Alamat
Jalan Balige-Laguboti Km. 5 Tambunan Lumban Pea Timur Telp. (0632)21165 email : ikahi.pabalige@gmail.com
Selasa, 28 April 2015
FDHI Dukung KY mewujudkan UU Jabatan Hakim dan UU Contempt of Court
Jakarta (Komisi Yudisial) - Sekitar 15 perwakilan hakim dari berbagai wilayah di Indonesia yang tergabung dalam Forum Diskusi Hakim Indonesia (FDHI) melakukan audiensi di Komisi Yudisial (KY). Kehadiran FDHI ini diterima Ketua KY Suparman Marzuki dan Ketua Bidang Rekrutmen Hakim Taufiqqurohman Syahuri, yang didampingi oleh Plh Sekjen KY Andi Djalal Latief dan Kepala Biro Rekrutmen Heru Purnomo, (27/04).
Dalam pertemuan singkat yang dilakukan di Ruang Rapat KY ini, FDHI mengutarakan keinginan dan mendorong DPR, untuk segera mewujudkan Undang-Undang tentang Jabatan Hakim dan Undang-Undang tentang Perbuatan Merendahkan Keluhuran dan Martabat Hakim atau Contempt of Court (CoC) agar bisa dimasukkan dalam Prolegnas tahun 2016.
“Kami menganggap kedua UU ini penting, karena bisa memperjelas status dan kedudukan hakim yang merupakan Pejabat Negara bukan PNS, serta menjamin profesionalisme dan independensi personal seorang hakim dalam melaksanakan tugas menegakkan hukum dan keadilan di Indonesia,” tutur salah satu juru bicara FDHI yang berasal dari hakim PN Stabat.
Lebih lanjut FDHI juga memberikan masukan dan saran terhadap kedua RUU tersebut, dengan harapan bisa mengakomodir suara-suara para hakim se-Indonesia yang tergabung dalam FDHI.
Menanggapi apa yang menjadi pemikiran, keinginan dan inspirasi FDHI, Ketua KY Suparman Marzuki menegaskan bahwa KY dalam berbagai kesempatan sebelumnya telah mendorong berbagai pihak agar bisa mewujudkan kedua RUU tersebut menjadi UU.
“KY secara konsisten terus mengawal dan mendorong baik DPR maupun pemerintah untuk memberikan kejelasan tentang status dan kedudukan hakim sebagai Pejabat Negara. Secara keseluruhan KY juga ingin menyempurnakan dari sisi ideologi terkait dengan sumber daya manusia, sistem rekrutmen, mutasi, dan promosi hakim bersama-sama MA secara transparan, akuntabel dan partisipatif, dan KY juga telah berhasil mendorong berbagai pihak untuk memperbaiki kesejahteraan hakim, hal ini semua merupakan kerangka besar KY dalam mendorong dan merealisasikan UU Jabatan Hakim dan Contempt of Court,” kata Suparman di hadapan para perwakilan FDHI yang hadir.
“Tentu saja langkah KY mulai dari konsepsi, draf akademik sampai dengan pembahasan pasal-pasal kedua RUU tersebut yang melibatkan berbagai unsur termasuk dari kajian akademik,” tutur Suparman.
(sumber : http://www.komisiyudisial.go.id/berita-54305-fdhi-dukung-ky-mewujudkan-uu-jabatan-hakim-dan-uu-contempt-of-court.html)
Senin, 27 April 2015
FDHI Minta Baleg Segera Bahas RUU Jabatan Hakim
Sejumlah hakim yang tergabung dalam Forum Diskusi Hakim Indonesia (FDHI) menyambangi Badan Legislasi DPR, Senin (27/4). Foto: RES
Sejumlah hakim yang tergabung dalam Forum
Diskusi Hakim Indonesia (FDHI) menyambangi Badan Legislasi DPR, Senin
(27/4). Mereka mendesak Baleg segera melakukan pembahasan RUU Jabatan
Hakim yang masuk dalam Prolegnas 2015-2019. Terlebih, belum adanya
aturan yang mengatur soal jabatan hakim.
“Kami dari FHDI merasa perlu untuk mengingatkan kembali stakeholder, apa yang menjadi hutang itu segera ditunaikan. Apalagi RUU Jabatan Hakim sudah masuk Prolegnas dan kami berkepentingan untuk mendorong segera dibahas,” ujar Koordinator FDHI, Djuyanto, kepada hukumonline di ruang Baleg DPR, Senin (27/4).
RUU Jabatan Hakim dalam Prolegnas 2015-2019 masuk dalam urutan 52. Ketiadaan aturan yang mengatur jabatan hakim berdampak timbulnya persoalan multi definisi, status, dan pengelolaan hakim. Misalnya, terjadi dualisme status hakim antara pejabat negara atau pegawai negeri sipil.
Kemudian, status hakim ad hoc bukanlah sebagai pejabat negara dengan merujuk putusan Mahkamah Konstitusi No.32/PUU-XII/2014. Pasalnya, kewenangannya bersifat terbatas dan sementara. Kondisi status hakim ad hoc justru bertentangan dengan prinsip internasional tentang independensi personal hakim.
Tak hanya itu, dimungkinkan terjadinya konflik kewenangan antar lembaga negara antara Mahkamah Agung (MA) dan Komisi Yudisial (KY) dalam hal rekrutmen. Akibatnya, berimplikasi pada krisis hakim yang juga berdampak melemahnya kualitas pelayanan publik.
Selain itu, konflik tak terhindarkan akibat tidak jelasnya batas pengawasan hakim oleh KY dan Badan Pengawas MA. “Harapan kami kenapa kita berupaya RUU Jabatan hakim dibahas, karena hutang konstitusi pada penjelasan Pasal 24 dan 25 UUD 1945,” ujar Djuyanto yang juga menjabat Wakil Ketua Pengadilan Negeri Dompu, Nusa Tenggara Barat itu.
Ketua Baleg Sareh Wiyono mengamini pandangan dari FDHI. Hanya saja dorongan dari FDHI mesti dikuatkan dengan menyusun naskah akademik. Menurutnya, jika naskah akademik dibebankan kepada Baleg, akan molor pembahasannya. Itu sebanya, FDHI diminta memberikan bantuan menyusun naskah akademik mau pun draf RUU.
“Kalau DPR yang buat tidak karu-karuan suka-suka DPR. Yang tahu manfat jabatan hakim itu ya kalian. Jadi tidak bisa DPR saja, marilah kita bersama-sama,” ujarnya.
Sareh yang sudah malang melintang menjadi seorang hakim amatlah memahami keresahan hakim. Makanya, setelah pensiun menjadi seorang hakim, Sareh berkecimpung di dunia politik dan masuk DPR dengan motivasi untuk membenahi aturan soal hakim. Sareh merasakan hal yang dirasakan hakim.
Dikatakan politisi Partai Gerindra itu, ia pernah bertemu dengan Ketua MA Hatta Ali membahas soal RUU Jabatan Hakim. Pembicaraan berlangsung kurang lebih 1,5 jam. Ia mengusulkan agar antara MA dan Ikatan Hakim Indonesia (IKAHI) membentuk tim untuk merumuskan naskah akademik dengan kajian mendalam. Setelah itu, pembahasan dalam diteruskan oleh Komisi III DPR yang membidangi hukum.
“Kalau naskah akademiknya bagus, itu tidak akan merepotkan DPR juga.
Anggota Baleg Arsul Sani berpandangan, setelah Baleg mengantongi naskah akademik RUU Jabatn Hakim, Baleg akan meminta pandangan dan masukan dari organisasi profesi hakim dan unsur masyarakat lainnya. Arsul meminta agar FDHI segera menyiapkan dan menyusun naskah akademik tersebut.
“Kalau bapak-bapak bisa mmebantu dan menyiapkan naskah akademik, kita bisa menjadi pengusul dan pembahasan bisa lebih cepat. Memang tidak masuk dalam Prolegnas prioritas 2015, tetapi bisa masuk dalam 2016. Di satu sisi mohon bantuan, di satu sisi ini tantangan,” pungkas politisi PPP itu.
Menanggapi permintaan penyusunan naskah akademik, Djuyanto bakal menyanggupi. Menurutnya, tim yang sudah dibentuk akan segera bekerja. Apalagi, FDHI sudah memiliki konsep pemikiran jabatan hakim untuk kemudian dimatangkan menjadi naskah akademik setelah melakukan berbagai kajian dengan berbagai kampus dan Lembaga Kaijan dan Advokasi untuk Independensi Peradilan (LeIP).
“Sebelum Oktober 2015 kita upayakan selesai dan diserahkan ke IKAHI dan Baleg,” pungkasnya.
“Kami dari FHDI merasa perlu untuk mengingatkan kembali stakeholder, apa yang menjadi hutang itu segera ditunaikan. Apalagi RUU Jabatan Hakim sudah masuk Prolegnas dan kami berkepentingan untuk mendorong segera dibahas,” ujar Koordinator FDHI, Djuyanto, kepada hukumonline di ruang Baleg DPR, Senin (27/4).
RUU Jabatan Hakim dalam Prolegnas 2015-2019 masuk dalam urutan 52. Ketiadaan aturan yang mengatur jabatan hakim berdampak timbulnya persoalan multi definisi, status, dan pengelolaan hakim. Misalnya, terjadi dualisme status hakim antara pejabat negara atau pegawai negeri sipil.
Kemudian, status hakim ad hoc bukanlah sebagai pejabat negara dengan merujuk putusan Mahkamah Konstitusi No.32/PUU-XII/2014. Pasalnya, kewenangannya bersifat terbatas dan sementara. Kondisi status hakim ad hoc justru bertentangan dengan prinsip internasional tentang independensi personal hakim.
Tak hanya itu, dimungkinkan terjadinya konflik kewenangan antar lembaga negara antara Mahkamah Agung (MA) dan Komisi Yudisial (KY) dalam hal rekrutmen. Akibatnya, berimplikasi pada krisis hakim yang juga berdampak melemahnya kualitas pelayanan publik.
Selain itu, konflik tak terhindarkan akibat tidak jelasnya batas pengawasan hakim oleh KY dan Badan Pengawas MA. “Harapan kami kenapa kita berupaya RUU Jabatan hakim dibahas, karena hutang konstitusi pada penjelasan Pasal 24 dan 25 UUD 1945,” ujar Djuyanto yang juga menjabat Wakil Ketua Pengadilan Negeri Dompu, Nusa Tenggara Barat itu.
Ketua Baleg Sareh Wiyono mengamini pandangan dari FDHI. Hanya saja dorongan dari FDHI mesti dikuatkan dengan menyusun naskah akademik. Menurutnya, jika naskah akademik dibebankan kepada Baleg, akan molor pembahasannya. Itu sebanya, FDHI diminta memberikan bantuan menyusun naskah akademik mau pun draf RUU.
“Kalau DPR yang buat tidak karu-karuan suka-suka DPR. Yang tahu manfat jabatan hakim itu ya kalian. Jadi tidak bisa DPR saja, marilah kita bersama-sama,” ujarnya.
Sareh yang sudah malang melintang menjadi seorang hakim amatlah memahami keresahan hakim. Makanya, setelah pensiun menjadi seorang hakim, Sareh berkecimpung di dunia politik dan masuk DPR dengan motivasi untuk membenahi aturan soal hakim. Sareh merasakan hal yang dirasakan hakim.
Dikatakan politisi Partai Gerindra itu, ia pernah bertemu dengan Ketua MA Hatta Ali membahas soal RUU Jabatan Hakim. Pembicaraan berlangsung kurang lebih 1,5 jam. Ia mengusulkan agar antara MA dan Ikatan Hakim Indonesia (IKAHI) membentuk tim untuk merumuskan naskah akademik dengan kajian mendalam. Setelah itu, pembahasan dalam diteruskan oleh Komisi III DPR yang membidangi hukum.
“Kalau naskah akademiknya bagus, itu tidak akan merepotkan DPR juga.
Anggota Baleg Arsul Sani berpandangan, setelah Baleg mengantongi naskah akademik RUU Jabatn Hakim, Baleg akan meminta pandangan dan masukan dari organisasi profesi hakim dan unsur masyarakat lainnya. Arsul meminta agar FDHI segera menyiapkan dan menyusun naskah akademik tersebut.
“Kalau bapak-bapak bisa mmebantu dan menyiapkan naskah akademik, kita bisa menjadi pengusul dan pembahasan bisa lebih cepat. Memang tidak masuk dalam Prolegnas prioritas 2015, tetapi bisa masuk dalam 2016. Di satu sisi mohon bantuan, di satu sisi ini tantangan,” pungkas politisi PPP itu.
Menanggapi permintaan penyusunan naskah akademik, Djuyanto bakal menyanggupi. Menurutnya, tim yang sudah dibentuk akan segera bekerja. Apalagi, FDHI sudah memiliki konsep pemikiran jabatan hakim untuk kemudian dimatangkan menjadi naskah akademik setelah melakukan berbagai kajian dengan berbagai kampus dan Lembaga Kaijan dan Advokasi untuk Independensi Peradilan (LeIP).
“Sebelum Oktober 2015 kita upayakan selesai dan diserahkan ke IKAHI dan Baleg,” pungkasnya.
(sumber : www.hukumonline.com)
Ketua Baleg Mantan Hakim, RUU Jabatan Hakim Berpeluang Dibahas
RUU Jabatan Hakim masuk Prolegnas
2015-2019 dengan nomor urut 52. Belakangan diketahui, pengusul RUU
Jabatan Hakim adalah Ketua Badan Legislasi (Baleg) Sareh Wiyono. Sareh
merupakan mantan hakim yang sudah malang melintang di dunia peradilan.
Jabatan Sareh sebagai Ketua Baleg menjadi peluang bagi profesi hakim untuk menggolkan RUU Jabatan Hakim. Pasalnya, selama ini belum ada aturan yang mengatur jabatan hakim. Padahal dalam penjelasan Pasal 24 UUD 1945 pra amandemen sudah menegaskan, “Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan”.
Koordinator Forum Diskusi Hakim Indonesia (FDHI), Djuyanto, mengatakan posisi Sareh menjadi peluang untuk mendorong agar pembahasan RUU Jabatan Hakim segera dilaksanakan.
Terlepas FHDI bakal menyiapkan naskah akademik, Sareh amat memberikan perhatian kepada profesi hakim. Lagi pula, Sareh yang mantan hakim itu mengetahui dan merasakan keresahan yang dialami hakim di seluruh Indonesia.
“Secara jujur kami harus katakan dengan beliau (Sareh Wiyono) menjadi Ketua Baleg ini peluang dan kita harus jujur dan tidak menafikan itu. Saya yakin beliau punya empati terhadap hakim,” ujar DJuyanto kepada hukumonline, Senin (27/4) saat akan melakukan audiensi dengan Baleg DPR.
Wakil Ketua Pengadilan Negeri Dompu Nusa Tenggara Barat (NTB) itu berharap kedatangan sejumlah hakim ke Baleg menjadi dorongan agar aspirasi profesi hakim dapat segera diakomodir dalam RUU Jabatan Hakim. Meski demikian, Djuyanto memahami Ketua Baleg tak dapat mengambil keputusan sepihak. Pasalnya, keputusan diambil setelah mendapat persetujuan dari anggota Baleg.
Menurut Djuyanto, pengalaman panjang Sareh menjadi seorang hakim, setidaknya dapat meyakinkan seluruh anggota Baleg agar profesi jabatan hakim diatur melalui UU. Pasalnya, belum ada regulasi yang mengatur jabatan hakim secara integral. “Harapan kami seperti itu untuk segera dibahas,” ujarnya.
Sareh Wiyono mengakui bahwa wibawa hakim sudah hancur. Ironisnya, organisasi hakim tak mengajukan sebuah rancangan undang-undang uang mengatur jabatan hakim. Keresahan hakim pernah Sareh rasakan kala berkarir menjadi hakim. Semestinya, organisasi hakim mengusulkan naskah akademik maupun draf RUU Jabatan Hakim kepada DPR.
“Kalau hakim diam atau main tenis dan golf, bagaimana bisa (mengubah jabatan hakim, red). Begitu hakim ad hoc muncul kalian ribut,” ujarnya.
Sareh amatlah memahami keinginan para hakim. Meski demikian, terdapat proses yang mesti dilalui. Ia menyarankan agar naskah akdemik dapat segera disusun untuk kemudian ditindaklanjuti. Menurutnya, jika sudah terdapat naskah akademik, akan dibentuk Panja. Kendatipun tak dapat dilakukan pembahasan di 2015, boleh jadi dapat dilakukan pembahasan di tahun berikutnya dengan catatan Baleg telah mengantongi naskah akademik.
Sedangkan pembahasan akan diserahkan kepada Komisi III DPR. Sareh mengakui sebagai orang yang mengusulkan RUU Jabatan Hakim masuk dalam Prolegnas. “Kalau sudah masuk Prolegnas, bisa kapan saja kita bahas, tergantung dorongan kalian ajukan naskah akademik,” pungkasnya.
Jabatan Sareh sebagai Ketua Baleg menjadi peluang bagi profesi hakim untuk menggolkan RUU Jabatan Hakim. Pasalnya, selama ini belum ada aturan yang mengatur jabatan hakim. Padahal dalam penjelasan Pasal 24 UUD 1945 pra amandemen sudah menegaskan, “Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan”.
Koordinator Forum Diskusi Hakim Indonesia (FDHI), Djuyanto, mengatakan posisi Sareh menjadi peluang untuk mendorong agar pembahasan RUU Jabatan Hakim segera dilaksanakan.
Terlepas FHDI bakal menyiapkan naskah akademik, Sareh amat memberikan perhatian kepada profesi hakim. Lagi pula, Sareh yang mantan hakim itu mengetahui dan merasakan keresahan yang dialami hakim di seluruh Indonesia.
“Secara jujur kami harus katakan dengan beliau (Sareh Wiyono) menjadi Ketua Baleg ini peluang dan kita harus jujur dan tidak menafikan itu. Saya yakin beliau punya empati terhadap hakim,” ujar DJuyanto kepada hukumonline, Senin (27/4) saat akan melakukan audiensi dengan Baleg DPR.
Wakil Ketua Pengadilan Negeri Dompu Nusa Tenggara Barat (NTB) itu berharap kedatangan sejumlah hakim ke Baleg menjadi dorongan agar aspirasi profesi hakim dapat segera diakomodir dalam RUU Jabatan Hakim. Meski demikian, Djuyanto memahami Ketua Baleg tak dapat mengambil keputusan sepihak. Pasalnya, keputusan diambil setelah mendapat persetujuan dari anggota Baleg.
Menurut Djuyanto, pengalaman panjang Sareh menjadi seorang hakim, setidaknya dapat meyakinkan seluruh anggota Baleg agar profesi jabatan hakim diatur melalui UU. Pasalnya, belum ada regulasi yang mengatur jabatan hakim secara integral. “Harapan kami seperti itu untuk segera dibahas,” ujarnya.
Sareh Wiyono mengakui bahwa wibawa hakim sudah hancur. Ironisnya, organisasi hakim tak mengajukan sebuah rancangan undang-undang uang mengatur jabatan hakim. Keresahan hakim pernah Sareh rasakan kala berkarir menjadi hakim. Semestinya, organisasi hakim mengusulkan naskah akademik maupun draf RUU Jabatan Hakim kepada DPR.
“Kalau hakim diam atau main tenis dan golf, bagaimana bisa (mengubah jabatan hakim, red). Begitu hakim ad hoc muncul kalian ribut,” ujarnya.
Sareh amatlah memahami keinginan para hakim. Meski demikian, terdapat proses yang mesti dilalui. Ia menyarankan agar naskah akdemik dapat segera disusun untuk kemudian ditindaklanjuti. Menurutnya, jika sudah terdapat naskah akademik, akan dibentuk Panja. Kendatipun tak dapat dilakukan pembahasan di 2015, boleh jadi dapat dilakukan pembahasan di tahun berikutnya dengan catatan Baleg telah mengantongi naskah akademik.
Sedangkan pembahasan akan diserahkan kepada Komisi III DPR. Sareh mengakui sebagai orang yang mengusulkan RUU Jabatan Hakim masuk dalam Prolegnas. “Kalau sudah masuk Prolegnas, bisa kapan saja kita bahas, tergantung dorongan kalian ajukan naskah akademik,” pungkasnya.
(sumber : hukumonline.com)
Ketua Baleg Curhat Wibawa Hakim Terpuruk
Sejumlah hakim yang tergabung dalam Forum Diskusi Hakim Indonesia (FDHI) menyambangi Badan Legislasi DPR, Senin (27/4). Foto: RES
Malang melintang menjalani profesi
sebagai seorang hakim menjadi bagian sejarah hidup Ketua Baleg Sareh
Wiyono. Hingga akhirnya memasuki pensiun pada 2013, ia pindah haluan
menjadi politisi Partai Gerindra di DPR. Kendati sudah tidak menjadi
hakim, perhatian Sareh terhadap profesi yang pernah dijalani terus
dilakukan, hingga mengusulkan RUU Contempt of Court masuk dalam
Prolegnas 2015-2019.
“Saya mengusulkan UU Contemp of court, itu dari saya,” ujarnya saat menerima audiensi Forum Diskusi Hakim Indonesia (FDHI), di ruang Baleg DPR, Senin (27/4).
Menyadari kewibawaan hakim kian terpuruk, RUU Contempt of Court menjadi penting dan mendesak untuk dijadikan sebuah UU. Terlebih, imunitas terhadap hakim tidak maksimal. Misalnya, penghinaan terhadap hakim di persidangan bukan kali pertama terjadi. Ironisnya, ancaman hukuman terhadap penghinaan terhadap pengadilan terbilang ringan.
“Makanya saya keras dan terjun ke poliitk karena saya sadar RUU Contempt of Court itu mendasak. Penghinaan terhadap hakim di persidangan itu ancamannya ringan. Hakim dilempar sendal ancamannya ringan. Wibawa hakim lebih hancur. Orang menghina hakim itu bodoh, padahal hakim tidak ada yang bodoh,” ujarnya.
Baginya, terjun ke dunia politik merupakan perjuangan dalam rangka membela profesi hakim yang pernah ia jalani puluhan tahun lalu itu. Ia mengaku sedih ketika hakim acapkali dipanggil Komisi Yudisial berkaitan dengan putusan. Padahal, putusan hakim itu bersifat merdeka. Putusan hakim Sarpin Rizaldi misalnya, dinilai Sareh bagus. Pasalnya, Sarpin membuat terobosan positif.
“Contoh, KPK tidak diatur SP3, makanya bisa praperadilan, tapi putusan Sarpin sudah bagus,” katanya.
Lebih lanjut, mantan Ketua Pengadilan Tinggi Jawa Barat itu mengatakan ancaman penghinaan terhadap pengadilan acapkali hanya menggunakan Pasal 310 dan Pasal 311 KUHP. Sayangnya, ancaman hukuman tersebut terbilang ringan. Oleh sebab itu, untuk menjaga wibawa hakim RUU Contempt of Court menjadi penting dan mendesak.
“Dengan tidak adanya UU Contempt of Court, hakim itu tidak terlindungi. Oleh karena itu, dengan masuk Prolegnas kita minta masukan agar hakim tidak dicemooh dan dilindungi,” ujarnya.
Wakil Ketua Pengadilan Negeri Kisaran, Sumatera Utara, Muhammad Djauhar Setyadi, mengamini pandangan Sareh. Menurutnya, aturan melindungi lembaga peradilan amatlah penting. Pasalnya, saat ia menjadi hakim di Larantuka Flores Nusa Tenggara Timur, ia pernah memutus bebas terdakwa dalam sebuah perkara.
Ironisnya, setelah itu ia dimaki-maki oleh orang yang tidak puas atas putusan tersebut. Selain itu, pernah satu kali Pengadilan Negeri Larantuka dibakar massa. “Kemudian kami tidak nyaman karena tidak ada pengamanan. Begitu pula dengan Pengadilan Negeri Depok diserang oleh sebuah Organisasi Masyarakat (Ormas),” ujarnya.
Menurutnya, keamanan bagi hakim amatlah penting. Terlebih, hakim di pengadilan tingkat pertama kerap kali berhadapan langsung dengan para pencari keadilan. Oleh sebab itu, UU Contemp of Court amatlah mendesak untuk segera dibahas agar hakim merasa nyaman dalam melakasanakan tugasnya.
“Kalau ada kenyamanan bisa membuat putusan lebih berkualitas,” pungkasnya.
“Saya mengusulkan UU Contemp of court, itu dari saya,” ujarnya saat menerima audiensi Forum Diskusi Hakim Indonesia (FDHI), di ruang Baleg DPR, Senin (27/4).
Menyadari kewibawaan hakim kian terpuruk, RUU Contempt of Court menjadi penting dan mendesak untuk dijadikan sebuah UU. Terlebih, imunitas terhadap hakim tidak maksimal. Misalnya, penghinaan terhadap hakim di persidangan bukan kali pertama terjadi. Ironisnya, ancaman hukuman terhadap penghinaan terhadap pengadilan terbilang ringan.
“Makanya saya keras dan terjun ke poliitk karena saya sadar RUU Contempt of Court itu mendasak. Penghinaan terhadap hakim di persidangan itu ancamannya ringan. Hakim dilempar sendal ancamannya ringan. Wibawa hakim lebih hancur. Orang menghina hakim itu bodoh, padahal hakim tidak ada yang bodoh,” ujarnya.
Baginya, terjun ke dunia politik merupakan perjuangan dalam rangka membela profesi hakim yang pernah ia jalani puluhan tahun lalu itu. Ia mengaku sedih ketika hakim acapkali dipanggil Komisi Yudisial berkaitan dengan putusan. Padahal, putusan hakim itu bersifat merdeka. Putusan hakim Sarpin Rizaldi misalnya, dinilai Sareh bagus. Pasalnya, Sarpin membuat terobosan positif.
“Contoh, KPK tidak diatur SP3, makanya bisa praperadilan, tapi putusan Sarpin sudah bagus,” katanya.
Lebih lanjut, mantan Ketua Pengadilan Tinggi Jawa Barat itu mengatakan ancaman penghinaan terhadap pengadilan acapkali hanya menggunakan Pasal 310 dan Pasal 311 KUHP. Sayangnya, ancaman hukuman tersebut terbilang ringan. Oleh sebab itu, untuk menjaga wibawa hakim RUU Contempt of Court menjadi penting dan mendesak.
“Dengan tidak adanya UU Contempt of Court, hakim itu tidak terlindungi. Oleh karena itu, dengan masuk Prolegnas kita minta masukan agar hakim tidak dicemooh dan dilindungi,” ujarnya.
Wakil Ketua Pengadilan Negeri Kisaran, Sumatera Utara, Muhammad Djauhar Setyadi, mengamini pandangan Sareh. Menurutnya, aturan melindungi lembaga peradilan amatlah penting. Pasalnya, saat ia menjadi hakim di Larantuka Flores Nusa Tenggara Timur, ia pernah memutus bebas terdakwa dalam sebuah perkara.
Ironisnya, setelah itu ia dimaki-maki oleh orang yang tidak puas atas putusan tersebut. Selain itu, pernah satu kali Pengadilan Negeri Larantuka dibakar massa. “Kemudian kami tidak nyaman karena tidak ada pengamanan. Begitu pula dengan Pengadilan Negeri Depok diserang oleh sebuah Organisasi Masyarakat (Ormas),” ujarnya.
Menurutnya, keamanan bagi hakim amatlah penting. Terlebih, hakim di pengadilan tingkat pertama kerap kali berhadapan langsung dengan para pencari keadilan. Oleh sebab itu, UU Contemp of Court amatlah mendesak untuk segera dibahas agar hakim merasa nyaman dalam melakasanakan tugasnya.
“Kalau ada kenyamanan bisa membuat putusan lebih berkualitas,” pungkasnya.
(sumber :www.hukumonline.com)
Senin, 13 April 2015
BKN Setujui Kenaikan Tunjangan Pensiun Hakim, Asalkan………
Jakarta-Humas
BKN, Saat ini besaran uang pensiunan hakim lebih rendah dari yang
diterima oleh pensiunan Pegawai Negeri Sipil (PNS) dikarenakan belum
dicabutnya Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 15 Tahun 2008 tentang
Penetapan Pensiun Pokok Pensiunan Hakim Peradilan Umum, Peradilan Tata
Usaha Negara dan Peradilan Agama serta Janda/Dudanya. Demikian
pernyataan Kepala Badan Urusan Administrasi Mahkamah Agung (MA) Aco Nur
tatkala menyambangi Badan Kepegawaian Negara (BKN) untuk Rapat
Pembahasan Pensiun Pokok Hakim dengan Direktorat Kompensasi Aparatur
Sipil Negara di Ruang Rapat Lantai 1 Gedung I Kantor Pusat BKN Jakarta,
Kamis (9/4).
Lanjut Aco, derasnya gelombang keluh kesah para pensiunan Hakim menjadi dasar bagi MA untuk berkonsultasi dengan BKN. “Para pensiunan hakim sering menyampaikan aspirasinya terkait besarnya uang pensiun yang diterima,” terangnya. “Berdasarkan UU Nomor 5 Tahun 2014, jabatan hakim adalah Pejabat Negara,” tambahnya.
Menanggapi hal tersebut, Direktur Kompensasi ASN Mokhamad Syuhadhak mengatakan bahwa sudah beberapa kali pertemuan guna membahas penetapan pensiun hakim yang saat ini lebih rendah dari PNS. Menurutnya, besaran pensiun untuk hakim ditetapkan berdasarkan PP Nomor 15 Tahun 2008 yang hingga saat ini belum pernah diubah. Sementara, peraturan gaji PNS hampir tiap tahun mengalami kenaikan.
Syuhadhak menambahkan, bahwa BKN tidak berkeberatan atas rencana kenaikan untuk gaji pensiun hakim. “Namun dengan catatan, negara memiliki anggaran yang memadai untuk itu,” tutupnya.
(sumber : http://www.bkn.go.id/berita/bahas-tunjangan-pensiunan-hakim-ma-sambangi-bkn)
Lanjut Aco, derasnya gelombang keluh kesah para pensiunan Hakim menjadi dasar bagi MA untuk berkonsultasi dengan BKN. “Para pensiunan hakim sering menyampaikan aspirasinya terkait besarnya uang pensiun yang diterima,” terangnya. “Berdasarkan UU Nomor 5 Tahun 2014, jabatan hakim adalah Pejabat Negara,” tambahnya.
Menanggapi hal tersebut, Direktur Kompensasi ASN Mokhamad Syuhadhak mengatakan bahwa sudah beberapa kali pertemuan guna membahas penetapan pensiun hakim yang saat ini lebih rendah dari PNS. Menurutnya, besaran pensiun untuk hakim ditetapkan berdasarkan PP Nomor 15 Tahun 2008 yang hingga saat ini belum pernah diubah. Sementara, peraturan gaji PNS hampir tiap tahun mengalami kenaikan.
Syuhadhak menambahkan, bahwa BKN tidak berkeberatan atas rencana kenaikan untuk gaji pensiun hakim. “Namun dengan catatan, negara memiliki anggaran yang memadai untuk itu,” tutupnya.
(sumber : http://www.bkn.go.id/berita/bahas-tunjangan-pensiunan-hakim-ma-sambangi-bkn)
Minggu, 12 April 2015
Komisi Yudisial Curhat Masalah Nasib Hakim ke Wapres
"Kami mohon dukungan pemerintah terkait
RUU Jabatan Hakim yang sekarang masuk Prolegnas. Di situ kami harapkan
status hakim yang lebih benar," kata Suparman.
Selain itu, Suparman juga meminta
pemerintah memberi perhatian terkait PP 94/2012 tentang Hak Keuangan dan
Fasilitas Hakim yang Berada di bawah Mahkamah Agung.
Menurutnya, banyak dari peraturan tersebut yang belum teralisasi. Terutama, terkait kesejahteraan hakim dan perlindungan pada hakim.
Menurutnya, banyak dari peraturan tersebut yang belum teralisasi. Terutama, terkait kesejahteraan hakim dan perlindungan pada hakim.
"Pengadilan harus steril, harus dijaga
keamanan hakim. Ada beberapa kasus, penyerbuan, penembakan gedung dan
ancaman lain pada hakim dilaporkan ke KY. Ini mohon perhatian
pemerintah. Kami berharap wapres koordinasi dengan kepolisian jalankan
kewenangannya dengan tanpa takut," imbuh Suparman.
Idealnya, kata dia, seorang hakim yang
menyidangkan kasus sensitif dikawal satu personel polisi dari tempat
sidang hingga ke rumahnya.
Masih terkait PP itu, KY juga meminta
ada penyelenggaraan seleksi hakim yang sudah lima tahun tidak dilakukan.
Akibatnya, kata dia, saat ini terjadi kekurangan hakim. Ditambah lagi,
adanya gelombang pensiun hakim yang terjadi dalam empat tahun terakhir.
"Tentu ini (kekurangan hakim)
memengaruhi penyelesaian perkara di pengadilan negeri. Terutama karena
ada yang pensiun dan meninggal," lanjutnya.
Menanggapi permintaan KY tersebut,
Suparman mengaku direspon baik oleh JK dan akan dikoordinasikan dengan
kementerian terkait, seperti Kementerian Hukum dan HAM (Kemkumham),
Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi
(Kemenpan-RB), sesuai tugas dan fungsinya.(Sumber : http://www.jpnn.com/read/2015/04/10/297372/Komisi-Yudisial-Curhat-Masalah-Nasib-Hakim-ke-Wapres)
KY Minta Pengamanan Ketat Untuk Hakim MA
"Ada beberapa kasus, seperti penyerbuan, penembakan terhadap gedung pengadilan di Gorontalo, ancaman fisik dan ancaman lain yang diterima para hakim dan dilaporkan ke KY," kata Suparman usai bertemu Wakil Presiden Jusuf Kalla.
Suparman, yang didampingi Anggota KY Ibrahim saat bertemu Wapres Kalla, mengatakan tidak ada peningkatan intensitas tindak kriminal selama persidangan.
Namun, menurut dia, para hakim berhak mendapatkan pengamanan ketat bahkan pengawalan khusus ketika menangani kasus-kasus yang sensitif.
"Kami ingin hakim-hakim itu dapat menjalankan kewenangannya dengan tenang dan tidak diliputi rasa khawatir serta takut," tambahnya.
Oleh karena itu, ia berharap kepada Wapres agar dapat memberikan perhatian khusus dengan memerintahkan jajaran aparat Kepolisian RI untuk memberikan pengawalan hakim.
"Di sini tentu kami memohon perhatian Pemerintah. Karena Polri itu di bawah Pemerintah, maka kami harap Wapres dapat mengkoordinasikannya dengan Polri terkait masalah ini," katanya.
Suparman mengatakan selama ini belum ada mekanisme terperinci terkait pengamanan terhadap para hakim Mahkamah Agung.
Namun, seperti tertuang dalam Peraturan Pemerintah Nomor 94 Tahun 2012 tentang Hak Keuangan dan Fasilitas Hakim diatur secara jelas bahwa hakim berhak atas keamanan yang penuh dalam menjalankan tugas dan kewenangannya
(sumber : http://sp.beritasatu.com/home/ky-minta-pengamanan-ketat-untuk-hakim-ma/83891)
Temui Wapres, KY Minta Pemerintah Perhatikan Keamanan Hakim
Berdasarkan PP 94 Tahun 2012 seorang hakim berhak memperoleh pengamanan ketika memimpin persidangan, khususnya persidangan kasus yang sifatnya senstif. Paling tidak, seorang hakim bisa dijaga satu orang anggota kepolisian.
"Kepolisian jadi ujung tombak. Idealnya satu hakim memungkinkan dikawal satu polisi," kata Suparman.
Di samping itu, lanjut dia, ruang persidangan harus dalam kondisi steril dari potensi penyerangan terhadap hakim. KY pun menyesalkan penyerbuan gedung pengadilan yang terjadi di Gorontalo beberapa waktu lalu.
"Ancaman-ancaman fisik dan lain-lain yang dialami hakim dilaporkan ke KY. Ini mohon perhatian pemerintah, berharap Wapres bisa berkoordinasi dengan Kepolisian. Kita harap hakim jalankan kewenangannya dengan tanpa takut," tutur Suparman.
Dalam pertemuannya dengan Wapres, KY juga meminta perhatian pemerintah dalam proses rekrutmen hakim. Menurut KY, jumlah hakim yang ada saat ini masih kurang. Sudah empat hingga lima tahun terakhir, tidak dilakukan proses rekrutmen hakim.
"Setelah empat tahun tentu ada gelombang pensiun, ada yang meninggal. Sekarang 7.600 dari sebelumnya 8.300," kata Suparman.
Ia mengatakan bahwa kurangnya jumlah hakim ini dikhawatirkan mempengaruhi laju penyelesaian perkara di pengadilan-pengadilan negeri. Idealnya, satu kasus bisa disidangkan oleh tiga hakim. Namun selama ini, kata Suparman, hanya dua orang hakim yang menangani satu kasus yang masuk dalam persidangan.
"Minimal sembilan hakim rata-rata (satu pengadilan negeri), tetapi tidak bisa dipukul rata karena kan ada yang beban perkaranya tinggi," ucap Suparman.
Hal lain yang diminta KY kepada pemerintah berkaitan dengan pelaksanaan kewenangan KY dalam proses seleksi hakim. KY juga mendorong pemerintah untuk memprioritaskan pembentukan undang-undang mengenai contempt of court atau penghinaan terhadap pengadilan.
Atas permintaan yang disampaikan KY, menurut Suparman, Wapres meresponnya dengan berjanji akan mengkoordinasikan masalah ini dengan kementerian terkait.
"Wapres respon dengan baik, tentu Beliau akan koordinasikan dengan kementerian terkait, Menpan, Kemenkumham, dan ini berkaitan dengan kewenangan dan fungsi dua kementerian itu," kata Suparman.
(sumber : http://nasional.kompas.com/read/2015/04/10/21081451/Temui.Wapres.KY.Minta.Pemerintah.Perhatikan.Keamanan.Hakim)
Senin, 06 April 2015
Hakim Ujung Tombak Penegakan Hukum
Kuningan Hakim sebagai ujung tombak penegakan hukum diharapkan bisa memberikan keadilan bagi masyarakat kecil, khususnya mereka yang terbelit masalah hukum. Sayangnya, hukum yang diharapkan menjadi panglima di negeri ini, justru masih diselewengkan dan dibolak-balikkan oleh penegaknya.
Hal tersebut disampaikan Ketua Bidang Pengawasan Hakim dan Investigasi Komisi Yudisial Eman Suparman saat kuliah Umum di Fakultas Hukum Universitas Kuningan (UNIKA) Sabtu, (04/04). Pelaksanaan kuliah umum dengan tema Mengawal Penegakan Hukum oleh Hakim Supaya Adil dan Bermartabat ini, dihadiri Wakil Bupati Kuningan H. Acep Purnama, Rektor Universitas Kuningan Iskandar Effendi, serta dosen dan ratusan mahasiswa.
Lebih lanjut Eman menjelaskan, dalam proses penanganan perkara melibatkan institusi penegak hukum seperti kepolisian, kejaksaan, dan pengadilan. Proses hukum yang melibatkan tiga institusi tersebut yang justru merugikan rakyat kecil. Pasalnya institusi ini juga menangani kasus-kasus yang kecil. Seharusnya, kepolisian dan kejaksaan bisa memilah kasus-kasus yang layak dan tidak untuk ditindaklanjuti.
“Polisi bisa saja mendamaikan kasus-kasus kecil secara kekeluargaan. Sehingga, kasus-kasus tersebut tidak selayaknya sampai pengadilan,” kata mantan Ketua KY tersebut, periode ke II pada tahun 2010 – 2012.
Sementara, jaksa dalam menjalankan tupoksinya, melakukan penuntutan terhadap terdakwa di pengadilan. Jadi, semangatnya menerapkan dan menghukum terdakwa yang berperkara di pengadilan. “Makanya, hakim sebagai ujung tombak dalam penegakan hukum, putusan hakim hendaknya adil bagi masyarakat,” harapnya.
Dalam kesempatan itu, Eman juga menyinggung soal peningkatan kapasitas dan kesejahteraan hakim. Berkat perjuangan KY maka gaji hakim saat ini sangat layak.
Wakil Bupati Kuningan H. Acep Purnama mengaku sangat sependapat dengan apa yang disampaikan Eman Suparman. Menurutnya, di Indonesia masih sulit mencari kepastian hukum. Sebab, dalam segi pembangunan hukum belum bisa menemukan dan mendapatkan titik yang diharapkan. Artinya, masih banyak aturan hukum yang mengekor pada hukum sebelumnya, Belanda.
Sementara, Rektor Universitas Kuningan Iskandar Effendi, mendukung peran Komisi Yudisial dalam hal pengawasan hakim. Ia juga menyinggung soal peran Eman Suparman, saat menjadi Ketua Komisi Yudisial, yang secara aktif ikut terlibat dan berperan besar dalam memperjuangkan lahirnya Fakultas Hukum Universitas Kuningan bersama dengan, Surya yang saat itu menjadi anggota DPD RI dari Kuningan. Dia juga mengapresiasi kepada fakultas hukum atas terselenggaranya ini.
“Fakultas hukum harus terus-menerus menunjukkan eksistensinya, dengan mengadakan kegiatan-kegiatan ilmiah semacam ini karena fakultas hukum adalah fakultas yang paling muda, saat ini baru dua angkatan,” ungkapnya disela-sela memberikan sambutan dalam acara tersebut.
(sumber : http://www.komisiyudisial.go.id/berita-54297--hakim-ujung-tombak-penegakan-hukum-.html)
Rabu, 01 April 2015
KY Imbau Jaga Kemerdekaan Hakim
Samarinda (Komisi Yudisial) - Kekuasaan kehakiman yang merdeka, menurut Undang-Undang Dasar Republik Indonesia tahun 1945 telah mengamanatkan adanya kekuasaan kehakiman yang merdeka. Makna dari kemerdekaan itu harus dipandang dari dua sisi, yaitu kemerdekaan secara internal dan eksternal. Hal tersebut dikatakan Ketua Bidang Pengawasan Hakim dan Investigasi Eman Suparman saat membuka acara “Diseminasi dan Diskusi Terbatas Perbuatan Merendahkan Kehormatan dan Keluhuran Martabat Hakim” di Pengadilan Tinggi Samarinda, (31/03). Menurut Eman, kemerdekaan secara internal dimaknai sebagai kebebasan yang berada pada diri hakim dan badan peradilan. Hal ini adalah bentuk dari kemuliaan hakim dalam menegakkan hukum dan keadilan, bahwa hakim selaku wakil Tuhan sudah sepatutnya menjaga marwahnya dari pengaruh-pengaruh yang dapat menciderai hukum dan keadilan. Begitu pula dengan badan peradilan yang seyogianya turut mendukung terwujudnya kemerdekaan hakim dalam memeriksa dan memutus perkara demi keadilan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Selain itu pada sisi lain, kemerdekaan secara eksternal harus dimaknai sebagai bebas dari upaya campur tangan kekuasaan lainnya di luar kekuasaan kehakiman. Hal ini juga berlaku bagi para pencari keadilan. Hasil riset KY menemukan, proses peradilan sangat rentan mengalami intervensi dari para pencari keadilan dengan berbagai macam bentuk upayanya seperti suap, ancaman atau teror, hingga penyerangan atau kekerasan fisik terhadap hakim, dan lain sebagainya. “Kemerdekaan eksternal ini pun seharusnya dijaga bersama demi terwujudnya keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia. Adalah kewajiban negara untuk menegakkan hukum dan menjamin keamanan terhadap hakim dan peradilan, namun secara etika kehidupan berbangsa dan bernegara adalah tugas kita bersama untuk turut menjaga hakim dan peradilan dari adanya upaya-upaya yang berusaha menciderai kemerdekaan hakim hingga akhirnya akan menciderai keadilan itu sendiri,” katanya. Ditambahkan Eman, dalam prinsip negara hukum dikenal adanya istilah “equality before the law” atau persamaan di hadapan hukum. Apabila kita tidak dapat menerima perilaku hakim yang menciderai hukum dan keadilan, maka sudah sepatutnya berdasarkan prinsip tersebut kita pun tidak dapat membiarkan perilaku menyimpang para justiciabellen yang menciderai penegakan hukum dan keadilan. “Oleh sebab itu, mari kita bahu-membahu dan membangun kembali sendi-sendi negara hukum yang berdasarkan keadilan di Negeri kita tercinta,” imbau Eman.
(sumber : http://www.komisiyudisial.go.id/berita-54294-ky-imbau-jaga-kemerdekaan-hakim.html)
Langganan:
Postingan (Atom)