Alamat

Jalan Balige-Laguboti Km. 5 Tambunan Lumban Pea Timur Telp. (0632)21165 email : ikahi.pabalige@gmail.com

Kamis, 08 Oktober 2015

Seleksi Calon Hakim Wewenang Tunggal MA

Perdebatan konstitusionalitas keterlibatan Komisi Yudisial (KY) dalam seleksi calon hakim bersama Mahkamah Agung (MA) akhirnya terjawab. Lewat putusannya, Mahkamah Konstitusi (MK) menyatakan seleksi calon hakim sepenuhnya menjadi wewenang MA. MK mengabulkan permohonan IKAHI atas pengujian sejumlah pasal dalam tiga paket UU di bidang peradilan. Ikatan Hakim Indonesia ini mempersoalkan keterlibatan KY dalam seleksi calon hakim.

Dalam putusannnya,MK menghapus kata “bersama” dan frasa “Komisi Yudisial” dalam Pasal 14A ayat (2) dan ayat (3) UU No. 49 Tahun 2009 tentang Peradilan Umum, Pasal 13A ayat (2) dan ayat (3) UU No. 50 Tahun 2009 tentang Peradilan Agama, dan Pasal 14A ayat (2) dan ayat (3) UU No. 51 Tahun 2009 tentang Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN). Dengan putusan ini, KY tidak berwenang lagi dalam proses seleksi calon hakim di tiga lingkungan peradilan.

Pasal 14A ayat (2) UU Peradilan Umum selengkapnya berbunyi, Proses seleksi pengangkatan hakim pengadilan negeri dilakukan oleh Mahkamah Agung” dan Pasal 14A ayat (3) UU Peradilan Umum selengkapnya berbunyi, Ketentuan lebih lanjut mengenai proses seleksi diatur oleh Mahkamah Agung’…..,” tutur Anwar Usman saat membacakan amar putusan bernomor 43/PUU-XIII/2015di Jakarta, Rabu (07/10).

Pengurus Pusat IKAHI mempersoalkan ketiga aturan itu yang memberi wewenang KY untuk terlibat dalam SPH bersama MA di tiga lingkungan peradilan. IKAHI mengganggap kewenangan KY dalam proses SPH mendegradasi peran IKAHI untuk menjaga kemerdekaan (independensi) yang dijamin Pasal 24 UUD 1945. Selain itu, Pasal 21 UU Kekuasaan Kehakiman menyebutkan organisasi, administrasi, dan finansial MA dan badan peradilan berada di bawah kekuasaan MA.

Terlebih, Pasal 24B ayat (1) UUD 1945 tidak mengamanatkan keterlibatan KY dalam SPH. Bahkan, keterlibatan KY dinilai menghambat regenerasi hakim. Karenanya, pemohon meminta agar keterlibatan KY dalam SPH dihapus dengan cara menghapus kata “bersama” dan frasa “Komisi Yudisial” dalam pasal-pasal itu, sehingga hanya MA yang berwenang melaksanakan SPH.

Mahkamah mengutip pandangan ahli Pemohon, Yusril Ihza Mahendra, yangmembenarkankemungkinan Komisi Yudisial dilibatkan dalam proses rekrutmen calon hakim pada saat pembahasan amandemen UUD 1945. Beberapa anggota Panitia Ad Hoc I BP MPRHarjono, Jacob Tobing, dan Hamdan Zoelva membuka kemungkinan KY ikut menyeleksi calon hakim tingkat pertama dan banding. Namun,usulan-usulan itu tidak disepakati baik oleh PanitiaAd HocIdan Sidang Paripurna MPR. MPR hanya sepakat kewenangan KY dalam proses seleksi hakim agung. Dengan kata lain, semua pendapat atau usulan yang berkembang terkait kewenangan KY untuk seleksi calon hakim tingkat pertama dan tingkat banding pada akhirnya ditolak.

“Suatu norma yang telah dibahas dan diputus dalam rapat BP MPR maupun MPR dan kemudian ditolak tidak boleh dijadikan norma dalamUndang-Undang,kecuali dilakukan melalui proses perubahan UUD 1945,” ujar Suhartoyo saat membacakan pertimbangan putusan.

Menurut Mahkamah frasa “wewenang lain” dalam Pasal 24B ayat (1) UUD 1945 adalah semata dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran, martabat, serta perilaku hakim, tidak dapat diperluas dengan tafsiran lain(dalam hal ini seleksi calon hakim). Sebab, UUD 1945sendiritidak memberi kewenangan kepada pembuat Undang-Undang untuk memperluas kewenangan KY.

Meski Pasal 24 UUD 1945 tidak menyebutkan secara tersurat kewenangan MAdalam  proses seleksi dan pengangkatan calon hakim di tiga lingkungan peradilan, Pasal 24ayat (2)UUD 1945telah secara tegas menyatakan tigaperadilan tadi berada dalam lingkungan kekuasaan kehakiman di bawah MA. Lagipula apabila dihubungkan dengan sistem peradilan “satu atap”, menurut Mahkamah, seleksi dan pengangkatan calon hakim pengadilan tingkat pertama menjadi kewenangan MA.

“Berdasarkan pertimbangan tersebut, menurut Mahkamah Pasal 14A ayat (2) dan ayat (3) UU Peradilan Umum, Pasal 13A ayat (2) dan ayat (3) UU Peradilan Agama, Pasal 14A ayat (2) dan ayat (3) UU tentang PTUN sepanjang kata ‘bersama’ dan frasadan Komisi Yudisial’ adalah bertentangan dengan Pasal 24B ayat (1) UUD 1945,” tegasnya.

Tidak menganggu
Namun, putusan ini tidak diambil secara bulat. Salah satu Hakim Konstitusi I Dewa Gede Palguna mengajukan dissenting opinion (pendapat berbeda). Dia berpendapat seharusnya MK memutus ketiga pasal dengan konstitusional bersyarat. Alasannya, keterlibatan KY bersama MA dalam proses seleksi pengangkatan hakim di tiga lingkungan peradilan tidaklah mengganggu administrasi, organisasi, maupun finansial pengadilan.

“Sepanjang dipahami keterlibatan KY itu konteksnya adalah keterlibatan dalam memberikan pemahaman kode etik dan pedoman perilaku hakim bagi para calon hakim yang telah dinyatakan lulus dalam proses seleksi calon hakim,” dalilnya.

Menurut Palguna, jika keterlibatan KY dipahami demikian, sebenarnya hal itu merupakan penafsiran sekaligus implementasi yang tepat terhadap pengertian “wewenang lain” dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat serta perilaku hakim yang diamanatkan UUD 1945 kepada KY.

“Sayangnya, buruknya hubungan antara KY dan MA dalam mengimplementasikan gagasan mulia konstitusi itu, sebagaimana nyata dari fakta yang terungkap dalam persidangan maupun sebaran berita di media massa, telah menyebabkan penafsiran dan implementasi yang sesungguhnya memberikan harapan besar menjadi sirna,” katanya. 

Usai sidang, Wakil Ketua PP IKAHI Suhadi menegaskan dengan putusan MK ini, KY dipastikan tidak berwenang ikut terlibat dalam proses rekrutmen calon hakim. “Menurut kami demikian, hanya MA yang melaksanakannya. Untuk ke depan, MA akan segera berkonsultasi dengan pemerintah terkait pelaksanaan rekrutmen calon hakim baru. “Karena kita nanti akan membiayai calon hakim baru dari pemerintah,” katanya.

Terpisah, Komisioner KY, Imam Anshori Saleh mengaku sedari awal sudah menduga MK akan mengabulkan permohonan PP IKAHI ini. Dugaannya ini berkaitan dengan adanya tiga hakim MK yang berasal dari MA yang notabene juga anggota IKAHI nonaktif yang ikut memutuskan perkara ini. “Tetapi, putusan MK ini kan final and binding. Ya, dipatuhi saja putusan MK itu, walaupun terasa janggal,” ujarnya kecewa.

Sebenarnya, kewenangan ini belum dijalankan KY, tetapi sudah ‘diamputasi’ Mahkamah Konstitusi. 
 
(sumber : http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt5615a9a698d50/seleksi-calon-hakim-wewenang-tunggal-ma)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar