Ketua Mahkamah Agung (MA), M. Hatta Ali menegaskan Rancangan Undang-Undang tentang Jabatan Hakim sangat penting untuk memberi perlindungan, keamanan, dan kesejahteraan bagi para hakim sekaligus dapat menciptakan peradilan yang bersih. Namun hingga kini, status hakim sebagai pejabat negara belum sepenuhnya berimbas pada pemenuhan hak-hak mereka sebagaimana mestinya.
“Sudah jelas dalam peraturan perundang-undangan dinyatakan hakim sebagai pejabat negara, tapi realisasinya belum,” ujar Hatta Ali di sela-sela seminar bertajuk “Kedudukan Hakim Sebagai Pejabat Negara” yang diselenggarakan Balitbang Diklat Kumdil MA di Jakarta, Kamis (26/11).
Untuk itu, Hatta mendorong agar DPR untuk segera merealisasikan pembahasan RUU Jabatan Hakim. Dia berharap melalui Badan Legislasi DPR, RUU Jabatan bisa masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas). “Kita berharap RUU Jabatan masuk Prolegnas,” katanya.
Hatta menegaskan pentingnya RUU Jabatan Hakim tidak hanya mengatur persoalan kesejahteraan hakim, tetapi juga mengatur perlindungan fasilitas keamanan dan pengorganisasian para hakim. Sebab, tunjangan dan fasilitas keamanan para hakim belum seperti pejabat negara pada umumnya. Terlebih, dalam beberapa kasus, keamanan hakim seringkali terancam dan menjadi sasaran teror ketika menangani dan memutus perkara. “Inilah yang dituntut para hakim,” kata Hatta Ali.
Dia juga berharap apabila RUU Jabatan Hakim disahkan menjadi UU kesejahteraan para hakim semakin meningkat. Dia yakin pada akhirnya akan tercipta sistem peradilan yang bersih. “Kalau hakim sudah sejahtera, para pencari keadilan yang mau nakal-nakal harus berpikir seribu kali. Karena hakimnya sudah sejahtera, sudah punya rumah, mobil dinas dan lain-lain.”
Masih sistem PNS
Ketua Kamar Pembinaan MA, Takdir Rahmadi, mengatakan meski berbagai peraturan perundang-undangan telah menegaskan hakim di semua tingkat peradilan adalah pejabat negara, faktanya menunjukkan hakim belum mendapatkan hak-hak sesuai status dan kedudukannya karena pola karier dan kepangkatannya masih menggunakan sistem PNS.
“Hakim tingkat pertama dan hakim tinggi masih tetap menyandang status sebagai pegawai negeri sipil. Dengan masih berstatus PNS sekaligus pejabat negara, sistem manajemen jabatan, kepangkatan hakim dan persyaratan memperoleh promosi (pimpinan pengadilan) masih mengikuti pola PNS,” kata Takdir.
Dia memandang kesejahteraan berkorelasi positif terhadap independensi hakim. Karenanya, negara tidak boleh membiarkan hakim dalam posisi subordinat yang harus meminta-minta cabang kekuasaan lain (eksekutif) untuk memperhatikan kesejahteraan hakim. “Negara harus memberi jaminan kesejahteraan berupa gaji, tunjangan dan fasilitas yang layak agar terhindar dari intervensi cabang kekuasaan lain,” kata Takdir.
Menurutnya, kesejahteraan yang memadai bukan untuk kepentingan hakim itu sendiri, melainkan juga untuk kepentingan memberi keadilan bagi semua pihak “Kesejahteraan yang memadai akan menjauhkan hakim dari berbagai pengaruh baik dari cabang kekuasaan negara atau pihak berperkara, sehingga hakim akan fokus dalam melaksanakan tugas memberikan keadilan,” tegasnya.
Untuk itu, dia mengusulkan RUU Jabatan Hakim harus mengklasifikasikan, penjenjangan karir, dan kepangkatan hakim dalam kedudukannya sebagai pejabat negara. RUU Jabatan tersebut juga harus memuat jaminan kesejahteraan dan fasilitas yang memadai bagi hakim di semua tingkat peradilan dan hak-hak protokoler hakim sebagai pejabat negara.
“Yang tak kalah penting, RUU Jabatan Hakim juga harus memastikan negara menjamin dan mengimplementasikan jaminan keamanan serta perlindungan terhadap hakim dalam menjalankan tugasnya.”
Di tempat yang sama, Ketua Komisi III DPR, Aziz Syamsudin mengakui jaminan hak-hak hakim sebagai pejabat negara menjadi hal yang tidak bisa ditawar lagi. Mengingat tujuan dari penetapan status dan kedudukan hakim sebagai pejabat ini bagian dari memperbaiki penegakan hukum di Indonesia.
Meski begitu, kata Azis mengingatkan ada dua hal dasar filosofis penempatan marwah hakim sebagai pejabat negara yakni prinsip independensi dan prinsip akuntabilitas. Kedua prinsip ini ibarat dua sisi satu keping mata uang yang satu sama lain saling berpengaruh dan tidak bisa dipisahkan.
“Untuk itu, pemenuhan hak-hak konstitusional hakim tersebut harus berimbang dengan akuntabilitas kinerja hakim itu sendiri. Revitalisasi independensi dan akuntabilitas hakim ini semata-mata untuk meningkatkan kepercayaan masyarakat,” pesannya.
(sumber : http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt565708034f91e/ma-minta-dpr-segera-bahas-ruu-jabatan-hakim)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar