Alamat

Jalan Balige-Laguboti Km. 5 Tambunan Lumban Pea Timur Telp. (0632)21165 email : ikahi.pabalige@gmail.com

Kamis, 05 April 2012

Hubungan Gedung Pengadilan dan Indepedensi Hakim


http://images.hukumonline.com/frontend/lt4f7c47702b498/lt4f7c68beee419.jpg
Ilustrasi gedung Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Foto: Sgp

Kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan yang bebas dan merdeka. Setiap hakim harus memutus secara independen. Dia tak boleh terpengaruh oleh desakan dan ancaman pihak yang berperkara dan masyarakat. “Hakim harus sudah independen sejak di pikiran. Dia harus mempunyai kemampuan untuk berpikir independen dan keberanian untuk memutuskan perkara,” ujar Hakim pada Mahkamah Agung (Hogeraad) Belanda Marc Loth dalam kuliah umum di Indonesia Jentera School of Law (IJSL) di Jakarta, Kamis (24/3).
 
Lothtak memungkiri adanya tekanan-tekanan dari media massa yang kerap ditujukan kepada para hakim. Ini terjadi bukan hanya di Belanda, tetapi juga di Indonesia. “Media massa juga kadang-kadang bisa menekan hakim dalam memutus,” ujarnya.
 
Meski begitu Loth menilai ‘tekanan’ media massa ini bukan merupakan aspek hukum dari independensi peradilan. Artinya, tak ada pelanggaran hukum. Ini hanya aspek psikologi atau moral dari independensi peradilan. “Hakim harus mempunyai keberanian. Ketika perkara datang, dia harus berani memutus perkara meski harus bertentangan dengan pendapat populer di media massa atau publik,” tegasnya.
 
Terpisah, Anggota Komisi Yudisial (KY) Djaja Ahmad Jayus juga menyoroti pentingnya independensi hakim ketika memeriksa dan memutus perkara. Sayangnya Djaja menilai struktur bangunan gedung pengadilan di Indonesia kurang mendukung independensi seorang hakim, terutama dari intervensi dari pihak-pihak yang sedang berperkara.
 
Iamenuturkan struktur bangunan pengadilan di Indonesia hanya mempunyai satu pintu masuk dan pintu keluar pengadilan yang diperuntukan semua pihak. Yakni, para hakim, pengunjung dan pihak yang berperkara. “Struktur bangunan seperti ini memungkinkan hakim berinteraksi dengan pihak-pihak berperkara. Mereka bisa saja bertemu untuk sekadar makan siang dan lain-lain,” tuturnya.
 
“Ini berbeda dengan pengadilan di beberapa negaralain. Di sana, dibedakan pintu masuk (ruang) untuk hakim dan pintu masuk (ruang) untuk pihak berperkara. Kalau disini, mereka bisa bertemu baik sengaja maupun secara tak sengaja dengan pihak yang berperkara sebelum persidangan dimulai,” jelasnya.
 
Pernyataan Djaja ini dialami sendiri oleh Yuri Ardiansyah. Hakim yang bertugas di Pengadilan Negeri Parigi, Sulawesi Tengah (Sulteng)inimengatakan di PN Parigi, orang bisa dengan mudah keluar masuk ke pengadilan, dan mendekati ruang hakim. Bahkan, penjual makanan dan minuman pun dengan mudah menjajakan dagangannya ke ruang hakim.
 
Yuri menuturkan bila melarang secara langsung tentu sulit dilakukan karena justru dikhawatirkan masyarakat akan membenci pengadilan dan para hakim. Cara yang ia terapkan selama ini adalah dengan memberi tahu ke petugas honorer agar para penjual tak memasuki ruangan hakim.
 
Namun, selain ini, ada masalah yang lebih parah. Yakni, seputar keselamatan hakim yang bertugas. Yuri berharap untuk menegakan independensi peradilan, hakim harus dijamin keselamatannya ketika di dalam maupun diluargedung pengadilan. Hal ini masih luput diperhatikan oleh negara.
 
“Ada orang yang pernah mencari-cari saya ke rumah menggunakan senjata tajam untuk menanyakan perkaranya yang saya putus. Dia kalah dalam perkara yang saya putus. Untung saja yang dia cari sebenarnya panitera, saya tak tahu apa hubungan orang itu dengan panitera,” pungkasnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar