Alamat

Jalan Balige-Laguboti Km. 5 Tambunan Lumban Pea Timur Telp. (0632)21165 email : ikahi.pabalige@gmail.com

Sabtu, 17 Januari 2015

“Calon Kapolri antara Ranah Hukum dan Ranah Politik”



Oleh :
Lanka Asmar, SHI, MH
Sekretaris IKAHI Pengadilan Agama Balige 

(Opini telah dimuat koran Waspada Medan tanggal 16 Januari 2015)

Keberadaan Kepolisian Republik Indonesia di bawah kekuasaan Presiden Republik Indonesia dan tidak dibawah Kementerian tentunya menjadikan lembaga kepolisian sejajar dengan lembaga Kementerian. Lembaga kepolisian yang dipimpin oleh seorang Kapolri bertanggung jawab dalam pelaksanaan tugasnya langsung kepada Presiden Republik Indonesia. Tentunya sebagai lembaga negara yang diatur berdasarkan Undang-undang Nomor 2 Tahun 2002, kepolisian berfungsi untuk memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, penegakan hukum, perlindungan, pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat.
Menurut sejarah, awal mula terbentuknya lembaga kepolisian sudah ada semenjak zaman Majapahit, yang pada waktu itu patih Gajah Mada membentuk pasukan pengamanan yang disebut dengan Bhayangkara yang bertugas melindungi raja dan kerajaan dan pada masa kolonial Belanda, dikenal istilah kepolisian modern Hindia Belanda yang dibentuk pada tahun 1897-1920 dan merupakan cikal bakal terbentuknya Kepolisian Negara Republik Indonesia. Pada masa pendudukan Jepang, kepolisian Indonesia dibagi menjadi 4 bagian yaitu Pertama. Kepolisian Jawa dan Madura berpusat di Jakarta, Kedua. Kepolisian Sumatera yang berpusat di Bukittinggi, Ketiga. Kepolisian wilayah Indonesia Timur berpusat di Makasar, dan Keempat. Kepolisian Kalimantan yang berpusat di Banjarmasin. Pada masa awal kemerdekaan yaitu tahun 1945-1950, tepatnya pada tanggal 19 Agustus 1945 dibentuk Badan Kepolisian Negara (BKN) oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) dan tanggal 21 Agustus 1945, Inspektur Kelas I, Letnan Satu Mochammad  Jassin, Komandan Polisi di Surabaya memproklamasikan Pasukan Polisi Republik Indonesia sebagai langkah awal mengadakan pembersihan dan pelucutan senjata terhadap tentara Jepang yang kalah perang. Pada awalnya Kepolisian berada dalam lingkungan Kementerian Dalam Negeri dengan nama Djawatan Kepolisian Negara yang hanya bertanggung jawab masalah administrasi, sedangkan masalah operasional bertanggung jawab kepada Jaksa Agung. Kemudian pada tanggal 1 Juli 1946 berdasarkan Penetapan Pemerintah Tahun 1946 No. 11/S.D Djawatan Kepolisian Negara bertanggung jawab langsung kepada Perdana Menteri.
Hingga saat ini, Jenderal Polisi Sutarman merupakan Kepala Polri yang ke 21  yang mana Kapolri pertama adalah Komisaris Jenderal Polisi Jenderal Raden Said Soekanto Tjokrodiatmodjo yang menjabat dari tanggal 29 September 1945 sampai dengan 14 Desember 1959. Jenderal Polisi Sutarman diperkirakan akan memasuki pensiun pada bulan Oktober 2015, sehingga Presiden mengusulkan nama Calon Kapolri Komjen Polisi Budi Gunawan ke Dewan Perwakilan Rakyat untuk disetujui sebagai calon Kapolri. Namun pada tanggal 12 Januari 2015 Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengeluarkan Surat Perintah Penyidikan (Sprindik) terhadap Komjen Polisi Budi Gunawan yang berarti statusnya menjadi tersangka.
Tentunya proses pengusulan dan pengangkatan Calon Kapolri Komjen Polisi Budi Gunawan menimbulkan perdebatan politik dan hukum. Berdasarkan kewenangan Presiden Jokowi, pengusulan Komjen Budi Gunawan ke DPR merupakan hak prerogatif Presiden dan merupakan proses politik dan berdasarkan pasal 46 ayat 1 Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, KPK mempunyai wewenang menetapkan seseorang sebagai tersangka. Kemudian berdasarkan pasal 50 ayat 1 Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), maka tersangka berhak segera mendapatkan pemeriksaan oleh penyidik dan selanjutnya diajukan ke Penuntut Umum. Jika Calon Kapolri Komjen Budi Gunawan dilantik oleh Presiden Jokowi sebagai Kapolri, tentunya sebagai seorang tersangka mesti menjalani proses penyidikan dan proses peradilan nantinya. Tentunya ada 2 proses yang mesti dijalani oleh Calon Kapolri Komjen Budi Gunawan yaitu proses politik dan proses hukum.
