Rumah tinggal hakim PN Liwa (dok.pribadi)
Jakarta Dalam adagium hukum, hakim disebut sebagai "wakil Tuhan" sebab dalam memutus perkara dia hanya bertanggung jawab kepada Tuhan. Meski "wakil Tuhan", tetapi kualitas rumahnya sangat jauh dari rumah wakil rakyat (DPR) atau rakyat biasa.
Seperti terlihat di bekas kantor pengadilan penghubung yang dijadikan rumah bersama di Liwa, Lampung. Awalnya, Liwa belum mempunyai pengadilan sendiri. Namun karena luasnya Lampung maka dibangunlah pengadilan penghubung untuk bersidang.
Memasuki 2006, Liwa memiliki pengadilan negeri (PN) sendiri dan dibangun gedung baru. Masalah baru muncul sebab para hakim PN Liwa tidak dibangunkan rumah dinas. Alhasil, bangunan gedung lama menjadi rumah bersama 4 hakim dan beberapa tenaga honorer.
"Mulai ditempati sejak 2006 hingga sekarang," kata mantan hakim PN Liwa yang kini tugas di Aceh Tamiang, Sunoto, saat berbincang dengan detikcom, Kamis (5/4/2012).
Karena bekas kantor, maka secara fisik cukup luas. Tetapi bangunan tersebut sudah tidak layak untuk menjadi tempat tinggal hakim. Atap seng bocor, kaca pecah di sana-sini, plester semen berlobang hingga toilet duduk dari semen. "Saya beli alas karpet plastik, supaya kelihatan lebih bersih," kata Sunoto yang tinggal di rumah tersebut selama 16 bulan dari 2008 hingga pertengahan 2009.
Untuk dihuni 4 hakim, mereka harus berbagi ruang. Sunoto yang membawa istri dan kedua anaknya mendapat jatah 2 ruang. Lalu Sunoto mengakali dengan memasang sekat tripleks dan membangun satu toilet supaya tidak berebutan dengan penghuni lainnya.
"Waktu pertama kali masuk, cat terkelupas dan kumuh di sana-sini. Lalu saya cat sendiri," papar pria asal Pati ini.
Meski kini dia telah bertugas di Aceh, rumah bersama tersebut tetap dihuni oleh para hakim. Tidak ada perabotan mewah. Para tamu harus duduk di lantai. Jika ingin melepas penat, bisa duduk santai di teras dengan kursi bekas pengunjung pengadilan. "Untuk bayar listrik kami patungan," papar hakim yang menggondol gelar Master Kenotariatan ini.
Tingkat kesejahteraan yang rendah tersebut membuatnya nekat menyerukan aksi mogok sidang. Seruan ini dilakukan untuk mengetuk pintu Kepala Negara guna memperhatikan kesejahteraan 'Yang Mulia'. Seruan ditanggapi positif oleh ribuan hakim di berbagai pelosok Indonesia. Sebagai bukti telah terkumpul dana logistik perjuangan Rp 51 juta hasil sumbangan ratusan hakim.
"Jumlah ini terus bertambah. Dipakai untuk salah satunya membeli tiket pesawat bagi perwakilan hakim yang akan melakukan audiensi dengan MA, KY dan DPR pada Senin (9/4) mendatang," ujar Sunoto.
(asp/nrl)
Seperti terlihat di bekas kantor pengadilan penghubung yang dijadikan rumah bersama di Liwa, Lampung. Awalnya, Liwa belum mempunyai pengadilan sendiri. Namun karena luasnya Lampung maka dibangunlah pengadilan penghubung untuk bersidang.
Memasuki 2006, Liwa memiliki pengadilan negeri (PN) sendiri dan dibangun gedung baru. Masalah baru muncul sebab para hakim PN Liwa tidak dibangunkan rumah dinas. Alhasil, bangunan gedung lama menjadi rumah bersama 4 hakim dan beberapa tenaga honorer.
"Mulai ditempati sejak 2006 hingga sekarang," kata mantan hakim PN Liwa yang kini tugas di Aceh Tamiang, Sunoto, saat berbincang dengan detikcom, Kamis (5/4/2012).
Karena bekas kantor, maka secara fisik cukup luas. Tetapi bangunan tersebut sudah tidak layak untuk menjadi tempat tinggal hakim. Atap seng bocor, kaca pecah di sana-sini, plester semen berlobang hingga toilet duduk dari semen. "Saya beli alas karpet plastik, supaya kelihatan lebih bersih," kata Sunoto yang tinggal di rumah tersebut selama 16 bulan dari 2008 hingga pertengahan 2009.
Untuk dihuni 4 hakim, mereka harus berbagi ruang. Sunoto yang membawa istri dan kedua anaknya mendapat jatah 2 ruang. Lalu Sunoto mengakali dengan memasang sekat tripleks dan membangun satu toilet supaya tidak berebutan dengan penghuni lainnya.
"Waktu pertama kali masuk, cat terkelupas dan kumuh di sana-sini. Lalu saya cat sendiri," papar pria asal Pati ini.
Meski kini dia telah bertugas di Aceh, rumah bersama tersebut tetap dihuni oleh para hakim. Tidak ada perabotan mewah. Para tamu harus duduk di lantai. Jika ingin melepas penat, bisa duduk santai di teras dengan kursi bekas pengunjung pengadilan. "Untuk bayar listrik kami patungan," papar hakim yang menggondol gelar Master Kenotariatan ini.
Tingkat kesejahteraan yang rendah tersebut membuatnya nekat menyerukan aksi mogok sidang. Seruan ini dilakukan untuk mengetuk pintu Kepala Negara guna memperhatikan kesejahteraan 'Yang Mulia'. Seruan ditanggapi positif oleh ribuan hakim di berbagai pelosok Indonesia. Sebagai bukti telah terkumpul dana logistik perjuangan Rp 51 juta hasil sumbangan ratusan hakim.
"Jumlah ini terus bertambah. Dipakai untuk salah satunya membeli tiket pesawat bagi perwakilan hakim yang akan melakukan audiensi dengan MA, KY dan DPR pada Senin (9/4) mendatang," ujar Sunoto.
(asp/nrl)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar