakim Konstitusi lainnya.
Mahkamah menilai, sistem peradilan yang diamanatkan dan dikehendaki oleh Konstitusi dalam melaksanakan kekuasaan kehakiman, tugasnya tidak saja sekadar menegakkan hukum, tetapi sekaligus menegakkan keadilan. Adanya sistem dan mekanisme peradilan sebagaimana dirancang dalam Konstitusi, menjadikan para pencari keadilan terlindungi dalam hal mendapatkan hakim yang tidak bebas dan tidak memihak.
Sementara itu menurut Mahkamah, KY yang lahir dalam perubahan UUD 1945, kewenangannya telah ditegaskan dalam Pasal 24B ayat (1) UUD 1945, yang berbunyi “Komisi Yudisial bersifat mandiri yang berwenang mengusulkan pengangkatan hakim agung dan mempunyai wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim.” Kemudian berdasarkan Putusan MK Nomor 005/PUU-IV/2006, maka baik Mahkamah Agung dan peradilan di bawahnya serta MK merupakan kekuasaan kehakiman yang merdeka, sehingga dalam melaksanakan kewenangan justisialnya, lembaga peradilan tidak dapat diawasi oleh lembaga negara lain.
Mahkamah menegaskan, KY bukan merupakan pelaksana kekuasaan kehakiman, melainkan sebagai elemen pendukung atau state auxiliary organ, yang mendukung pelaku kekuasaan kehakiman. Selain itu, frasa “wewenang lain” dalam Pasal 24B ayat (1) UUD 1945 adalah semata dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran, martabat, serta perilaku hakim, tidak dapat diperluas dengan tafsiran lain. UUD 1945 juga tidak memberi kewenangan kepada pembuat Undang-Undang untuk memperluas kewenangan KY.
Lebih lanjut Mahkamah menyatakan, meskipun dalam Pasal 24 UUD 1945 tidak menyebutkan secara tersurat mengenai kewenangan Mahkamah Agung dalam proses seleksi dan pengangkatan calon hakim dari lingkungan Peradilan Umum, Peradilan Agama, dan Peradilan Tata Usaha Negara, akan tetapi ayat (2) dari Pasal 24 UUD 1945 telah secara tegas menyatakan ketiga Undang-Undang yang diajukan Pemohon dalam perkara ini berada dalam lingkungan kekuasaan kehakiman di bawah Mahkamah Agung. Bahkan, apabila dihubungkan dengan sistem peradilan “satu atap”, menurut Mahkamah seleksi dan pengangkatan calon hakim pengadilan tingkat pertama menjadi kewenangan Mahkamah Agung. Untuk itu, Mahkamah memandang aturan yang memberikan kewenangan kepada KY untuk ikut bersama dalam proses seleksi hakim Pengadilan Negeri, Pengadilan Agama, dan Pengadilan Tata Usaha Negara adalah bertentangan dengan UUD 1945.
“Menimbang bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut, menurut Mahkamah ketentuan Pasal 14A ayat (2) dan ayat (3) UU Peradilan Umum, Pasal 13A ayat (2) dan ayat (3) UU Peradilan Agama, Pasal 14A ayat (2) dan ayat (3) UU Peradilan Tata Usaha Negara sepanjang kata “bersama” dan frasa “dan Komisi Yudisial” adalah bertentangan dengan Pasal 24B ayat (1) UUD 1945,” ucap Hakim Konstitusi Suhartoyo membacakan pertimbangan Mahkamah.
Pendapat Berbeda
Dalam putusan ini, Hakim Konstitusi I Dewa Gede Palguna mempunyai pendapat berbeda (dissenting opinion). Menurut Palguna, batas konstitusional dari “wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran maertabat, serta perilaku hakim” adalah tidak boleh terganggu atau terlanggarnya prinsip kemerdekaan kekuasaan kehakiman. Palguna berpendapat, keterlibatan KY dalam proses seleksi pengangkatan hakim Pengadilan Negeri, Pengadilan Agama dan Pengadilan Tata Usaha Negara tidaklah mengganggu administrasi, organisasi maupun finansial pengadilan sepanjang dipahami pada konteks keterlibatan dalam memberikan pemahaman kode etik dan pedoman perilaku hakim bagi para calon hakim.

(sumber : http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/index.php?page=web.Berita&id=12239#.VheKjVK3o7w)

Kamis, 08 Oktober 2015

Seleksi Calon Hakim Wewenang Tunggal MA

Perdebatan konstitusionalitas keterlibatan Komisi Yudisial (KY) dalam seleksi calon hakim bersama Mahkamah Agung (MA) akhirnya terjawab. Lewat putusannya, Mahkamah Konstitusi (MK) menyatakan seleksi calon hakim sepenuhnya menjadi wewenang MA. MK mengabulkan permohonan IKAHI atas pengujian sejumlah pasal dalam tiga paket UU di bidang peradilan. Ikatan Hakim Indonesia ini mempersoalkan keterlibatan KY dalam seleksi calon hakim.

Dalam putusannnya,MK menghapus kata “bersama” dan frasa “Komisi Yudisial” dalam Pasal 14A ayat (2) dan ayat (3) UU No. 49 Tahun 2009 tentang Peradilan Umum, Pasal 13A ayat (2) dan ayat (3) UU No. 50 Tahun 2009 tentang Peradilan Agama, dan Pasal 14A ayat (2) dan ayat (3) UU No. 51 Tahun 2009 tentang Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN). Dengan putusan ini, KY tidak berwenang lagi dalam proses seleksi calon hakim di tiga lingkungan peradilan.

Pasal 14A ayat (2) UU Peradilan Umum selengkapnya berbunyi, Proses seleksi pengangkatan hakim pengadilan negeri dilakukan oleh Mahkamah Agung” dan Pasal 14A ayat (3) UU Peradilan Umum selengkapnya berbunyi, Ketentuan lebih lanjut mengenai proses seleksi diatur oleh Mahkamah Agung’…..,” tutur Anwar Usman saat membacakan amar putusan bernomor 43/PUU-XIII/2015di Jakarta, Rabu (07/10).

Pengurus Pusat IKAHI mempersoalkan ketiga aturan itu yang memberi wewenang KY untuk terlibat dalam SPH bersama MA di tiga lingkungan peradilan. IKAHI mengganggap kewenangan KY dalam proses SPH mendegradasi peran IKAHI untuk menjaga kemerdekaan (independensi) yang dijamin Pasal 24 UUD 1945. Selain itu, Pasal 21 UU Kekuasaan Kehakiman menyebutkan organisasi, administrasi, dan finansial MA dan badan peradilan berada di bawah kekuasaan MA.

Terlebih, Pasal 24B ayat (1) UUD 1945 tidak mengamanatkan keterlibatan KY dalam SPH. Bahkan, keterlibatan KY dinilai menghambat regenerasi hakim. Karenanya, pemohon meminta agar keterlibatan KY dalam SPH dihapus dengan cara menghapus kata “bersama” dan frasa “Komisi Yudisial” dalam pasal-pasal itu, sehingga hanya MA yang berwenang melaksanakan SPH.

Mahkamah mengutip pandangan ahli Pemohon, Yusril Ihza Mahendra, yangmembenarkankemungkinan Komisi Yudisial dilibatkan dalam proses rekrutmen calon hakim pada saat pembahasan amandemen UUD 1945. Beberapa anggota Panitia Ad Hoc I BP MPRHarjono, Jacob Tobing, dan Hamdan Zoelva membuka kemungkinan KY ikut menyeleksi calon hakim tingkat pertama dan banding. Namun,usulan-usulan itu tidak disepakati baik oleh PanitiaAd HocIdan Sidang Paripurna MPR. MPR hanya sepakat kewenangan KY dalam proses seleksi hakim agung. Dengan kata lain, semua pendapat atau usulan yang berkembang terkait kewenangan KY untuk seleksi calon hakim tingkat pertama dan tingkat banding pada akhirnya ditolak.

“Suatu norma yang telah dibahas dan diputus dalam rapat BP MPR maupun MPR dan kemudian ditolak tidak boleh dijadikan norma dalamUndang-Undang,kecuali dilakukan melalui proses perubahan UUD 1945,” ujar Suhartoyo saat membacakan pertimbangan putusan.

Menurut Mahkamah frasa “wewenang lain” dalam Pasal 24B ayat (1) UUD 1945 adalah semata dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran, martabat, serta perilaku hakim, tidak dapat diperluas dengan tafsiran lain(dalam hal ini seleksi calon hakim). Sebab, UUD 1945sendiritidak memberi kewenangan kepada pembuat Undang-Undang untuk memperluas kewenangan KY.

Meski Pasal 24 UUD 1945 tidak menyebutkan secara tersurat kewenangan MAdalam  proses seleksi dan pengangkatan calon hakim di tiga lingkungan peradilan, Pasal 24ayat (2)UUD 1945telah secara tegas menyatakan tigaperadilan tadi berada dalam lingkungan kekuasaan kehakiman di bawah MA. Lagipula apabila dihubungkan dengan sistem peradilan “satu atap”, menurut Mahkamah, seleksi dan pengangkatan calon hakim pengadilan tingkat pertama menjadi kewenangan MA.

“Berdasarkan pertimbangan tersebut, menurut Mahkamah Pasal 14A ayat (2) dan ayat (3) UU Peradilan Umum, Pasal 13A ayat (2) dan ayat (3) UU Peradilan Agama, Pasal 14A ayat (2) dan ayat (3) UU tentang PTUN sepanjang kata ‘bersama’ dan frasadan Komisi Yudisial’ adalah bertentangan dengan Pasal 24B ayat (1) UUD 1945,” tegasnya.

Tidak menganggu
Namun, putusan ini tidak diambil secara bulat. Salah satu Hakim Konstitusi I Dewa Gede Palguna mengajukan dissenting opinion (pendapat berbeda). Dia berpendapat seharusnya MK memutus ketiga pasal dengan konstitusional bersyarat. Alasannya, keterlibatan KY bersama MA dalam proses seleksi pengangkatan hakim di tiga lingkungan peradilan tidaklah mengganggu administrasi, organisasi, maupun finansial pengadilan.

“Sepanjang dipahami keterlibatan KY itu konteksnya adalah keterlibatan dalam memberikan pemahaman kode etik dan pedoman perilaku hakim bagi para calon hakim yang telah dinyatakan lulus dalam proses seleksi calon hakim,” dalilnya.

Menurut Palguna, jika keterlibatan KY dipahami demikian, sebenarnya hal itu merupakan penafsiran sekaligus implementasi yang tepat terhadap pengertian “wewenang lain” dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat serta perilaku hakim yang diamanatkan UUD 1945 kepada KY.

“Sayangnya, buruknya hubungan antara KY dan MA dalam mengimplementasikan gagasan mulia konstitusi itu, sebagaimana nyata dari fakta yang terungkap dalam persidangan maupun sebaran berita di media massa, telah menyebabkan penafsiran dan implementasi yang sesungguhnya memberikan harapan besar menjadi sirna,” katanya. 

Usai sidang, Wakil Ketua PP IKAHI Suhadi menegaskan dengan putusan MK ini, KY dipastikan tidak berwenang ikut terlibat dalam proses rekrutmen calon hakim. “Menurut kami demikian, hanya MA yang melaksanakannya. Untuk ke depan, MA akan segera berkonsultasi dengan pemerintah terkait pelaksanaan rekrutmen calon hakim baru. “Karena kita nanti akan membiayai calon hakim baru dari pemerintah,” katanya.

Terpisah, Komisioner KY, Imam Anshori Saleh mengaku sedari awal sudah menduga MK akan mengabulkan permohonan PP IKAHI ini. Dugaannya ini berkaitan dengan adanya tiga hakim MK yang berasal dari MA yang notabene juga anggota IKAHI nonaktif yang ikut memutuskan perkara ini. “Tetapi, putusan MK ini kan final and binding. Ya, dipatuhi saja putusan MK itu, walaupun terasa janggal,” ujarnya kecewa.

Sebenarnya, kewenangan ini belum dijalankan KY, tetapi sudah ‘diamputasi’ Mahkamah Konstitusi. 
 
(sumber : http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt5615a9a698d50/seleksi-calon-hakim-wewenang-tunggal-ma)

Para Hakim, Contohlah Lima Keteladanan Bismar Siregar Ini

Para Hakim, Contohlah Lima Keteladanan Bismar Siregar Ini
 

Bismar Siregar dikenal sebagai sosok yang memiliki watak. Sikapnya semasa hidup, dikenal sebagai hakim yang mengutamakan keadilan dibandingkan kepastian hukum. Bismar telah berpulang, tepatnya pada 19 April 2012. Meski telah tiada, namun jejak dan keteladanan Bismar masih terasa.
Keteladanan tersebut yang mengantarkan Bismar menuju jalan panjang karirnya hingga menjadi hakim agung. Hal itu bisa menjadi inspirasi bagi para hakim sehingga layak diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Berikut lima keteladanan Bismar yang berhasil disarikan hukumonline, sehingga bisa diikuti para hakim penerusnya.
Integritas
Wakil Rektor I Universitas Al Azhar Indonesia (UAI) Ahmad H Lubis melihat, Bismar memiliki sosok yang langka di dunia penegakan hukum. Sepanjang yang dia lihat, hanya Bismar lah sosok hakim yang berintegritas tinggi. Ia mengenalnya saat Bismar menjadi Dekan Fakultas Hukum UAI yang pertama.
“Integritas penting bagi profesi hukum. Hal yang baik dari beliau (Bismar, red) bisa diteladani,” katanya saat membuka acara diskusi ‘Reaktualisasi Pemikiran Prof. Bismar Siregar’ di Kampus UAI, di Jakarta, Rabu (7/10).
Hadir di tempat yang sama, Dekan Fakultas Hukum UAI Agus Surono juga melihat Bismar sebagai sosok yang berintegritas. Ia juga cukup mengenal sosok Bismar. Kala itu, ketika Bismar menjabat sebagai Dekan Fakultas Hukum UAI yang pertama, di waktu bersamaan dia menjabat sebagai Ketua Program Studi (KaProdi) Fakultas Hukum UAI. ”Integritasnya tidak perlu diragukan lagi,” kata Agus.
Sederhana
Sebagai seorang pejabat, apalagi sempat mencicipi jabatan sebagai hakim agung tak membuat kehidupan pribadi Bismar ‘bermewah-mewah’. Advokat Kemalsjah Siregar mengatakan, Bismar adalah sosok yang sangat sederhana. Kesederhanaan Bismar itu dilatarbelakangi dari kesederhanaan orang tua yang menurun kepada Bismar.
Lebih lanjut, Kemal mengatakan, kalau Bismar juga tidak pernah menunjukkan dirinya sebagai seorang pejabat. ”Saya masih ingat kata-kata beliau ‘Jadi, kau nak, ingatlah nak darimana kau berasal’,” ujar Kemalsjah Siregar, anak kandung dari Alm. Bismar Siregar.
Hal serupa juga diutarakan Agus. Hal ini terlihat dari ruang kerja Agus dan Bismar saat masing-masing menjabat KaProdi dan Dekan Fakultas Hukum UAI. Keadaannya, masih sangat jauh dari kata layak. Sempit dan tidak banyak fasilitas yang bisa dinikmati layaknya jabatan serupa di kampus lainnya. Namun, tak satupun keluhan keluar dari mulut Bismar mengenai kondisi tersebut.
Hindari Menumpuk Perkara
Kerja keras. Itulah salah satu etos kerja yang mesti dimiliki seorang hakim. Sebagai ’muara terakhir’ bagi para pencari keadilan, Hakim juga dituntut bekerja secara cepat, sebagaimana prinsip pengadilan dengan proses cepat dan berbiaya ringan. Dan lagi, Bismar dikenal sebagai sosok yang memiliki etos kerja yang tinggi.
Kemal masih ingat kalau dulu Amangnya (panggilan sehari-hari kepada Bismar. Bahasa Tapanuli, berarti ayah, red) selalu membawa pekerjaannya ke rumah. Menurutnya, saat di rumah, sang Amang pun masih melanjutkan pekerjaannya hingga waktu larut malam. ”Ya di rumah itu kerja, kerja, kerja. Bisa kerja sampai jam 2 pagi,” kenangnya.
Dikatakan Kemal, ketika Bismar diangkat menjadi hakim cgung, cara kerjanya tidak mengalami perubahan sama sekali. Bismar bekerja keras tanpa mengenal waktu. Karenanya, Bismar tidak pernah menumpuk perkara yang menjadi tanggung jawabnya selama menjalani profesinya.
“Ritme kerja ketika sudah di MA (Mahkamah Agung,- red) juga tidak berubah. Sebelum jam tujuh pasti sudah datang,” tuturnya.
Berani ‘Tabrak’ Aturan
Istilah “hakim adalah corong undang-undang” tidak tepat kalau dipasangkan dengan sosok Bismar. Sebut saja, Putusan Pengadilan Tinggi Medan Nomor 144/PID/1983/PTMdn yang dikenal dengan putusan ‘barang’ atau bonda yang dianalogikan sebagai kehormatan oleh Bismar. Putusan itu, kata Agus, merupakan putusan yang sangat berani terutama dalam rangka melakukan terobosan hukum.
Lebih lanjut, Agus menilai, ‘langkah berani’ Bismar saat itu sangat tepat. Sebab, hakim semestinya mengedepankan keadilan hukum dibandingkan dengan kepastian hukum. Analogi menyamakan ‘Kehormatan’ perempuan dengan ‘barang’, dalam rangka melakukan penemuan hukum (recht vinding).
“Putusan barang itu adalah penemuan hukum oleh pak Bismar yang mencoba kasih perlindungan hukum kepada korban,” papar Agus.
Ditempat yang sama, Hakim Agung Krisna Harahap juga mendambakan sosok pendahulunya itu. Sebagai sesama hakim agung, selain tegas, Bismar juga merupakan sosok yang konsisten dalam membuat putusan-putusan yang kontroversial. Ia melihat, Bismar adalah sosok hakim yang baik.
Sebagai Hakim yang baik, lanjut Krisna, Bismar berani melawan peraturan-peraturan yang sudah tidak layak. Selain itu, menurutnya Bismar dalam setiap putusannya tidak hanya menggali materi hukum yang ada dalam undang-undang. Namun, selalu mencoba menggali dengan mengedepankan hati nuraninya.
“Hakim yang baik yang berani lawan peraturan kalau peraturan itu sudah tidak mencerminkan kepatutan dan kelayakan. Pak Bismar tidak ingin hakim menggunakan kacamata kuda, hanya melihat peraturan tertulis saja,” ujar Krisna.
'Satu Kata’ dengan Keadilan
Konsisten. Sikap inilah yang membuat Krisna kagum pada seniornya di MA itu. Ia melihat, Bismar dikenal konsisten dalam memeriksa setiap perkara yang diperiksanya. Kalau dilihat dalam setiap putusan-putusannya, Bismar selalu mencoba menggunakan konsep hati nuraninya. Tak hanya itu, seluruh putusan-putusan Bismar juga konsisten dalam mengedepankan aspek keadilan.
“Keadilan bagi pak Bismar adalah milik Allah SWT, keadilan itu tidak akan memuaskan semua pihak. Tapi keadilan yang sejati adalah semata-mata milik Allah SWT,” tandasnya.

(sumber : http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt5615318374166/para-hakim--contohlah-lima-keteladanan-bismar-siregar-ini)

Senin, 05 Oktober 2015

Penghubung KY Jateng Gelar FGD Dorong RUU Jabatan Hakim



 
Purwokerto  - Komisi Yudisial (KY) melalui Biro Rekrutmen, Advokasi, dan Peningkatan Kapasitas Hakim dan Penghubung KY Wilayah Jawa Tengah (Jateng) bekerjasama dengan Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Fakultas Hukum (FH) Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed) mengadakan Forum Group Discussion (FGD) dengan Tema "Promosi & Mutasi Hakim Pada RUU Jabatan Hakim; Berdasarkan Kompetensi, Kinerja dan Kebutuhan" di Aula Justicia III FH Unsoed, Kamis (01/10).

FGD menghadirkan narasumber Dekan FH Unsoed Angkasa, Tenaga Ahli Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI Abdul Kholik dan Mantan Hakim Sumartono. Acara ini diikuti berbagai instansi yang terdiri dari Hakim Pengadilan Negeri dan Pengadilan Agama di Banyumas, Purwokerto, Purbalingga, Banjarnegara, dan Cilacap, Akademisi, Praktisi, Tokoh Masyarakat dan Mahasiswa.

Dekan FH Unsoed Angkasa mengatakan, RUU Jabatan Hakim telah memenuhi kriteria The Principles of Legality dan juga memenuhi sistem hukum yang baik khususnya dalam Legal Substance dan Legal Structural.

Menurut Angkasa, tujuan pelaksanaan promosi adalah untuk meningkatkan motivasi hakim sehingga menghasilkan kinerja yang maksimal. 
"Tujuan Mutasi untuk meningkatkan produktifitas kerja, menciptakan keseimbangan antara SDM dengan komposisi pekerjaan atau jabatan, dan memperluas/menambah pengetahuan SDM,” jelas Angkasa.

Tenaga Ahli Badan Legislasi DPR RI Abdul Kholik menambahkan, tujuan lain pengaturan jabatan hakim agar Mahkamah Agung (MA) dan KY dapat bersinergi dalam membangun martabat hakim.

"Sejatinya dalam konstitusi kedua lembaga tersebut merupakan lembaga negara yang memiliki tugas dan fungsi saling menunjang dalam rangka menciptakan lembaga yudikatif yang berwibawa dan bermartabat serta dipercaya oleh masyarakat," tuturnya.

Sementara itu, mantan hakim Sumartono menilai, penanganan hakim secara teknis dapat diserahkan kepada MA, sedangkan dari segi kepribadian dan penegakan kode etik dilaksanakan oleh KY. Disamping itu, Sumartono menyarankan agar hal prinsipil hakim sebagai pejabat negara diatur secata detail dalam RUU tersebut.

“Mudah-mudahan dengan disahkannya RUU Jabatan Hakim sehingga era "Pejabat Negara Rasa PNS" segara berakhir,” ungkapnya.

Plt Koordinator Penghubung KY Wilayah Jateng Feri Fernandes mengatakan, kegiatan ini sebagai rangkaian kegiatan perayaan ulang tahun Penghubung KY Wilayah Jateng yang ke-2.

Menurut Feri, FGD ini adalah bagian untuk menyerap aspirasi stakeholder terkait atas RUU Jabatan Hakim sebelum dibahas lebih lanjut oleh DPR.

Di akhir FGD ini disimpulkan bahwa RUU Jabatan Hakim memiliki urgensi tinggi dan patut untuk segera ditingkatkan statusnya menjadi undang-undang. Sebagai informasi, RUU Jabatan Hakim dan RUU Kepolisian dalam prioritas di tahun 2015-2016

(sumber : http://www.komisiyudisial.go.id/berita-54373-penghubung-ky-jateng-gelar-fgd-dorong-ruu-jabatan-hakim-.html)