Sejumlah hakim yang tergabung dalam Forum
Diskusi Hakim Indonesia (FDHI) menyambangi Badan Legislasi DPR, Senin
(27/4). Mereka mendesak Baleg segera melakukan pembahasan RUU Jabatan
Hakim yang masuk dalam Prolegnas 2015-2019. Terlebih, belum adanya
aturan yang mengatur soal jabatan hakim.
“Kami dari FHDI merasa perlu untuk mengingatkan kembali stakeholder, apa yang menjadi hutang itu segera ditunaikan. Apalagi RUU Jabatan Hakim sudah masuk Prolegnas dan kami berkepentingan untuk mendorong segera dibahas,” ujar Koordinator FDHI, Djuyanto, kepada hukumonline di ruang Baleg DPR, Senin (27/4).
RUU Jabatan Hakim dalam Prolegnas 2015-2019 masuk dalam urutan 52. Ketiadaan aturan yang mengatur jabatan hakim berdampak timbulnya persoalan multi definisi, status, dan pengelolaan hakim. Misalnya, terjadi dualisme status hakim antara pejabat negara atau pegawai negeri sipil.
Kemudian, status hakim ad hoc bukanlah sebagai pejabat negara dengan merujuk putusan Mahkamah Konstitusi No.32/PUU-XII/2014. Pasalnya, kewenangannya bersifat terbatas dan sementara. Kondisi status hakim ad hoc justru bertentangan dengan prinsip internasional tentang independensi personal hakim.
Tak hanya itu, dimungkinkan terjadinya konflik kewenangan antar lembaga negara antara Mahkamah Agung (MA) dan Komisi Yudisial (KY) dalam hal rekrutmen. Akibatnya, berimplikasi pada krisis hakim yang juga berdampak melemahnya kualitas pelayanan publik.
Selain itu, konflik tak terhindarkan akibat tidak jelasnya batas pengawasan hakim oleh KY dan Badan Pengawas MA. “Harapan kami kenapa kita berupaya RUU Jabatan hakim dibahas, karena hutang konstitusi pada penjelasan Pasal 24 dan 25 UUD 1945,” ujar Djuyanto yang juga menjabat Wakil Ketua Pengadilan Negeri Dompu, Nusa Tenggara Barat itu.
Ketua Baleg Sareh Wiyono mengamini pandangan dari FDHI. Hanya saja dorongan dari FDHI mesti dikuatkan dengan menyusun naskah akademik. Menurutnya, jika naskah akademik dibebankan kepada Baleg, akan molor pembahasannya. Itu sebanya, FDHI diminta memberikan bantuan menyusun naskah akademik mau pun draf RUU.
“Kalau DPR yang buat tidak karu-karuan suka-suka DPR. Yang tahu manfat jabatan hakim itu ya kalian. Jadi tidak bisa DPR saja, marilah kita bersama-sama,” ujarnya.
Sareh yang sudah malang melintang menjadi seorang hakim amatlah memahami keresahan hakim. Makanya, setelah pensiun menjadi seorang hakim, Sareh berkecimpung di dunia politik dan masuk DPR dengan motivasi untuk membenahi aturan soal hakim. Sareh merasakan hal yang dirasakan hakim.
Dikatakan politisi Partai Gerindra itu, ia pernah bertemu dengan Ketua MA Hatta Ali membahas soal RUU Jabatan Hakim. Pembicaraan berlangsung kurang lebih 1,5 jam. Ia mengusulkan agar antara MA dan Ikatan Hakim Indonesia (IKAHI) membentuk tim untuk merumuskan naskah akademik dengan kajian mendalam. Setelah itu, pembahasan dalam diteruskan oleh Komisi III DPR yang membidangi hukum.
“Kalau naskah akademiknya bagus, itu tidak akan merepotkan DPR juga.
Anggota Baleg Arsul Sani berpandangan, setelah Baleg mengantongi naskah akademik RUU Jabatn Hakim, Baleg akan meminta pandangan dan masukan dari organisasi profesi hakim dan unsur masyarakat lainnya. Arsul meminta agar FDHI segera menyiapkan dan menyusun naskah akademik tersebut.
“Kalau bapak-bapak bisa mmebantu dan menyiapkan naskah akademik, kita bisa menjadi pengusul dan pembahasan bisa lebih cepat. Memang tidak masuk dalam Prolegnas prioritas 2015, tetapi bisa masuk dalam 2016. Di satu sisi mohon bantuan, di satu sisi ini tantangan,” pungkas politisi PPP itu.
Menanggapi permintaan penyusunan naskah akademik, Djuyanto bakal menyanggupi. Menurutnya, tim yang sudah dibentuk akan segera bekerja. Apalagi, FDHI sudah memiliki konsep pemikiran jabatan hakim untuk kemudian dimatangkan menjadi naskah akademik setelah melakukan berbagai kajian dengan berbagai kampus dan Lembaga Kaijan dan Advokasi untuk Independensi Peradilan (LeIP).
“Sebelum Oktober 2015 kita upayakan selesai dan diserahkan ke IKAHI dan Baleg,” pungkasnya.
“Kami dari FHDI merasa perlu untuk mengingatkan kembali stakeholder, apa yang menjadi hutang itu segera ditunaikan. Apalagi RUU Jabatan Hakim sudah masuk Prolegnas dan kami berkepentingan untuk mendorong segera dibahas,” ujar Koordinator FDHI, Djuyanto, kepada hukumonline di ruang Baleg DPR, Senin (27/4).
RUU Jabatan Hakim dalam Prolegnas 2015-2019 masuk dalam urutan 52. Ketiadaan aturan yang mengatur jabatan hakim berdampak timbulnya persoalan multi definisi, status, dan pengelolaan hakim. Misalnya, terjadi dualisme status hakim antara pejabat negara atau pegawai negeri sipil.
Kemudian, status hakim ad hoc bukanlah sebagai pejabat negara dengan merujuk putusan Mahkamah Konstitusi No.32/PUU-XII/2014. Pasalnya, kewenangannya bersifat terbatas dan sementara. Kondisi status hakim ad hoc justru bertentangan dengan prinsip internasional tentang independensi personal hakim.
Tak hanya itu, dimungkinkan terjadinya konflik kewenangan antar lembaga negara antara Mahkamah Agung (MA) dan Komisi Yudisial (KY) dalam hal rekrutmen. Akibatnya, berimplikasi pada krisis hakim yang juga berdampak melemahnya kualitas pelayanan publik.
Selain itu, konflik tak terhindarkan akibat tidak jelasnya batas pengawasan hakim oleh KY dan Badan Pengawas MA. “Harapan kami kenapa kita berupaya RUU Jabatan hakim dibahas, karena hutang konstitusi pada penjelasan Pasal 24 dan 25 UUD 1945,” ujar Djuyanto yang juga menjabat Wakil Ketua Pengadilan Negeri Dompu, Nusa Tenggara Barat itu.
Ketua Baleg Sareh Wiyono mengamini pandangan dari FDHI. Hanya saja dorongan dari FDHI mesti dikuatkan dengan menyusun naskah akademik. Menurutnya, jika naskah akademik dibebankan kepada Baleg, akan molor pembahasannya. Itu sebanya, FDHI diminta memberikan bantuan menyusun naskah akademik mau pun draf RUU.
“Kalau DPR yang buat tidak karu-karuan suka-suka DPR. Yang tahu manfat jabatan hakim itu ya kalian. Jadi tidak bisa DPR saja, marilah kita bersama-sama,” ujarnya.
Sareh yang sudah malang melintang menjadi seorang hakim amatlah memahami keresahan hakim. Makanya, setelah pensiun menjadi seorang hakim, Sareh berkecimpung di dunia politik dan masuk DPR dengan motivasi untuk membenahi aturan soal hakim. Sareh merasakan hal yang dirasakan hakim.
Dikatakan politisi Partai Gerindra itu, ia pernah bertemu dengan Ketua MA Hatta Ali membahas soal RUU Jabatan Hakim. Pembicaraan berlangsung kurang lebih 1,5 jam. Ia mengusulkan agar antara MA dan Ikatan Hakim Indonesia (IKAHI) membentuk tim untuk merumuskan naskah akademik dengan kajian mendalam. Setelah itu, pembahasan dalam diteruskan oleh Komisi III DPR yang membidangi hukum.
“Kalau naskah akademiknya bagus, itu tidak akan merepotkan DPR juga.
Anggota Baleg Arsul Sani berpandangan, setelah Baleg mengantongi naskah akademik RUU Jabatn Hakim, Baleg akan meminta pandangan dan masukan dari organisasi profesi hakim dan unsur masyarakat lainnya. Arsul meminta agar FDHI segera menyiapkan dan menyusun naskah akademik tersebut.
“Kalau bapak-bapak bisa mmebantu dan menyiapkan naskah akademik, kita bisa menjadi pengusul dan pembahasan bisa lebih cepat. Memang tidak masuk dalam Prolegnas prioritas 2015, tetapi bisa masuk dalam 2016. Di satu sisi mohon bantuan, di satu sisi ini tantangan,” pungkas politisi PPP itu.
Menanggapi permintaan penyusunan naskah akademik, Djuyanto bakal menyanggupi. Menurutnya, tim yang sudah dibentuk akan segera bekerja. Apalagi, FDHI sudah memiliki konsep pemikiran jabatan hakim untuk kemudian dimatangkan menjadi naskah akademik setelah melakukan berbagai kajian dengan berbagai kampus dan Lembaga Kaijan dan Advokasi untuk Independensi Peradilan (LeIP).
“Sebelum Oktober 2015 kita upayakan selesai dan diserahkan ke IKAHI dan Baleg,” pungkasnya.
(sumber : www.hukumonline.com)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar