Oleh :
Lanka Asmar, SHI, MH
Sekretaris IKAHI Pengadilan Agama Balige
(Opini telah dimuat koran Waspada Medan tanggal 16 Januari 2015)
Keberadaan Kepolisian Republik
Indonesia di bawah kekuasaan Presiden Republik Indonesia dan tidak dibawah
Kementerian tentunya menjadikan lembaga kepolisian sejajar dengan lembaga
Kementerian. Lembaga kepolisian yang dipimpin oleh seorang Kapolri bertanggung
jawab dalam pelaksanaan tugasnya langsung kepada Presiden Republik Indonesia.
Tentunya sebagai lembaga negara yang diatur berdasarkan Undang-undang Nomor 2
Tahun 2002, kepolisian berfungsi untuk memelihara keamanan dan ketertiban
masyarakat, penegakan hukum, perlindungan, pengayoman dan pelayanan kepada
masyarakat.
Menurut sejarah, awal mula
terbentuknya lembaga kepolisian sudah ada semenjak zaman Majapahit, yang pada
waktu itu patih Gajah Mada membentuk pasukan pengamanan yang disebut dengan
Bhayangkara yang bertugas melindungi raja dan kerajaan dan pada masa kolonial
Belanda, dikenal istilah kepolisian modern Hindia Belanda yang dibentuk pada
tahun 1897-1920 dan merupakan cikal bakal terbentuknya Kepolisian Negara
Republik Indonesia. Pada masa pendudukan Jepang, kepolisian Indonesia dibagi
menjadi 4 bagian yaitu Pertama.
Kepolisian Jawa dan Madura berpusat di Jakarta, Kedua. Kepolisian Sumatera yang berpusat di Bukittinggi, Ketiga. Kepolisian wilayah Indonesia
Timur berpusat di Makasar, dan Keempat.
Kepolisian Kalimantan yang berpusat di Banjarmasin. Pada masa awal kemerdekaan
yaitu tahun 1945-1950, tepatnya pada tanggal 19 Agustus 1945 dibentuk Badan
Kepolisian Negara (BKN) oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) dan
tanggal 21 Agustus 1945, Inspektur Kelas I, Letnan Satu Mochammad Jassin, Komandan Polisi di Surabaya
memproklamasikan Pasukan Polisi Republik Indonesia sebagai langkah awal
mengadakan pembersihan dan pelucutan senjata terhadap tentara Jepang yang kalah
perang. Pada awalnya Kepolisian berada dalam lingkungan Kementerian Dalam
Negeri dengan nama Djawatan Kepolisian Negara yang hanya bertanggung jawab
masalah administrasi, sedangkan masalah operasional bertanggung jawab kepada
Jaksa Agung. Kemudian pada tanggal 1 Juli 1946 berdasarkan Penetapan Pemerintah
Tahun 1946 No. 11/S.D Djawatan Kepolisian Negara bertanggung jawab langsung
kepada Perdana Menteri.
Hingga saat ini, Jenderal Polisi
Sutarman merupakan Kepala Polri yang ke 21
yang mana Kapolri pertama adalah Komisaris Jenderal Polisi Jenderal
Raden Said Soekanto Tjokrodiatmodjo yang menjabat dari tanggal 29 September
1945 sampai dengan 14 Desember 1959. Jenderal Polisi Sutarman diperkirakan akan
memasuki pensiun pada bulan Oktober 2015, sehingga Presiden mengusulkan nama
Calon Kapolri Komjen Polisi Budi Gunawan ke Dewan Perwakilan Rakyat untuk
disetujui sebagai calon Kapolri. Namun pada tanggal 12 Januari 2015 Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK) mengeluarkan Surat Perintah Penyidikan (Sprindik)
terhadap Komjen Polisi Budi Gunawan yang berarti statusnya menjadi tersangka.
Tentunya proses pengusulan dan
pengangkatan Calon Kapolri Komjen Polisi Budi Gunawan menimbulkan perdebatan
politik dan hukum. Berdasarkan kewenangan Presiden Jokowi, pengusulan Komjen
Budi Gunawan ke DPR merupakan hak prerogatif Presiden dan merupakan proses
politik dan berdasarkan pasal 46 ayat 1 Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002
tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, KPK mempunyai wewenang
menetapkan seseorang sebagai tersangka. Kemudian berdasarkan pasal 50 ayat 1
Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), maka tersangka berhak segera
mendapatkan pemeriksaan oleh penyidik dan selanjutnya diajukan ke Penuntut
Umum. Jika Calon Kapolri Komjen Budi Gunawan dilantik oleh Presiden Jokowi
sebagai Kapolri, tentunya sebagai seorang tersangka mesti menjalani proses
penyidikan dan proses peradilan nantinya. Tentunya ada 2 proses yang mesti
dijalani oleh Calon Kapolri Komjen Budi Gunawan yaitu proses politik dan proses
hukum.
Seorang calon Kapolri tidak dapat
berasal dari eksternal lembaga kepolisian Republik Indonesia dan dari kader
partai politik tertentu. Karena berdasarkan pasal 11 ayat 6 Undang-undang Nomor
2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia bahwa calon Kapolri
adalah perwira Tinggi Kepolisian Negara Republik Indonesia yang masih aktif
dengan memperhatikan jenjang pangkat dan karir. Oleh sebab itu, jabatan seorang Kapolri bebas
dari unsur pihak ekternal kepolisian. Hal ini berbeda dengan lembaga Kejaksaan,
yang mana syarat untuk menjadi Jaksa Agung berdasarkan pasal 20 Undang-undang
Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia menjelaskan yaitu
warga Negara Indonesia, setia kepada Pancasila dan Undang-undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945, berijazah paling rendah Sarjana Hukum, sehat
jasmani dan rohani dan berwibawa, jujur, adil dan berkelakuan tidak
tercela. Tentunya jabatan Jaksa Agung
dapat dijabat oleh pihak eksternal dari Kejaksaan baik dari unsur politik,
akademisi dan PNS.
Jika kita lihat pengusulan dan
pengangkatan Calon Kapolri Komjen Budi Gunawan oleh Presiden Jokowi yang telah
melibatkan Kompolnas, tetapi tidak melibatkan Komisi Pemberantasan Korupsi
(KPK) dan PPATK. Meskipun tidak diatur secara tegas dalam peraturan perundang-undangan
untuk melibatkan KPK dan PPATK, tentunya untuk mendapatkan seorang calon
Kapolri yang bersih, berintegritas, jujur, adil dan berkelakuan tidak tercela
hendaknya KPK dan PPATK diminta pendapatnya. Sebelumnya Presiden Jokowi dalam
pengangkatan Jaksa Agung HM Prasetyo juga tidak melibatkan Komisi Pemberantasan
Korupsi (KPK) dan PPATK, hal ini berbeda ketika pengangkatan Menteri pada
Kabinet Kerja yang melibatkan KPK dan PPATK.
Keterlibatan Komisi Kepolisian
Nasional (Kompolnas) dalam pengusulan calon Kapolri oleh Presiden Jokowi memang
secara tegas diatur dalam pasal 38 ayat 1 huruf (b) Undang-undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara
Republik Indonesia yang mana Kompolnas bertugas untuk memberikan pertimbangan
kepada Presiden dalam pengangkatan dan pembertian Kapolri. Lembaga Kompolnas
dibentuk berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 17 Tahun 2005 tentang Komisi
Kepolisian Nasional yang mana keanggotan Kompolnas terdiri dari 9 orang yaitu
Menkopolhukam (Menteri Koordinator Politik, Hukum dan Keamanan) sebagai Ketua merangkap anggota, Menteri
Dalam Negeri (Wakil Ketua merangkap anggota), Menteri Hukum dan HAM, serta 6
orang yang berasal dari tokoh masyarakat dan pakar kepolisian (anggota). Pada
masa Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), Peraturan Presiden Nomor 17 Tahun
2005 tentang Komisi Kepolisian Nasional diubah menjadi Peraturan Presiden Nomor
17 Tahun 2011 tentang Komisi Kepolisian Nasional. Sehingga susunan keanggotan Kompolnas diubah
menjadi unsur pemerintah 3 orang, pakar kepolisian 3 orang dan tokoh masyarakat
3 orang. Berdasarkan 16 ayat 1 Peraturan Presiden Nomor 17 Tahun 2011, Ketua
dan Wakil Ketua Kompolnas dipilih dan ditetapkan oleh Presiden.
Kompolnas merupakan lembaga
struktural dan bertanggung jawab kepada Presiden. Kompolnas dapat memberikan
evaluasi terhadap kinerja Kapolri dalam rangka pemberhentian. Tentunya
kompolnas merupakan penasehat Presiden terhadap kinerja seorang Kapolri apakah
mau diusulkan atau diberhentikan. Presiden Jokowi menyatakan bahwa usulan
pengangkatan Komjen Budi Gunawan sebagai calon Kapolri adalah usulan dari
Kompolnas. Kemudian Presiden Jokowi pada
hari Jum’at tanggal 9 Januari 2015 mengirimkan surat bernomor R-01/Pres/01/2015
kepada Ketua DPR RI perihal pemberhentian dan pengangkatan Kepala Kepolisian
Republik Indonesia (Kapolri).
Berdasarkan Surat dari Presiden Jokowi tersebut, maka Komisi III dan DPR
telah menindaklanjuti untuk dilaksanakan fit and properties. Berdasarkan keterangan Komjen Budi Gunawan di
Komisi III DPR bahwa berdasarkan surat Bareskrim bernomor
R/1016/DitTipideksus/X//2010/Bareskrim yang bersifat rahasia, Bareskrim telah
melakukan pemeriksaan terhadap Irjen Polisi Budi Gunawan dan tidak terbukti
memiliki transaksi keuangan yang tidak wajar seperti laporan PPATK. Komisi III
DPR akhirnya menyetujui Komjen Budi Gunawan untuk dijadikan sebagai Kapolri dan
atas didasarkan asas praduga tidak bersalah.
Jika kita lihat pada pemerintahan
Presiden SBY, seorang Menteri yang ditetapkan tersangka oleh Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK) langsung mengundurkan diri menjadi Menteri di
Kabinet. Misalnya : Menteri Agama Surya Dharma Ali yang mengundurkan diri
ketika tersangkut kasus korupsi dugaan penyelenggaraan haji.
Menurut pernyataan pimpinan KPK,
bahwa Komjen Budi Gunawan dijerat dengan pasal 12 huruf a atau huruf b, pasal 5
ayat 2, pasal 11 atau pasal 12 b Undang-undang Tindak Pidana Korupsi juncto
pasal 55 ayat 1 ke 1 KUHP dan terancam hukuman maksimal penjara seumur hidup.
Kemudian KPK meminta Direktorat Jenderal Imigrasi untuk mencegah anak Komjen
Budi Gunawan yang bernama Hervianto, Komjen Budi Gunawan, Anggota Polri bernama
Iie dan guru sekolah pimpinan Polri bernama Syahtria Sitepu berpergian ke luar
negeri.
Tentunya tarik menarik ranah
hukum dan ranah politik dalam pengusulan calon Kapolri Komjen Budi Gunawan
tidak dapat dihindarkan. Menurut Curzon (1979 :44) hukum dan politik mempunyai
keterkaitan yang erat dan tidak dapat dipisahkan satu sama yang lain. Sedangkan
menurut Achmad Ali, pada kenyataannya (sein)
tidak mungkin menghindarkan hukum untuk digunakan sebagai alat politik,
terutama jika dikaitkan dengan konsep negara hukum dan dikaitkan dengan fungsi
hukum sebagai alat rekayasa yang menghendaki peran aktif penguasa politik. Kinilah
saatnya KPK membuktikan kepada masyarakat bahwa KPK adalah lembaga Negara yang
independen dan bebas dari pengaruh manapun. Sehingga ada adigium yang
menyatakan bahwa dimana ada masyarakat disitu ada hukum ( ubi societas ibi jus) yang artinya penegakan hukum merupakan
kebutuhan dari masyarakat. Berjalannya sistem hukum tentunya mesti ditopang
oleh subtansi hukum, struktur hukum dan budaya hukum.
Sebagai pejabat publik, seorang
Kapolri tentunya akan berhadapan dengan dunia internasional. Tentunya Presiden
Jokowi mesti mempertimbangkan, tanggapan-tanggapan dunia internasional
nantinya, jika seorang Kapolri berstatus tersangka KPK. Asas praduga tidak
bersalah tentunya harus dibuktikan di depan pengadilan, bukan di hadapan
lembaga eksekutif dan legislatif. Karena putusan pengadilan nantinya yang akan
menyatakan seorang bersalah atau tidak. Lembaga eksekutif dan legislatif sebaiknya menghormati proses
hukum dan tidak mengintervensi KPK dalam
penegakan hukum.
Penutup
Rakyat Indonesia saat ini
mengharapkan bahwa pimpinan di lembaga eksekutif, legislatif dan yudikatif
adalah orang-orang yang bersih, kredibel dan jujur. Calon kapolri yang saat ini
masih tahapan proses politik, diharapkan menghasilkan Kapolri yang benar-benar
mampu mengemban amanat rakyat di bidang keamanan. Sehingga nantinya tidak ada
pergantian Kapolri dalam jangka waktu 1 tahun, oleh karena tersangkut masalah
hukum. Namun, apa pun keputusan yang dihasilkan oleh proses politik nantinya,
mesti dihormati dan dihargai, karena Kapolri adalah salah satu figur dalam
penegakkan hukum.