Seorang calon Kapolri tidak dapat berasal dari eksternal lembaga kepolisian Republik Indonesia dan dari kader partai politik tertentu. Karena berdasarkan pasal 11 ayat 6 Undang-undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia bahwa calon Kapolri adalah perwira Tinggi Kepolisian Negara Republik Indonesia yang masih aktif dengan memperhatikan jenjang pangkat dan karir.  Oleh sebab itu, jabatan seorang Kapolri bebas dari unsur pihak ekternal kepolisian. Hal ini berbeda dengan lembaga Kejaksaan, yang mana syarat untuk menjadi Jaksa Agung berdasarkan pasal 20 Undang-undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia menjelaskan yaitu warga Negara Indonesia, setia kepada Pancasila dan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, berijazah paling rendah Sarjana Hukum, sehat jasmani dan rohani dan berwibawa, jujur, adil dan berkelakuan tidak tercela.  Tentunya jabatan Jaksa Agung dapat dijabat oleh pihak eksternal dari Kejaksaan baik dari unsur politik, akademisi dan PNS.
Jika kita lihat pengusulan dan pengangkatan Calon Kapolri Komjen Budi Gunawan oleh Presiden Jokowi yang telah melibatkan Kompolnas, tetapi tidak melibatkan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan PPATK. Meskipun tidak diatur secara tegas dalam peraturan perundang-undangan untuk melibatkan KPK dan PPATK, tentunya untuk mendapatkan seorang calon Kapolri yang bersih, berintegritas, jujur, adil dan berkelakuan tidak tercela hendaknya KPK dan PPATK diminta pendapatnya. Sebelumnya Presiden Jokowi dalam pengangkatan Jaksa Agung HM Prasetyo juga tidak melibatkan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan PPATK, hal ini berbeda ketika pengangkatan Menteri pada Kabinet Kerja yang melibatkan KPK dan PPATK.
Keterlibatan Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) dalam pengusulan calon Kapolri oleh Presiden Jokowi memang secara tegas diatur dalam pasal 38 ayat 1 huruf (b) Undang-undang  Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia yang mana Kompolnas bertugas untuk memberikan pertimbangan kepada Presiden dalam pengangkatan dan pembertian Kapolri. Lembaga Kompolnas dibentuk berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 17 Tahun 2005 tentang Komisi Kepolisian Nasional yang mana keanggotan Kompolnas terdiri dari 9 orang yaitu Menkopolhukam (Menteri Koordinator Politik, Hukum dan Keamanan)  sebagai Ketua merangkap anggota, Menteri Dalam Negeri (Wakil Ketua merangkap anggota), Menteri Hukum dan HAM, serta 6 orang yang berasal dari tokoh masyarakat dan pakar kepolisian (anggota). Pada masa Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), Peraturan Presiden Nomor 17 Tahun 2005 tentang Komisi Kepolisian Nasional diubah menjadi Peraturan Presiden Nomor 17 Tahun 2011 tentang Komisi Kepolisian Nasional.  Sehingga susunan keanggotan Kompolnas diubah menjadi unsur pemerintah 3 orang, pakar kepolisian 3 orang dan tokoh masyarakat 3 orang. Berdasarkan 16 ayat 1 Peraturan Presiden Nomor 17 Tahun 2011, Ketua dan Wakil Ketua Kompolnas dipilih dan ditetapkan oleh Presiden.
Kompolnas merupakan lembaga struktural dan bertanggung jawab kepada Presiden. Kompolnas dapat memberikan evaluasi terhadap kinerja Kapolri dalam rangka pemberhentian. Tentunya kompolnas merupakan penasehat Presiden terhadap kinerja seorang Kapolri apakah mau diusulkan atau diberhentikan. Presiden Jokowi menyatakan bahwa usulan pengangkatan Komjen Budi Gunawan sebagai calon Kapolri adalah usulan dari Kompolnas.  Kemudian Presiden Jokowi pada hari Jum’at tanggal 9 Januari 2015 mengirimkan surat bernomor R-01/Pres/01/2015 kepada Ketua DPR RI perihal pemberhentian dan pengangkatan Kepala Kepolisian Republik Indonesia (Kapolri).
   Berdasarkan Surat dari Presiden Jokowi tersebut, maka Komisi III dan DPR telah menindaklanjuti untuk dilaksanakan fit and properties.  Berdasarkan keterangan Komjen Budi Gunawan di Komisi III DPR bahwa berdasarkan surat Bareskrim bernomor R/1016/DitTipideksus/X//2010/Bareskrim yang bersifat rahasia, Bareskrim telah melakukan pemeriksaan terhadap Irjen Polisi Budi Gunawan dan tidak terbukti memiliki transaksi keuangan yang tidak wajar seperti laporan PPATK. Komisi III DPR akhirnya menyetujui Komjen Budi Gunawan untuk dijadikan sebagai Kapolri dan atas didasarkan asas praduga tidak bersalah.
Jika kita lihat pada pemerintahan Presiden SBY, seorang Menteri yang ditetapkan tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) langsung mengundurkan diri menjadi Menteri di Kabinet. Misalnya : Menteri Agama Surya Dharma Ali yang mengundurkan diri ketika tersangkut kasus korupsi dugaan penyelenggaraan haji.
Menurut pernyataan pimpinan KPK, bahwa Komjen Budi Gunawan dijerat dengan pasal 12 huruf a atau huruf b, pasal 5 ayat 2, pasal 11 atau pasal 12 b Undang-undang Tindak Pidana Korupsi juncto pasal 55 ayat 1 ke 1 KUHP dan terancam hukuman maksimal penjara seumur hidup. Kemudian KPK meminta Direktorat Jenderal Imigrasi untuk mencegah anak Komjen Budi Gunawan yang bernama Hervianto, Komjen Budi Gunawan, Anggota Polri bernama Iie dan guru sekolah pimpinan Polri bernama Syahtria Sitepu berpergian ke luar negeri.
Tentunya tarik menarik ranah hukum dan ranah politik dalam pengusulan calon Kapolri Komjen Budi Gunawan tidak dapat dihindarkan. Menurut Curzon (1979 :44) hukum dan politik mempunyai keterkaitan yang erat dan tidak dapat dipisahkan satu sama yang lain. Sedangkan menurut Achmad Ali, pada kenyataannya (sein) tidak mungkin menghindarkan hukum untuk digunakan sebagai alat politik, terutama jika dikaitkan dengan konsep negara hukum dan dikaitkan dengan fungsi hukum sebagai alat rekayasa yang menghendaki peran aktif penguasa politik. Kinilah saatnya KPK membuktikan kepada masyarakat bahwa KPK adalah lembaga Negara yang independen dan bebas dari pengaruh manapun. Sehingga ada adigium yang menyatakan bahwa dimana ada masyarakat disitu ada hukum ( ubi societas ibi jus) yang artinya penegakan hukum merupakan kebutuhan dari masyarakat. Berjalannya sistem hukum tentunya mesti ditopang oleh subtansi hukum, struktur hukum dan budaya hukum.  
Sebagai pejabat publik, seorang Kapolri tentunya akan berhadapan dengan dunia internasional. Tentunya Presiden Jokowi mesti mempertimbangkan, tanggapan-tanggapan dunia internasional nantinya, jika seorang Kapolri berstatus tersangka KPK. Asas praduga tidak bersalah tentunya harus dibuktikan di depan pengadilan, bukan di hadapan lembaga eksekutif dan legislatif. Karena putusan pengadilan nantinya yang akan menyatakan seorang bersalah atau tidak. Lembaga eksekutif  dan legislatif sebaiknya menghormati proses hukum dan tidak mengintervensi  KPK dalam penegakan hukum.  
  


Penutup
Rakyat Indonesia saat ini mengharapkan bahwa pimpinan di lembaga eksekutif, legislatif dan yudikatif adalah orang-orang yang bersih, kredibel dan jujur. Calon kapolri yang saat ini masih tahapan proses politik, diharapkan menghasilkan Kapolri yang benar-benar mampu mengemban amanat rakyat di bidang keamanan. Sehingga nantinya tidak ada pergantian Kapolri dalam jangka waktu 1 tahun, oleh karena tersangkut masalah hukum. Namun, apa pun keputusan yang dihasilkan oleh proses politik nantinya, mesti dihormati dan dihargai, karena Kapolri adalah salah satu figur dalam penegakkan hukum.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar